Malam itu di warung lalapan depan kos. Saya baru saja kelar yudisium sarjana saat itu.
Saya dan kedua orang tua tengah sibuk melahap makanan lalapannya masing-masing. Sesekali diselingi obrolan tentang masa depan saya, memilih karir atau melanjutkan studi magister terlebih dahulu. Prinsip Bapak adalah mana yang lebih dulu berpeluang, ambil saja.
Sempat jeda sejenak, tiba-tiba Bapak nyeletuk, “Sudah ada yang nungguin, kah?” Saya kaget. Mulut menganga. Melongo. “Nungguin gimana maksudnya?” saya balik bertanya.
Bapak tertawa kencang penuh goda. “Ya… Barangkali sudah ada yang nungguin.” Lalu dia melanjutkan makannya dengan lahap. Menuntaskan sisa-sisa lauk terakhir.
Seketika saya paham yang dimaksud. “Oalah, belum, Pak. Belumlah.” Di tengah mengunyah makanan, masih sempatnya beliau bertanya pendek, memastikan, “Belum?”
Agak tergagap, saya menjawab sedikit lantang, “Belum! Belum! Masih kepengen keliling dulu, cari pengalaman dulu.” Saya tercekat.
Di luar dugaan, Ibu ikut nimbrung. “Pokoknya, kalau bisa sebelum 30 tahun harus sudah menikah. Kamu sekarang kan sudah 25 tahun,” ujar Ibu saya datar. Tapi tegas.
Bapak hanya senyum-senyum saja melihat ekspresi wajah saya yang kaget. Saya menunda sejenak melahap lalapan ayam yang tinggal separuh di atas piring.
Lalu saya melempar pandang, menatap gemerlap lampu Kota Batu di kejauhan –kosan saya memang menghadap ke barat, terlihat sawah dan gemerlap kota Batu. Perlahan pandangan mengabur dan samar. Membatin, kerja dulu atau lanjut S2 dulu?
Atau, nikah dulu? Eh, tapi sama siapa?
Ah, sudah bertambah lagi resolusi di tahun-tahun selanjutnya. Resolusi jangka menengah, bisa dibilang begitu. Bukan resolusi jangka panjang.
Iya sih, usia saya sudah seperempat abad. Ah, apakah sudah sedemikian cepat waktunya?
* * *

Sebenarnya, tahun 2016 lalu adalah tahun di mana saya meraih cukup banyak pencapaian. Semuanya berkat kedua orang tua saya.
Tahun 2016, nyaris tujuh tahun persis, akhirnya saya resmi menggondol titel sarjana pertanian. Pencapaian yang membuat kedua orang tua saya terharu. Kelegaan saya adalah melihat mereka tersenyum bahagia penuh syukur. Anak sulungnya yang bandel ini akhirnya lulus juga.
Di sela sibuknya menyelesaikan tugas akhir, saya masih sempat-sempatnya uklam-uklam (bahasa walikan khas Malang, artinya jalan-jalan).
Saya masih sempat sekali mendaki gunung sebelum pertengahan tahun 2016. Akhir bulan Maret, tepatnya. Saya mendaki Gunung Welirang bersama teman-teman komunitas. Sebagian lagi masih kuat mendaki Gunung Arjuno, sebelum ke Welirang.
Dari atas puncak Welirang, kami diberikan pemandangan mengagumkan. Matahari terbit seakan menyembul dari balik gulungan awan tipis bagaikan kapas.
Tak hanya itu. Hijaunya padang rumput di areal perkemahan Lembah Kijang juga menyegarkan. Kami bagaikan gembala yang diawasi tebing cadas puncak Ogal-Agil Arjuno nan runcing.
* * *

Di awal bulan sebelum pendakian tersebut, saya menemani teman saya penelitian tentang kentang di tiga kabupaten: Brebes, Banjarnegara, dan Wonosobo. Sepuluh hari perjalanan. Semacam road trip, tapi tujuannya untuk penelitian. Dua boks sterefoam berukuran besar, satu boks sterefoam berukuran sedang berisi puluhan sampel tanah dan akar adalah oleh-oleh kami.
Tapi kami masih sempat melihat hijaunya kebun teh Kaligua di kaki Gunung Slamet, Paguyangan, Brebes. Juga masih sempat mendaki Sikunir di Dieng, dan melihat gerhana matahari dari atas Bukit Sidengkeng, Telaga Warna, saat pagi hari. Setidaknya oleh-oleh khas Dieng seperti carica juga dibawa pulang selain oleh-oleh sampel tanah.
Di awal bulan September, saya bersama tiga orang teman –yang sama-sama baru lulus- mendaki Gunung Butak. Lagi-lagi gunung menjadi pelampiasan –lebih tepatnya perayaan- atas diraihnya sebuah pencapaian: lulus sarjana. Saya sudah menceritakan pendakiannya di blog ini.
Lalu di bulan Oktober, setelah daftar wisuda di awal bulan, saya berangkat ke Nusa Tenggara Timur di akhir bulan. Rutenya adalah Kupang-Alor-Maumere-Ruteng-Wae Rebo-Labuan Bajo. Waktu yang terbatas membuat saya harus merelakan Sumba, Kelimutu, Larantuka, dan lainnya.
Jelang akhir tahun, saya diajak seorang teman -pengusaha agen perjalanan wisata- jelajah sebagian Bali dan Banyuwangi dalam seminggu. Saya bersyukur dapat melihat banyak hal baru di Bali, juga di Banyuwangi yang selama ini saya belum tahu.
Lalu bagaimana target pencapaian-pencapaian di tahun berikutnya?
* * *

Saya ingin kembali mengingatkan petuah Mahatma Gandhi, “Jadilah bagian dari perubahan yang ingin kamu saksikan di dunia ini.”
Setidaknya, saya harus mengubah apa yang belum baik dari diri saya terlebih dahulu.
Sudah jelas terlihat, saya belum terlalu rajin dalam menulis. Saya harus ubah itu. Saatnya harus lebih berani menuntut diri sendiri agar lebih rajin, lebih disiplin, dan lebih konsisten di musim yang baru.
Tahun memang hanyalah angka-angka, yang diisi dengan dua belas bulan Masehi. Tapi, waktu sepanjang 365 hari tidaklah boleh membatasi semangat dan tekad untuk perubahan yang akan dibuat.
Api perubahan akan terus bergulir, walau ‘sang pemilik’ telah bergilir dari monyet ke ayam. Dengan siapa atau apa saya akan berkarya, api semangat tak boleh padam.
Saatnya lebih disiplin dan fokus. Layaknya ayam sebagai makhluk yang pertama bangun dan berkokok di pagi hari, saya harus lebih taat terhadap waktu.
Yang jelas, saya masih ingin terus melakukan perjalanan. Berburu cerita-cerita baru. Mencari petualangan-petualangan baru. Saya mungkin akan mengulangi perjalanan seperti sebelumnya, mereguk hikmah-hikmah yang tak habis di dalamnya.
Tapi saya banyak belajar, bahwa petualangan dan perjalanan bukanlah semata mendaki gunung tertinggi atau menjelajah hutan terlebat.
Bagaimana saya harus bertahan hidup, meningkatkan kualitas hidup, menjadi berguna bagi sesama dan makhluk hidup lainnya sejatinya adalah perjalanan yang penuh petualangan.
* * *

Tahun 2017. Tahun ini sebenarnya siap saya hadapi dengan penuh optimis. Saya merasa ini saatnya saya mengejar ketertinggalan-ketertinggalan yang diakibatkan oleh ulah saya sendiri.
Saatnya berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya, apa pun pencapaiannya. Saatnya mengejar waktu.
Saatnya harus lebih banyak menulis dan membaca. Termasuk, membaca situasi tak terduga yang penuh kode dan tanda tanya. Seperti, ketika pertanyaan dari Bapak saya di pertengahan bulan Desember lalu sedikit mengusik dan cenderung mengingatkan, “Mas, sudah punya teman perempuan yang dekat sekarang?”
Saya terdiam sejenak. Beliau kembali menambahkan, “Tidak apa-apa, cerita saja. Harus punya rencana dan target ke depannya.”
Mendadak saya teringat akan seseorang. Lalu saya mengucap lirih, “Ada sih… Dulu sering komunikasi.”
Bapak hanya berdeham. “Sekarang masih intens komunikasi?” Saya hanya menggeleng ragu. Maksudnya, tak seintens dulu. Jarang-jarang.
Ah baiklah, perihal jodoh sepertinya sudah harus mulai saya perhatikan.
Kata peramal, tahun ayam api adalah waktu yang tepat bagi kita yang masih single. Tahun ini akan menjadi waktu terbaik untuk menemukan cinta dan membentuk keluarga sendiri. Tahun yang romantis, katanya.
Menemukan cinta mungkin masih bisa di tahun ini. Membentuk keluarga sendiri? Belum dulu sih…
Ah, rasanya saya harus segera meningkatkan resolusi dari 800×600 piksel menjadi resolusi berkualitas setara 4k.
Ehm, nganu, lalu bagaimana dengan resolusimu, kawan? (*)
Tinggalkan Balasan