Siang itu, jelang waktu Asar, mikrobus biru berkapasitas 14 penumpang ini berhenti di seberang sebuah penginapan tak jauh dari Pelabuhan Aimere, Kabupaten Ngada. Mikrobus dan gerbang penginapan tersebut dipisahkan jalan nasional Trans Flores.
Sim, sopir travel Gunung Mas itu, turun dan bergegas membukakan pintu samping paling belakang mikrobus bercat biru ini. Saya yang duduk di deret kursi belakang sopir ikut menoleh ke belakang, melihat siapa yang turun.
Satu orang saja yang turun, seorang pria yang sudah sepuh. Dia ikut naik bersama rombongan keluarganya dari kota Ende. Dia turun di Aimere, yang lain akan turun di Ruteng.
Kakek itu turun dengan meninggalkan jejak. Jejak muntah yang mengering kecoklatan di dinding pintu. Jejak yang menjadi saksi ‘keganasan’ Trans Flores.
* * *

Nada dering ponsel model lawas (batang) terdengar nyaring di atas dasbor. Sim, sopir yang sudah 3 tahun bekerja di Gunung Mas itu mengangkat teleponnya. Yang meneleponnya seorang karyawan dari kantor agen Gunung Mas di Maumere. Ada satu lagi penumpang yang tertinggal. “Lah, siapa suruh tadi jemput cepat-cepat, hah?” Sim tertawa, lalu menepikan mikrobus yang kami tumpangi.
Sim mematikan mesin. Kami semua memilih turun dan menghirup udara yang sejuk di tempat kami berhenti.
Kami memang berangkat 30 menit lebih cepat dari jadwal yang seharusnya pukul 07.00 dari kantor agen. Saya dan teman diminta sudah siap pukul 06.30 dan akan dijemput terakhir. Tapi pukul 06.00 kami sudah dijemput di rumah dr. Nur di dekat GOR Samador, host yang kami tumpangi selama dua malam di Maumere. Cuma ada tiga penumpang yang berangkat, kata sopir penjemput berkaus tanpa lengan itu.
Dan di sini, di tepi perkampungan yang sunyi di lepas kota Maumere ke arah Ende, kami menunggu. Sim baru mengemudi 15 menit dari kantor agen. Sim mengambil alih kemudi dari sopir penjemput, yang memang tugasnya hanya menjemput dan mengumpulkan penumpang di kantor agen tersebut.
“Mau ke Wae Rebo, ya?” tanya seorang bapak berkaus merah bertuliskan Flores, Pulau 1000 Gereja. Dia penumpang yang duduk di samping Sim. Kamilah ketiga penumpang yang akan berangkat ke Ruteng. Bapak itu tampaknya paham ke mana kami akan pergi, setelah melihat dua tas keril yang kami bawa. Kami hanya mengangguk dan tersenyum.
Sepuluh menit kemudian, penumpang yang terakhir dari Maumere akhirnya datang. Dia diantar dengan mobil oleh kerabatnya. Sejatinya dia tidak bisa dibilang ketinggalan, karena dia beli tiket langsung di kantor agen Maumere sebelum pukul 07.00. Kami saja yang berangkat terlalu awal.
Kini penumpang genap menjadi empat. Si bapak yang duduk di depan berkelakar, “Kita kayak darmawisata saja, sewa mobil gede ini isinya cuma empat orang.”
Gunung Mas seperti menjadi satu-satunya pilihan transportasi untuk trayek Maumere-Ruteng di hari Minggu, hari di mana agen jasa perjalanan lainnya malah libur. Sepertinya etos kerja khas Tiongkok, garis darah pemilik Gunung Mas ini, menular ke seluruh lini usahanya, seakan tak mengenal kata libur dan istirahat.
* * *

Maumere da gale kota Ende
Pepin gisong gasong
Le’le luk ele rebin ha
Do do do do mi do mi do gemu fa mi re…
Lagu Gemu Fa Mi Re yang didendangkan Alfred Gare begitu rancak dan menghentak seisi mobil. Alunan nada lagu ciptaan Nyong Franco itu seakan berirama dengan liukan laju mikrobus yang sedang melintasi Trans Flores di wilayah perbatasan Kabupaten Sikka-Ende.
Lagu-lagu pilihan Sim disimpan dalam sebuah flahsdisk miliknya. Selera sopir yang juga bertugas saat gelaran Tour de Flores 2016 itu cukup bagus. Selain lagu khas Flores yang menggoda tubuh bergoyang, lagu-lagu modern macam tembang Tetap Dalam Jiwa-nya Isyana Sarasvati hingga Locked Away-nya Adam Levine dan R. City menghiasi pemutar lagunya. Bahkan lagu lawas macam 25 minutes dari Michael Learns To Rock juga ikut serta.
Tapi saya merasa bersyukur Sim memiliki koleksi lagu yang cukup lengkap, meskipun tentu diputar berulang-ulang sepanjang perjalanan Maumere-Ruteng. Setidaknya menghibur dan mencegah saya dari ancaman mabuk darat. Teman saya yang mulai mengeluh pusing bahkan memilih tidur. Saya pun juga menahan diri tidak mendengarkan lagu dari gawai saya, untuk menghemat daya.
Yang harus disyukuri lagi, saya tetap dalam keadaan sadar. Bahkan saya nyaris terjaga sepanjang perjalanan. Perjalanan Maumere-Ruteng ini adalah kesempatan terbaik untuk menikmati panorama dan keunikan-keunikan yang melekat di jalan Trans Flores yang legendaris ini.

“Jalannya kayak begini terus, ya, Mbak?” tanya saya pada penumpang perempuan yang duduk di sebelah saya. Dia baru saja memuntahkan isi perutnya ke dalam tiga kantung plastik hitam. Saya memberinya botol berisi air mineral yang saya bawa.
Dia hanya mengangguk dan tersenyum meringis. Mungkin dalam hatinya, dia berharap agar saya tidak mengalami hal yang serupa dengannya. Mabuk darat adalah efek samping saat melintasi jalan nasional yang membentang sepanjang kurang lebih 660 km itu.
Trans Flores yang bermula dan berakhir di Labuan Bajo (Manggarai Barat) dan Larantuka (Flores Timur) itu seperti bersusah payah bertahan di tengah gempuran peristiwa alam. Tanah longsor adalah hal yang paling mengancam jalan nasional berusia 91 tahun bikinan kolonial Belanda itu.
Saya saja bergidik ketika kami melewati tanjakan dan tikungan tajam saat memasuki wilayah Kabupaten Ende menuju Moni, desa yang menjadi titik mula ke Taman Nasional Kelimutu. Sebagian besar badan jalan bersandar pada tebing yang tampak ringkih dan siap menggugurkan batuan berbagai macam ukuran kapan saja.
Tak heran sistem buka-tutup kerap diperlakukan ketika terjadi guguran batu dan tanah longsor memutus jalan. Saat musim penghujan, tentu harus lebih waspada lagi.
Pemandangan sepanjang perjalanan di lintas Trans Flores memang indah. Memanjakan mata. Tapi, keindahannya dan kemulusan aspalnya bisa melenakan; jika tak siap dengan tikungan tajam berkelok bak grafis elektrokardiograf pengukur denyut jantung itu
Jalan yang lurus dan datar adalah sebuah bonus dan kemewahan di Trans Flores. Selebihnya adalah tentang bergoyang tanpa henti. Belum selesai menstabilkan tubuh setelah tikungan ke kiri, datang langsung tikungan ke kanan. Seakan selaras dengan potongan lagu Gemu Fa Mi Re: Putar ke kiri e… Nona manis putarlah ke kiri… Sekarang kanan e… Nona manis putarlah ke kanan… Mungkin kata ‘nona’ bisa juga diganti dengan kata ‘penumpang’ dalam konteks ini.
Tapi, setidaknya kita tetap harus berterima kasih kepada para kolonial yang telah membangun Trans Flores, walau tentu bercampur dengan cucuran keringat, darah, dan nestapa pribumi. Dengan jalan ini, nadi perekonomian dapat tersambung, walau belum sepenuhnya menyeluruh.
* * *

“Permisi, Mama, saya izin mau ke kamar mandi,” pinta saya kepada seorang ibu yang sedang bersantai di depan rumahnya yang sederhana. Letaknya lebih rendah dari permukaan jalan Trans Flores sebelum memasuki Aimere. Yang jelas, Gunung Inerie yang lancip, yang memaku Desa Bena di kabupaten Ngada itu sudah hilang dari pandangan, tertutup bukit-bukit.
“Oh, silakan! Silakan!” Ia tampak bersemangat dan menyuruh anak perempuannya untuk menunjukkan saya kamar mandi di dalam rumahnya. Kamar mandinya sangat sederhana. Di pojokan belakang pintu, pakaian bertumpuk menunggu dicuci. Ember berukuran besar berjejer menampung air. Tak ada bak mandi di sini.
Keluar dari rumah, sang ibu sempat menanyakan tujuan saya. “Ke Ruteng, Ma,” jawab saya. “Dari Maumere, kah?” Tanyanya lagi. Saya mengangguk dan tersenyum lebar.
Sambil menunjuk ke tumpukan mangga yang dijual di depan warung di tepi jalan itu, saya balik bertanya padanya, “Lagi musim manggakah?” Dia menggeleng. Katanya, saat musim mangga biasanya harganya berkisar 10 ribu rupiah per lima buah. “Sekarang 20 ribu cuma dapat lima buah. Mahal,” katanya sambil menggeleng.
Saya kembali naik ke tepi jalan. Kami memang sedang istirahat sejenak di sini. Karena, sebagian besar penumpang minta berhenti untuk beli buah mangga. Saya hanya membeli satu botol air mineral 1,5 liter bertuliskan ‘Ruteng’.
Kemudian saya mendekati Sim, sang sopir yang sudah mengantar kami menempuh dua pertiga perjalanan. Dia sedang berjongkok di depan warung. Dia asyik melahap gorengan, sementara penumpang lain sibuk memilih buah mangga untuk dibawa pulang.
“Berapa?” tanyanya sambil melirik ke arah botol air mineral yang saya beli. Saya menunjukkan kedua telapak tangan saya kepadanya. Menampakkan kesepuluh jari saya. Sim hanya tersenyum sinis, “Mahal.”
Usai gorengannya tandas, Sim berkata kepada saya, “Eh, bro, boleh lihat hp–mu lagi?” Saya mengangguk, dan menyerahkan gawai buatan Taiwan milik saya ke Sim. “Berapa ini dulu kau beli?” Saya sedikit mengingat, karena saya membelinya sudah dua tahun yang lalu. “Harga barunya dulu sekitar 1,5 juta. Kalau sekarang paling turun jadi 900 ribuan,” kata saya.
Sim membolak-balikkan gawai saya, memencet-mencet layar sentuhnya. “Ini sudah ada Google?” (Sim mengucapkan kata ‘Google’ dengan ejaan ‘gogel’; dengan huruf ‘o’ tunggal dan huruf ‘e’ dibaca seperti ‘e’ pada kata sate). “Sudah, Om, sistem operasinya kan Android, bikinan Google, hehehe,” jawab saya.
Sim mengangguk-angguk, lalu bertanya lagi, “Ini pesbuk juga sudah ada? sama wasap juga sudah ada?” Saya nyaris tertawa, lalu menjawab lagi, “Kalau itu harus download dulu, Om.”
Dari gerak-geriknya, tersirat kalau memang dia benar-benar membutuhkan ponsel baru. Gawai yang bisa membawanya berkelana di dunia maya. “Di toko konter di Maumere katanya ada tiga merek yang bagus, tapi saya bingung. Yaudah, berangkat lagi, yuk!” ajaknya.
Satu per satu penumpang sepertinya sudah puas dengan buah mangga yang dibeli dan kembali ke mobil. Sim mengecek ulang penumpangnya, lalu kembali ke balik kemudi. Untuk sementara Sim harus melupakan sejenak keinginannya membeli ponsel baru. Sim harus fokus ke jalan di hadapannya. Kelihaiannya mengemudi kembali melajukan mikrobus ini meliuk Trans Flores dengan mulus.
* * *

“Kiri!”
Mendengar suara dari belakang, Sim dengan sigap menginjak rem, menepi, dan menghentikan kendaraan di sebuah tempat semacam pasar di daerah Borong, ibukota kabupaten Manggarai Timur.
Seorang penumpang yang duduk di baris kursi paling belakang kemudian mengeluarkan bingkisan paket dari dalam tasnya. Ia tergesa menelepon seseorang dari dalam mobil. Obrolan yang terlintas diucapkan dalam bahasa Manggarai.
Tak lama, seorang pria paruh baya mendekati jendela mikrobus bagian kanan belakang. Mendekati penumpang yang menelepon tadi. Dari luar dia menerima paket itu. Setelah bercakap-cakap sebentar, kemudian si penerima paket dengan lantang berteriak ke Sim. Seakan tahu dari mana Sim berasal, si penerima paket itu menyampaikan semacam ungkapan serapan terima kasih dalam bahasa Nagekeo, “Modo, sama ke!”
Kami kembali melanjutkan perjalanan. Sekilas saya sempat melihat patok kilometer di tepi jalan tak jauh dari tempat kami berhenti tadi. Ruteng (berkode RTG) ‘tinggal’ berjarak 56 kilometer lagi dari Borong.
* * *

Jalan raya relatif datar selepas tanjakan penuh tikungan di kawasan Taman Wisata Alam Ruteng, yang ‘menyembunyikan’ Danau Ranamese di balik pagar tembok.
Sekitar pukul 17.30, tepat azan Magrib berkumandang di langit kota Ruteng yang mulai gelap. Sim menghentikan mikrobusnya tepat di depan tangga masuk lobi hotel Rima, tempat saya dan teman seperjalanan akan menginap satu malam.
Saya pun langsung meregangkan tubuh seturunnya dari mobil. Rasanya bagaikan terbangun dari tidur yang salah posisi, dan (maaf) pantat yang hanya berisi tulang ini juga terasa menipis.
Sim membantu saya menurunkan tas keril kami yang beratnya hampir 25 kg untuk dua tas. Sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir, kantor pusat Gunung Mas di kota Ruteng, Sim masih sempat bertanya kepada saya, “Jadi bagaimana, Bro? Enaknya beli hp yang merek apa ya?”
Saya tertawa, “Berapa nomor hp–nya Om? Nanti saya SMS, saya bantu kasih info buat pilih-pilih.” Sim ikut tertawa dan menjabat erat tangan saya. Kami berpisah.
Secepat kilat, punggung mikrobus travel Gunung Mas semakin menjauh dan knalpotnya meninggalkan asap-asap tipis di udara yang suhunya kian merendah. Tiba-tiba perut saya kembali merengek. Seharian ini perut baru sekali diisi makanan, yaitu masakan Padang saat istirahat di Ende 7 jam yang lalu.
Saya tadi sepintas melihat spanduk penanda keberadaan sebuah warung bakso tak jauh sebelum hotel. Kami sepertinya harus makan bakso untuk menghangatkan tubuh. Sehangat pertemuan-pertemuan yang saya alami sepanjang perjalanan sejauh 420 km ini. (*)
Foto sampul:
Saya dan mikrobus Gunung Mas trayek Maumere-Ruteng saat istirahat makan di sebuah rumah makan masakan Padang di kota Ende (dipotret oleh teman saya, Mory)
Tinggalkan Balasan