Saya pernah menulis tentang bagaimana rasanya ketika gunung itu dirindukan. Dan sekarang, saya akan melanjutkan cerita itu.
Seperti apa rasanya menuntaskan rindu akan ketinggian gunung itu?
* * *

Sesungguhnya, tidak semua pertanyaan membutuhkan jawaban. Tidak seluruhnya rindu itu terjawab. Ibarat bunga, ada yang mekar dan ada yang kuncup, meski matahari sudah memancarkan cahaya paginya yang khas.

Menuntaskan rindu pada ketinggian itu tak semudah membalikkan telapak tangan, atau bahkan membalikkan taplak meja. Ada naik turun, jurang menganga, dan jalur yang rapuh. Ada letih, lesu, dan segala godaan yang tak henti mencoba untuk menggoyahkan niat dan semangat.
* * *

Inilah kami. Orang-orang yang rindu lembabnya rimba, rindu duduk beralas tanah penuh seresah, rindu berpegangan pada ranting dan akar yang legam, rindu bersusah-susah menapaki jalan semeter demi semeter; langkah demi langkah.

Inilah kami. Orang-orang yang rindu keakraban yang khas, berbalas sapa, berjabat tangan erat, bertukar senyum. Seperti itulah kiranya kehangatan yang hakiki.
* * *

Gunung Butak dipilih karena lebih dekat dari kota Malang, tempat kami berempat tinggal selama menempuh studi sarjana. Bersama Gunung Kawi, Panderman, gunung ini menjadi salah satu bagian gugusan Pegunungan Putri Tidur (karena dari kejauhan memang mirip seorang wanita yang berbaring), begitu ia biasa disebut. Kaki pegunungan ini menjejak di tiga wilayah, Kota Batu, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Blitar. Kami memilih berangkat dan pulang lewat jalur termudah, dusun Toyomerto, desa Pesanggrahan, Kota Batu. Dusun ini juga menjadi titik awal bagi yang ingin mendaki Gunung Panderman, yang berketinggian sekitar 2.060 meter dari permukaan laut (mdpl).

Pemilik jawaban atas kerinduan kami itu tersembunyi di balik lekukan perbukitan dan kontur trek berbagai rupa. Kami mendaki sepagi mungkin, selambatnya pukul 06.30. Dari titik awal pendakian, terdapat satu jalur pendakian yang menggetarkan lutut. Berdebu tebal kala musim kemarau, licin dan berlumpur kala musim penghujan. Tapi awal September kala itu membuat kami harus akrab dengan debu yang beterbangan. Tak lupa, tanjakan ‘sumpah serapah’ menjadi bagian sepertiga awal pendakian yang mencegah kami bermanja-manja.

Di dua pertiga perjalanan, hutan tropis yang masih cukup terjaga dengan baik menjadi peneduh. Jalurnya relatif datar, sesekali terhalang pohon tumbang yang silang sengkarut. Kadang kami memanjat, kadang merangkak. Dulu, saat pendakian pertama, kain penutup tas ransel saya robek di sejumlah titik karena tusukan ranting yang nyaris menutupi jalur. Jalan sambil menunduk pun tak cukup, harus merangkak. Sekarang jalur pendakian sudah cukup lega, meskipun harus tetap fokus pada setiap rintangan yang dilalui.
* * *

Berusaha menikmati pendakian dan berpikir positif adalah resep ‘obat tradisional’ terampuh ketika napas mulai memburu. Duduk sejenak, mengatur napas, dan minum secara bergantian.

Ketika dirasa cukup, maka perjalanan dilanjutkan kembali. Kawasan hutan Cemorokandang yang cukup panjang dan melelahkan sebentar lagi menemui ujungnya.
* * *

Pikiran harus tetap tenang. Fokus pada setiap petunjuk yang memperjelas jalur. Entah itu kain, tali, panah, hingga botol minuman yang diselipkan pada ranting pepohonan.

Di saat rasa putus asa dan frustasi menghinggapi, semestinya kami harus ingat dan malu pada makhluk lain yang jauh lebih berat dalam bertahan hidup. Kami tak layak mengeluh pada beban yang dibawa.

Karenanya, kami harus bersyukur ketika pertanda itu mulai tampak. Tanpa terasa, langkah kaki lebih cepat ketika perjalanan memasuki sepertiga akhir. Sabana Sendang adalah tempat perkemahan paling damai, dengan sumber air yang melimpah sepanjang tahun. Dari sini puncak sudah terlihat. Hanya perlu sedikit menegangkan otot agar mampu mencapainya dalam setengah jam jalan kaki.

Tapi setelah berjalan jauh dan sebelum ke puncak, terlebih saat pulang, perut harus diisi kembali, bukan?
* * *

Bagi saya, Gunung Butak telah menjawabnya. Puncak tertingginya di titik 2.868 mdpl, Siti Ingghil, membalas kerinduan itu. Tak seutuhnya, tetapi realita yang kami rasakan sudah lebih dari cukup menenangkan. Dua kali, di hari kedua dan hari ketiga, kami melihat rupa pagi yang berbeda. Dua kali, kami rela naik-turun puncak demi melihat rilis fajar.

Kami melihat siluet Gunung Semeru, puncak abadi para dewa, dan Pegunungan Tengger purba yang memunggunginya, tampak garang berlatar langit Subuh yang menyala-nyala.

Dan tak lupa tetangga dekat yang menjulang di timur laut, Gunung Arjuno dan Gunung Welirang, bagaikan kembar siam yang ‘direkatkan’ oleh Gunung Kembar I dan II.

Di puncak, kadang kami melepas tawa, membayangkan perjalanan awal penuh peluh selama kurang lebih 8 jam menuju tempat berkemah. Kadang kami tertawa, karena tak menemukan alasan yang lebih tepat bahkan memuaskan untuk menjawab pertanyaan dari orang-orang yang heran, ‘mengapa kami repot-repot naik gunung?’ Karena ratusan foto dan cerita lisan tak akan cukup. Kita harus merasakannya sendiri.
* * *

Kerinduan kami akan ketinggian gunung lebih dari cukup tertuntaskan. Memang ada sebagian kecil harapan kami yang belum terkabul -seperti pemandangan bintang kala malam atau melihat senja terbenam, tapi yang kami dapatkan selama tiga hari dua malam pendakian adalah jawaban terbaik dari Tuhan dan sang gunung. Tak diguyur hujan selama pendakian pun sudah sangat kami syukuri.

Dan harus selalu kita ingat, mendaki gunung adalah soal bagaimana bertamu dengan baik. Cintailah alam dengan sepenuhnya cinta. Hargai semesta dengan sepenuhnya cinta. Rindu yang baik pasti bermula dari niat yang baik.
Pada akhirnya, kami harus berterima kasih pada segala pemberian yang menguatkan langkah kami. Juga berterima kasih kepada segala cermin yang mengingatkan kami untuk pulang, tujuan paling utama dalam pendakian gunung. Meskipun telah pulang, bukan berarti tertutup sepenuhnya pintu untuk kembali, ‘kan? (*)
Untuk dokumentasi berupa video pendek pendakian Gunung Butak ini dapat dilihat di bawah ini:
Foto sampul:
Seorang teman pendaki tengah nikmat menyeruput kopi hangat di puncak tertinggi Gunung Butak saat sunrise di hari kedua pendakian.
Tinggalkan Balasan