Tiba-tiba terdengar suara yang berderit. Atau bisa dibilang mencicit, seperti suara tikus. Segera kedua kelopak mata terbuka separuh. Setengah sadar.
Kemudian suara kondektur memekik hening. “Semen Bosowa! Semen Bosowa!” Rupanya cicitan tadi berasal dari suara rem bus yang diinjak pedalnya sampai pakem.
Pagi Buta di Simpang Semen Bosowa
Dengan berat hati, terpaksa saya harus benar-benar melek. Bangun dari hangatnya selimut tebal dan empuknya kursi berbaring di dalam Liman, bus eksekutif bertrayek Rantepao-Makassar ini.
Dengan agak gontai, saya bergegas bangkit dari duduk. Dengan memanggul tas ransel hitam yang awalnya saya taruh di sela-sela kaki, saya turun dari bus. Kemudian bus bersasis bikinan Swedia itu langsung melaju kencang sesuai ‘kodrat’: menuju pemberhentian terakhir di Jalan Urip Sumoharjo, Kota Makassar.
Langit masih gelap. Hari kelima di bulan September 2013 ini baru empat jam berjalan. Hawa khas Subuh menguar. Menggantikan wanginya pendingin beraroma buah di dalam bus tadi.
Saya belum benar-benar terbangun seratus persen. Sesekali mengusap-usap kedua mata. Sekian detik berulang mengedarkan pandangan di persimpangan menuju pabrik Semen Bosowa ini. Sepi. Hanya lalu-lalang truk ekspedisi sepintas, yang suaranya memekakkan telinga pagi.
“Subuhan dulu, yuk,” celetuk entah siapa. Salah satu dari kami bertujuh, bukan saya, menyadari ada masjid yang bersahaja di pojok persimpangan jalan.
Akhirnya saya terbangun (tersadar) seratus persen. Memang bangunan masjid tersebut tidak terlalu mencolok. Remang-remang. Tak segemerlap reklame raksasa bertuliskan Semen Bosowa di persimpangan tersebut.
Teman saya memiliki ide bagus sebagai tindak lanjut ajakannya tadi. Singgah sebentar sembari menanti Subuh datang. Niat hati ingin merebahkan badan di teras masjid. Perjalanan malam yang panjang dari Rantepao masih menyisakan kantuk dan lelah.
Namun rupanya niat tidur kami tidak ‘direstui’. Baru juga hendak memejamkan mata, terasa sesuatu menusuk-nusuk kulit. Nyamuk-nyamuk beterbangan seakan mengingatkan kami untuk tetap terjaga. Benar saja. Tak lama, satu per satu jamaah Subuh berdatangan memasuki masjid. Satu di antaranya mengumandangkan azan. Alunannya memancar melalui corong masjid. Suaranya mengudara di langit Jalan Poros Maros.
Kami segera beringsut menuju tempat wudu yang gelap. Nyamuk-nyamuk tadi pun hilang.
Setelah cukup jamaah yang hadir, sang muazin lekas mengumandangkan ikamah. Seorang pria yang tampak alim menuju mihrab. Mengimami jamaah Subuh kali ini.
* * *
Sang imam memungkasi jamaah Subuh dengan tausiyah singkat dan salawat. Lalu kami saling bersalaman. Suasana yang hangat dan teduh. Sesegar sisa tetes air wudu yang masih melekat di tubuh.
“Mau ke mana?” tanya seorang pria paruh baya berpeci hitam. Pertanyaannya tentu berdasarkan dengan perlengkapan yang kami bawa. Menampakkan sekali jika kami adalah segolongan musafir haus wisata.”Mau ke Rammang-rammang, Pak,” jawab kami serempak. Kami tahu akan ke mana tujuan berikutnya, tapi belum tahu bagaimana caranya ke sana.
Seakan membaca pikiran kami, beliau menawarkan jasa perahu. Tapi sebelumnya, kami diajak untuk singgah sejenak. “Mari, mampir ke rumah dulu”. Diajaknya kami ke rumah panggungnya, yang bersebelahan persis dengan masjid.
Seakan tanpa komando, istrinya dengan ramah datang menyambut kami. Langsung menyediakan sajian teh panas untuk menghangatkan tubuh. “Saya Amirullah,” tuturnya memperkenalkan diri.
Beberapa saat kemudian, datang seorang pria bertopi dan berpakaian serba hitam. Iwan, putra sulung Amirullah itu, bersama anak laki-lakinya yang masih kecil, ikut datang membaur. Dari Iwan kami mendapat kepastian tentang transportasi ke Rammang-rammang. Dia siap mengantar kami ke dermaga dan mengenalkan koleganya yang menyewakan jasa perahu dan pemandu.
Rencana kami ke Rammang-rammang mulai benderang, seterang perubahan langit pagi yang cerah.

Obrolan berlangsung hangat di teras rumah panggung Amirullah yang seorang petani itu. Saya bagai pulang ke rumah.
Amirullah bukanlah petani yang terkungkung dengan kepasrahan terhadap alam. Dia kerap bepergian ke Pulau Jawa. Mengikuti beragam pelatihan atau seminar di bidang pertanian. Malang dan Bogor pernah dijejaknya. “Beberapa bulan lalu saya ke Batu, ada pertemuan.” Dia pergi untuk belajar.
Bagi saya, dia adalah segelintir petani yang beruntung. Dengan sering mengikuti pelatihan, meningkatkan wawasannya tentang profesi mulia yang digelutinya saat ini. Dia jadi tahu, perlu kreativitas dan inovasi agar bertani tak selalu bergantung faktor alam.
Kebiasaannya bepergian menurun pada Iwan. Tapi dengan tujuan yang berbeda. Iwan kerap mendaki gunung dan rimba yang terserak di negeri ini. Mencari inspirasi. Demi cita-citanya yang mulia, mengembangkan ekowisata di daerah kelahirannya. Termasuk wisata karst Rammang-rammang.
Tapi bagi saya, keduanya sama-sama pejalan. Sama-sama pengelana. Keduanya berkelana demi tujuan hidup yang lebih baik.
Menuju Dusun Berua
Waktu terus bergulir membatasi hari. Sesuai rencana, kami harus segera berangkat ke Rammang-rammang. Ini berarti kami harus meninggalkan rumah yang hangat ini. Pamit dan meninggalkan Amirullah yang begitu ramah menampung kami.
Sekitar pukul 06.30, kami ditemani Iwan berjalan menuju dermaga. Jaraknya hanya 15 menit jalan kaki. Saatnya olahraga pagi.
Dermaga yang kecil, namun sepertinya menjadi denyut utama untuk perekonomian warga setempat. Adalah Adang dan saudara kandungnya yang akan menemani ketujuh pejalan ini menuju Rammang-rammang. Di dermaga ini kami berpamitan dengan Iwan.”Nanti ditemani Adang ya,” ujarnya. Kami berjabat tangan erat, lalu menaiki perahu yang agak bergoyang.
Tak perlu waktu lama, suara motor perahu mulai membahana. Nakhoda mulai menggerakkan tuas perahu bermesin tunggal ini.
Perahu berjalan dengan kecepatan yang sedang-sedang saja. Tak cepat, tak lambat. Baling-baling mesinnya seperti bergemeretak memukul-mukul Sungai Pute yang kecoklatan tapi berair tenang ini. Saya hanya bisa berdoa dan berharap agar tidak ada peristiwa perahu oleng pagi ini. Saya tidak khawatir tentang kami, tetapi khawatir karena kamera yang kami anggap lebih ‘berharga’. Aneh memang.

Mungkin, laju perahu sengaja tidak dipercepat. Mungkin, tujuannya supaya kami dapat menikmati barisan panorama alam yang tersaji di segala penjuru. Tanaman nipah di sisi sungai begitu hidup, berayun-ayun diembus semilir angin.
Yang membuat mata saya terbelalak adalah gugusan bukit karst yang menjulang. Saya yakin bukit itu tidak diam seperti yang terlihat mata. Saya percaya semuanya bersenandung, menyanyikan kidung-kidung semesta yang tak terdengar oleh keruhnya hati manusia.
Dalam pelayaran ini ternyata kami tidak sendirian melintasi Sungai Pute. Bak lalu lintas di daratan, beberapa perahu berseliweran. Kami saling berpapasan, saling menyapa. Saling berbalas senyum. Tujuan mereka bermacam-macam dalam satu perahu itu. Ada yang ingin belanja, ada yang bersekolah, dan tentu ada yang mengantar mereka, tak lain si nakhoda perahu tersebut.
Saya menangkap kesan semangat dalam raut wajah mereka. Seperti tiada kesan jenuh melalui hari-hari di jalur yang sama. Saya ingin merasakan keyakinan yang sama.
Foto sampul:
Seorang warga Dusun Berua mengayuh perahu menyusuri Sungai Pute
Tinggalkan Balasan