Di dalam toilet, saya tidak hendak kencing. Saya membuka dompet lecek yang tebalnya kian menipis. Tersisa enam lembar uang 50 ribuan untuk ongkos transportasi pulang ke Malang. Tambah selembar 50 ribu lagi untuk ongkos makan.
Dengan sisa uang tersebut, secara matematis akan ada cukup uang untuk naik bus dari pelabuhan Sape ke Bima. Tapi tidak dengan ongkos bus dari Bima ke Mataram. Belum lagi menyeberang ke Bali… Ke Banyuwangi… Ke Malang…
Saya kemudian teringat dengan tiga truk ekspedisi yang ikut dalam penyeberangan sore ini…
* * *
Hari Minggu siang, setibanya di dermaga TPI Labuan Bajo, saya bersama teman-teman pejalan yang baru dikenal di kampung Komodo bergegas menuju rumah makan Padang. Waktunya makan siang di warung yang terletak tidak jauh dari masjid agung Nurul Falaq, Labuan Bajo.
Di warung masakan Padang itu, berkumpul ‘Indonesia’ mini. Sekelompok anak muda, yang mengaku pejalan, mengitari satu meja kecil berwarna biru laut. Masing-masing duduk di atas kursi plastik berwarna merah.
Saya berasal dari Pacitan, kabupaten kecil di Jawa Timur. Di sebelah saya, ada Ajo, pejalan dari Padang yang akan melanjutkan petualangan ke Maumere dan Makassar. Sebelahnya Ajo, ada Tue, yang sama-sama berambut keriting. Tue adalah pemuda asli dari Lembata, negeri pemburu paus. Sebelahnya Tue, remaja yang baru lulus SMA dari Jakarta, Baihaqi dari Jakarta. Terakhir, Anshsyar, guru SMP asal Bima, yang menampung saya selama singgah di kampung Komodo.
Semuanya memesan makanan. Dan ibaratnya, Ajo-lah yang jadi tuan rumah. Seolah dia menghidangkan masakan Padang kepada semua tamunya.
Menu utama kami termasuk yang termurah: nasi, sayur, dan ikan. Ditambah minuman es teh, hanya 15 ribu kami keluarkan.
Makan nasi Padang tersebut menebus kelegaan kami. Seakan pelayaran 4,5 jam yang berombak dari kampung Komodo menuju Labuan Bajo tak berbekas.
* * *
Di pelabuhan feri Labuan Bajo, kami berpisah. Tue dijemput kerabatnya dan Ajo ikut dengannya. Mereka akan menginap semalam di Labuan Bajo sebelum keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke Maumere. Begitu pun Anshyar yang memiliki urusan dengan dinas pendidikan di Labuan Bajo.
Baihaqi mengikuti saya. Kami berjalan mendekati loket pelabuhan. Saya menunjukkan tiket yang dibeli sebelum makan siang.
Petugas penyeberangan feri Labuan Bajo sudah memperbolehkan kami masuk. “Nanti karcisnya dicek pas kapal sudah jalan,” kata petugas berseragam biru laut itu dari balik loket.
Kami segera berjalan menuju kapal yang sudah bersandar. Hari sudah beranjak meninggalkan siang, tapi matahari masih kuat menerikkan diri ke bumi. Kami masuk kapal sejam sebelum keberangkatan yang dijadwalkan pukul 16.00 WITA.
Setelah mendapat kursi yang nyaman, saya menitipkan tas sejenak ke Baihaqi. Saya mau ke toilet.
* * *

Setelah menghitung sisa uang, saya tidak langsung kembali ke kursi. Saya turun ke geladak utama. Di sana tiga truk ekspedisi terparkir rapi. Tak ada mobil, hanya segelintir sepeda motor selain ketiga truk tersebut.
Saya mendekati salah satu truk, yang parkir paling depan. Pintu kirinya terbuka. Sang sopir berkulit legam dan berkepala plontos sedang duduk di balik kemudi. Dia sedang menghitung uang dalam sebuah amplop putih. “Permisi, Pak,” ucap saya.
Sang sopir menoleh. Dia mengembalikan amplop putih itu ke dalam tas selempang yang diletakkan di dalam dasbor. “Ya, Mas?”
“Pak, ini sampai mana?” saya bertanya tujuannya. Dia menjawab lugas, “Surabaya.”
Ah, ada jalan. Baihaqi, teman yang baru saya kenal di kampung Komodo itu, mengatakan kalau dia akan melanjutkan perjalanan ke Lombok. Dia sudah menjalin kontak dengan pihak Rumah Singgah Lombok Backpacker. Itu artinya tujuannya kali ini adalah Mataram.
Saya kembali bertanya. “Apa boleh numpang sampai Mataram? Sama seorang teman lagi. Bagaimana, Pak?”
Dia terdiam sesaat. Tampaknya berpikir. “Satu orang saja, ya Mas?” Saya tak berani membalas, apakah masih memungkinkan menambah satu orang lagi. Saya hanya mengangguk, “Oke, Pak. Terima kasih.”
Saya kembali ke dek atas.
Bay, sapaan akrabnya, masih duduk di tempatnya. “Bay, ada satu truk yang bisa kamu tumpangi ke Mataram. Katanya buat satu orang saja.”
“Oh begitu. Lha, Mas nanti gimana?”
Saya tersenyum. “Saya sih gampang, nanti di Sape nginap dulu kalau tidak ada bus ke Bima.”
“Gak apa-apa, nih?”
Waktu saya lebih fleksibel darinya. Dia sudah telanjur memesan tiket pesawat dari Lombok ke Jakarta. Dia harus berangkat lebih dulu, agar tidak terlalu sebentar di Lombok.
Saya menepuk pundaknya. “Santai saja.”
* * *
Klakson angin terdengar melolong. Nakhoda kapal feri memberikan sinyal untuk merapat di pelabuhan Sape, kabupaten Bima. Penyeberangan Labuan Bajo-Sape malam ini cukup cepat. Hanya 4 jam. Cuaca dan laut memang sedang bersahabat.
Saya dan Baihaqi bersiap-siap. Kami keluar dari dek penumpang. Terlihat kerlip lampu pelabuhan Sape yang semakin dekat.
Kami berdua menuruni tangga menuju dek bawah. Suara mesin ketiga truk ekspedisi itu sudah hidup. Mereka sudah siap.
Baihaqi bergegas menuju truk yang tadi saya dekati. Saya ikut mengantarkannya. Sementara dia masuk, kernet truk yang di lehernya berkalung perak itu membantu mengangkat tasnya ke atas kepala truk.
Tak disangka, tiba-tiba sang sopir berkata kepada saya yang berdiri di samping pintu truk. “Mas, ayo ikut!” Dia melambaikan tangan kirinya tanda mengajak.
Saya kaget. Seingat saya dia hanya bersedia ditumpangi satu orang saja, dalam hal ini Baihaqi, yang akan turun di Mataram nanti. “Tidak apa-apakah, Pak?” Saya memastikan.
Sekali lagi dia melambaikan tangan kirinya. Mengajak sekali lagi. “Sudahlah, ayo naik!”
Saya tak bisa cepat berkata membalas ajakannya. Saya hanya melepaskan tas, dan sang sopir berteriak lagi, “Woi! Bantu angkat tasnya si Mas ini!” teriaknya kepada si kernet yang masih di atas kepala truk.
Saya bergegas naik. Duduk di tengah. Di sebelah sang sopir. Baihaqi bergeser ke belakang, tempat tidur sempit.
Baru saat kapal sudah benar-benar merapat dan pintu geladak bawah dibuka. Saat sang sopir bersiap menginjak gas melajukan truk ini perlahan keluar dari kapal. Baru saat itu saya berkata kepadanya dengan suara agak bergetar, “Terima kasih banyak, Pak…”
Dia hanya mengangguk dan tersenyum menyeringai, “Baru pertama kali ini naik truk, ha?”
Saya mengangguk dan terkikik, “Kalau jarak jauh, iya. Hehehe.”
Saya melihat arloji. Tepat pukul 21.00 WITA, konvoi tiga truk ekspedisi ini bergerak ke barat. Saya kembali melintasi jalan nasional pulau Sumbawa yang panjang.
* * *

Sekitar pukul 03.30, kami baru saja meninggalkan tempat istirahat di sebuah warung makan yang tutup. Di tepi tikungan jalan yang sepi di perbatasan Bima-Dompu. Sang sopir kembali menghidupkan pemutar musik dengan volume kencang. Lagu khas Flores kembali menghentak.
Sejam kemudian, Saya melihat arloji hitam yang melekat di pergelangan tangan kiri. Sudah masuk waktu Subuh. Tapi tak mungkin saya memaksakan diri untuk meminta sopir berhenti. Sungkan rasanya memintanya mencari masjid di pinggir jalan untuk salat.
Saya masih bisa bersuci dengan tayammum.
“Pak, saya izin mau salat Subuh dulu,” kata saya kepada sang sopir. Dia langsung tanggap, “Oh, silakan! Silakan!” lalu mengurangi volume suara pemutar musik menjadi nol.
Menempatkan kedua telapak tangan di bagian atas jok tengah yang agak berdebu, saya tayammum. Bersuci dengan debu.
Di hadapan kalung salib yang tergantung dan bergoyang-goyang karena liukan laju truk ini, saya mengucapkan niat salat Subuh. Takbir dalam suara yang lirih memulai ibadah saya.
Suara putaran setir, kopling, deru mesin truk, dan derit rem yang menggigit ban; melengkapi lamat-lamat lafal salat yang saya baca.
* * *
“Kemiri,” ujar sang sopir ketika saya tanya komoditas apa yang dibawa ke Surabaya, “dari Bajawa.”
Bajawa. Saya belum pernah menginjakkan kaki di kabupaten di Flores yang katanya dingin itu.
Perjalanan saya ke timur kali ini mentok sampai Labuan Bajo. Waktu meminta saya pulang. Kali ini dengan truk.
Saya diberi tempat duduk di tengah. Di antara sang sopir dan kernetnya. Baihaqi diberi tempat sempit yang memanjang di belakang kami bertiga. Cocok buat tiduran.
Truk sepanjang 9 meter ini begitu besar. Setirnya berat. Tak heran lengan sang sopir begitu berotot. Kekar. Sang sopir hanya mengenakan kaus tanpa lengan dan celana pendek selutut. Selembar kain tenun khas Flores bercorak gelap menjadi selimut kakinya saat berkendara malam yang dingin.
Melihat lengannya yang 2 kali lipat lebih berisi dari lengan saya ini, saya bertanya, “Sampai di Surabaya, biasanya istirahat berapa hari, Pak?”
“2-3 hari bongkar muat, habis itu balik lagi ke Bajawa,” jawabnya. Dengan dia sebagai sopir utama. Kernetnya, hanya sesekali saja menyetir. Selama perjalanan Sape-Gilimanuk, sang kernet hanya sekali saja mengambil alih kemudi. Saat usai makan siang di Sumbawa Besar menuju pelabuhan Pototano, Sumbawa Barat.
Perjalanan Flores-Surabaya itu berarti melintasi empat selat (Selat Sape, Selat Alas, Selat Lombok, dan Selat Bali) dan tiga pulau (Pulau Sumbawa, Pulau Lombok, dan Pulau Bali).
Saya membayangkannya sudah pusing. Saya yang menumpang saja sudah boyoken, apalagi yang menyetir.
Saya hanya geleng-geleng.
* * *

Beberapa menit lepas tengah malam, di hari Selasa, tiga truk menepi di seberang terminal Bertais, Mataram. “Makan dulu, Mas,” kata sang sopir.
Di sini pula pemberhentian Baihaqi. Dia akan melanjutkan liburannya di Lombok. “Sudah tahu alamatnya Rumah Singgah?” Saya bertanya kepadanya saat dia turun dari truk. Si kernet menurunkan tasnya.
“Sudah Mas, diarahkan naik ojek.” Tanpa perlu susah payah mencari, seorang tukang ojek tanpa helm mendekat. Dari anggukan kepalanya yang cepat, tampak dia sudah paham di mana lokasi Rumah Singgak Lombok Backpacker yang sudah kesohor itu.
Kami berpamitan. Kami hanya sempat bertukar akun Line. “Nanti saya minta fotonya waktu sunset di atas kapal ya, Mas?” Saya mengacungkan jempol. “Siap!”
Baihaqi dan tukang ojeknya melaju kencang. Meninggalkan asap yang membaur dengan udara dingin namun kering.
Jalanan begitu lengang. Hanya hiruk-pikuk yang terlokalisir di warung lalapan khas Lamongan. Warung yang kami singgahi. Saya seperti kebanyakan awak truk, memesan ayam goreng dan teh manis hangat.
Kami begitu lahap. Maklum, terakhir makan adalah saat di Sumbawa Besar. Saat makan siang. Wajah sang sopir tampak lebih segar lagi setelah makan.
* * *
Saat fajar mulai merekah, kami merapat di Padang Bai, Bali. Sejak dari pelabuhan, lalu lintas cukup padat sepanjang jalur memasuki Denpasar hingga Badung.
Tiga truk ekspedisi yang beriringan ini kemudian memasuki halaman sebuah rumah makan di lepas Tabanan. Rumah makan dengan pantai di seberangnya hanya dipisahkan jalan raya dan pekarangan liar berisi pohon-pohon kelapa.
Setelah 3 jam perjalanan dari Padang Bai, sekarang waktunya sarapan. Sang sopir dan kernetnya turun. Saya pun ikut turun.
Sebelum memasuki rumah makan, sang sopir berkata kepada saya sambil tersenyum, “Mas, di sini ada menu babinya. Kalau yang halal ada di sebelah.” Dia menelunjuk ke sebuah rumah makan yang menjual menu masakan khas Jawa. Letaknya persis di sebelah rumah makan milik orang Bali ini.
“Terima kasih, Pak!” Saya bergegas ke rumah makan sebelah.
* * *
Sang sopir melambatkan laju kendaraan, dan berhenti sekian meter di belakang truk-truk ekspedisi lainnya yang antri di pelabuhan Gilimanuk, Jembrana. Truk-truk ini akan menyeberang ke pulau Jawa. Setibanya di pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, mereka akan melanjutkan perjalanan ke berbagai kota tujuan, seperti Surabaya, Semarang, hingga Jakarta.
Mesin truk dimatikan. Kernet turun dan memastikan dua truk di belakang dalam rombongan ini masih berada dalam barisan.
“Pak, saya turun sini saja, ya?”
Sang sopir agak kaget dengan pertanyaan saya,”Loh, nggak ikut lanjut ke Surabaya saja?”
Saya sempat terdiam. Ingin mulut menyatakan ikut, tapi hati seakan menolak. Saya harus kembali ke Malang secepatnya. Tugas akhir sarjana saya belum selesai saat itu.
Saya pun menggeleng, “Terima kasih, Pak, saya sudah ada janji dengan dosen di kampus.”
Saya menyerahkan uang 200 ribu dan dua bungkus rokok senilai total 25 ribu untuk sang sopir dan kernetnya. “Ini, Pak, terima kasih banyak atas tumpangannya,” saya menjabat tangannya yang kasar dengan erat.
Sang sopir membalas dengan senyum menyeringai,“Terima kasih juga, ya. Hati-hati di jalan, dik.”
Si kernet yang melihat saya turun, bergegas mengambil tas keril saya di atas kepala truk. Dari atas, dia melemparkannya ke saya. Dari atas dia melambaikan tangan setelah saya ucapkan terima kasih padanya. “Hati-hati di jalan, bro!”
Saya berbalik arah, berjalan menuju loket penumpang pejalan kaki. Hanya dengan 6.500 rupiah, selembar karcis saya dapat sebagai tiket masuk ke kapal feri.
Petugas pelabuhan berseragam biru laut melambai-lambaikan tangan dari kejauhan, meminta saya bergegas. Sesaat lagi kapal feri akan berangkat.
Cuaca sangat cerah. Laut cukup tenang. Biasanya, satu jam lagi sudah merapat di pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.
Dari tepian pagar di luar dek atas, saya kembali melihat antrean truk itu. Saya tak akan melupakan kebaikan sang sopir, yang selalu menyebut saya ‘kerabat’ setiap dicek petugas pelabuhan feri sebelum menyeberang antar pulau.
* * *
Di dek atas yang berpendingin udara, saya melihat tiga orang awak bus berseragam hijau muda. Mereka pasti terdiri dari satu sopir, satu kondektur, satu kernet, dari PO Gunung Harta kelas ekonomi. Trayek Jember-Denpasar PP non AC.
Saya mendekati mereka yang duduk di barisan kursi depan, asyik menonton tayangan televisi.
“Pak, ke Jember berapa?” Tanya saya pada kondektur yang di saku bajunya terdapat tumpukan karcis.
Seakan tahu bahwa saya pasti akan menaiki busnya, bapak kondektur bertopi itu langsung sigap mengambil karcisnya, memberi coretan di atasnya, merobek, dan memberikannya ke saya. “35 ribu,” jawabnya.
Saya menerima karcis abu-abu yang agak kumal itu, dan memberinya 50 ribu. Bapak kondektur bertopi menerima uang saya dengan tangan kanan. Tangan kirinya mengambil segepok uang di saku kiri celananya. Dia mengambil masing-masing selembar 10 ribu dan 5 ribu. Sedikit lebih kumal dari karcisnya. “Nanti pas kapal sudah merapat, langsung naik ke bus, ya.”
* * *

Saya terbangun. Mata rasanya panas sekali. Kurang tidur. Rasanya penat sekali. Membayangkan macet panjang Banyuwangi-Jember sore tadi karena ramainya karnaval di setiap kecamatan. Belum lagi antrean panjang di setiap SPBU karena kelangkaan BBM.
Saya melihat ke arah luar jendela bus. Samar-samar tampak pertigaan Karanglo, Malang. Pabrik rokok Bentoel terlihat di sisi kanan. Ah, perjalanan panjang dari Jember akhirnya akan berujung.
Bus ekonomi Harapan Baru yang saya tumpangi membelok ke kiri di pertigaan di bawah jembatan layang Arjosari. Bus terakhir dari Jember yang sarat penumpang ini, menepi di depan kantor Taspen Kota Malang.
Saya termasuk di antara segelintir orang yang turun. Penumpang yang lain kebanyakan turun di pemberhentian terakhir, Tulungagung. Tapi sebelumnya, bus berwarna kebesaran putih dan oranye ini mampir dulu menurunkan sebagian penumpang di terminal Arjosari. Tak jauh, hanya 1 kilometer dari Taspen.
Saya melihat arloji. Hari Rabu itu baru berjalan satu jam. Setelah 57 jam perjalanan dari Labuan Bajo, akhirnya saya menginjakkan kaki di kota Malang yang udaranya agak menusuk dinihari itu. Bulan September masih menjadi puncak kemarau dingin di kota Malang.
Sembari menunggu jemputan teman kontrakan dari Karangploso, saya mengambil dompet dari dalam tas kamera. Saya membukanya pelan-pelan. Mengeceknya. Di dalamnya, tersisa tiga lembar uang kertas yang penuh bekas lipatan.
Selembar uang 10 ribu, 5 ribu, dan 2 ribu. (*)
Tinggalkan Balasan