“Aih! Kenapa tidak ke Kelimutu?”
“Aih! Kenapa tidak ke Komodo?”
“Aih! Belum sah ke Flores kalau tidak ke Komodo dan ke Kelimutu!”
“Sumba sudah?”
Suara-suara itu saya dengar dari sejumlah teman di Flores, khususnya. Baik lewat telepon atau ngobrol langsung. Saya hanya bisa menggeleng dan menjawab diplomatis, belum ada waktu. Tambahan, saya juga sedikit berkelakar, “Pasti akan ada jelajah Nusa Tenggara Timur jilid ke sekian dan seterusnya!”
NTT bukan hanya tentang itu bukan?
* * *
Kamis, 20 Oktober 2016, Sidoarjo pagi itu cerah. Di langit, hiasan selaput-selaput awan bersolek. Pesawat berjenis Airbus A320 yang saya tumpangi tinggal landas cukup halus meninggalkan Bandara Juanda.
Akhirnya saya berangkat juga.
Cita-cita yang sudah terpendam berbulan-bulan, lalu dirumuskan dalam persiapan beberapa pekan, akhirnya mencapai awalnya. Saya kembali ke provinsi paling timur di gugusan Kepulauan Sunda Kecil di Indonesia. Kali ini berkesempatan menumpang burung besi yang melintasi langit Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara.
Di tengah sedikit keraguan tentang biaya perjalanan yang harus dipersiapkan, di tengah kegalauan di tempat tujuan, pada akhirnya saya berangkat juga. Pada akhirnya, satu per satu jawaban muncul memupus keraguan. Bahkan kini muncul semangat-semangat baru.
Penyebabnya banyak. Kaldera Gunung Tambora di Tanah Samawa, pulau-pulau kecil di antara Sumbawa dan Flores, garis pantai bergradasi di pulau-pulau yang memukau dilihat dari udara, Tablolong yang terik nan sepi.
Dan karena teman-teman yang baru dikenal, tapi selayaknya seakrab keluarga. Pada akhirnya saya berangkat juga.
Hari pertama saat itu ditutup dengan terlambat menikmati senja di Pantai Lasiana, Kupang. Tapi, Tuhan seakan mengganti dengan cerita-cerita baru yang seru kala malam. Cerita-cerita seru yang dituturkan penuh semangat, gelak tawa, dan kadang senyum sinis karena pemikiran logis.
Saya jadi berpikir, nikmatilah perjalanan ini. Saya tak ingin mengejar banyak destinasi di satu titik, daripada terlewat lelah ketika bercengkerama dengan penduduk setempat.
Saya dan seorang teman hanya dua malam di Kupang. Saya sempat riset kecil-kecilan tentang sejarah Islam NTT di kediaman Burhan Mustafa di Kelurahan Airmata, Kupang. Riset awal ini adalah titipan bapak saya yang kebetulan sedang dalam proyek menyusun ensiklopedi ulama Nusantara.
Kami paling lama singgah di Alor. Hampir 5 hari. Alor dikenal dengan banyak titik selam terbaik, khususnya bagi yang ingin melihat paus. Sayang, saya tak sempat menikmati bawah lautnya. Ketika ditanya, kenapa tidak menyelam? Saya berkilah karena tidak memiliki kamera bawah air.

Padahal aslinya saya tidak bisa renang.
Tapi di Alor, saya bersyukur sempat menikmati sejumlah pantainya yang berpasir putih dan berair jernih, belajar kebijaksanaan dari sesepuh adat di Takpala, belajar kebhinnekaan di Tuti Adagae, hingga melihat wujud Alquran tertua di Alor Besar.
Rabu, 2 November 2016. Hari ini tepat dua pekan saya berada dalam perjalanan di Nusa Tenggara Timur. Hari ini adalah hari yang begitu panjang. Saya dan seorang teman memiliki target waktu yang harus dipenuhi.
Kami sepakat untuk sementara mengakhiri perjalanan ini. Sudah saatnya pulang. Walau sebenarnya, kami merasa masih sedang berada di “rumah” tanpa konsep geografis.
Sedikit tak percaya rasanya. Setelah menghabiskan dua Malam di bumi Sikka, Maumere, termasuk melihat matahari terbenam dari atas bukit salib di tanjung Pantai Kajuwulu, lalu merasakan goyangan minibus melibas Trans Flores antara Maumere-Ende-Nagakeo-Ruteng yang meliuk membikin teman saya cukup mabuk. Dia pun memilih tidur lebih banyak.
Semakin tak percaya rasanya, saya bersua juga dengan seorang Blasius Monta dan istrinya, Bernardertha di rumah-homestay Wejang Asihnya yang sudah luas, berdekatan dengan SDK Denge. Saya terharu seketika Blasius berujar, “Saya masih simpan nomornya mas Rifqy, saat sms pertama 2 tahun lalu. Saya catat juga di buku sebagai antisipasi kalau memori hape saya penuh”. Bahkan Pak Blasius sempat berkelakar, “Saya tidak heran ketika Mas Rifqy SMS lagi ke saya. Mungkin sudah sedemikian cintanya dengan Wae Rebo.” Dia tertawa, saya tergelak.
Blasius pula yang mengutus Pak Pinus, pemandu yang bersahaja dan agak pendiam tapi tak pelit senyum, untuk menemani kami pulang-pergi sekaligus menginap ke kampung halamannya, Wae Rebo nan hijau.
Bagi saya, perjalanan ke Wae Rebo adalah satu perjalanan bagaikan menuju dunia lain. Kesan itu tak hanya tentang pendakian dan ketenangan kampungnya, tapi juga drama rem motor matik bagian depan yang sempat blong di tengah hutan Taman Wisata Alam Ruteng, juga ban belakang yang sempat bocor di antara Iteng-Dintor -di mana kami sempat diberi kursus singkat bahasa Manggarai oleh ‘klien’ lain di sebuah bengkel tambal ban pinggir sawah ke arah Todo.
Pada akhirnya, kami pun pulang juga. Minibus Gunung Mas jurusan Labuan Bajo mengantar kami kembali meliuk di sisa jalan menuju ujung barat Flores. Ada teman saya yang sudah menunggu di kota pelabuhan gerbang menuju TN Komodo itu. Kami transit di Labuan Bajo selama dua malam, sebelum hari Jumat, 4 November 2016, pesawat dari Labuan Bajo membawa kami pulang ke Surabaya setelah transit dua jam di Denpasar.
* * *

Waktu selama 16 hari adalah waktu yang terlampau singkat untuk menjelajahi seisi Kepulauan Sunda Kecil. Saya harus merelakan Rote Ndao dan Pulau Semau yang dekat dengan Pulau Timor, juga Atambua. Saya harus merelakan Sabu Rijua, terlebih bumi Marapu: Pulau Sumba. Saya harus merelakan Lembata, Adonara, Solor, Larantuka. Bahkan saya harus merelakan Kelimutu, juga berlayar di antara Taman Nasional Komodo.
NTT terlalu luas untuk sekadar disinggahi beberapa hari. Terlebih mengaturnya. Jelas tak mudah bagi seorang Frans Lebu Raya, gubernur asal Adonara memimpin wilayahnya. Ia perlu dua periode, yang cukup berhasil tapi tentu masih belum mendekati sempurna. Pekerjaan berat baginya, meningkatkan perekonomian warganya tanpa merusak adat dan tradisi leluhur di setiap daerah.
Keterbatasan waktu, membuat saya harus merelakan banyak tempat yang ingin dikunjungi. Seperti yang saya bilang, mungkin akan ada jelajah NTT jilid ketiga, keempat, dan seterusnya. Selagi masih ada kesempatan. Toh, proses hidup pun juga mengalami tahapan-tahapan.
Saya sempat berimajinasi tinggi. Ketika di Kalabahi, saya tidak melihat matahari terbit -karena mendung. Ketika awan mulai terselak, matahari terlihat sudah agak meninggi. Pagi di sana saya merasa seperti berada di timur matahari. Kiasan ini memberikan saya banyak catatan-catatan selama perjalanan, baik yang dapat tertulis atau bahkan sulit dideskripsikan.
Karenanya, sebagai penutup, saya ingin menyuarakan ajakan dalam bahasa Manggarai. Ngom ta de lau Nusa Tenggara Timur! Kamu harus pergi ke NTT!
(*)
Foto sampul:
Rofinus, satu di antara tiga ketua adat Wae Rebo tengah menjemur kopi di pagi yang cerah (dokumentasi pribadi)
Tinggalkan Balasan