Kembali ke Kapas Biru

AIr terjun Kapas Biru

Sebuah pertanda berupa lahan padi di tubir anak sungai Kali Glidik menunjukkan bahwa trekking hampir mendekati akhir. Saya melihat arloji. Sudah pukul 09.40. Sudah 40 menit kami berjalan dari tempat parkir.

“Masih jauh, Mas?” tanya Rizky yang berjalan di belakang saya. Saya menggeleng, lalu menelunjuk pada sebuah jembatan bambu di depan kami. Memberi kode pada Rizky dan yang lain bahwa tujuan kami tidak jauh lagi. Sayup-sayup terdengar suara gemuruh air yang kian jelas. “Kalian dengar suaranya?”

* * *

Pukul 05.30. Sudah lewat sepekan selepas Idul Fitri 1437 H.

Titik kumpul pagi ini, Pasar Blimbing, kota Malang sudah bergeliat. Di pinggir jalan raya, mobil pembeli dan pedagang terparkir cukup rapi di luar pagar pasar. Juru parkir berompi oranye sibuk mengatur dan menata sepeda motor pengunjung. Kios-kios sembako, sayuran, dan buah ramai didatangi pengunjung pasar yang terletak di utara Masjid Sabilillah ini. Rizky dan Kurniawan hanya sempat membeli kudapan gorengan. Kemudian mereka ikut kami berlalu, berbelok ke Tumpang, arah timur, setelah pertigaan lampu merah yang tak jauh dari pasar.

Kami akan pergi ke Pronojiwo, Kabupaten Lumajang. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang. Alasan kami ke sana adalah keberadaan sebuah air terjun yang mengalir deras di antara tebing cadas kecokelatan.

Aku kangen Kapas Biru. Begitu isi pesan singkat yang saya kirimkan kepada teman saya, Eko, beberapa hari sebelumnya. Ya, saya kangen air terjun yang dulu bernama Antrukan Sumber Telu itu.

Gayung bersambut. Selaras dengan rencana Eko untuk main ke sejumlah air terjun di kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang. “Tapi aku rencananya berangkat Minggu,” katanya. Saya menawar. “Bagaimana kalau Kamis?” Eko setuju. Dia paham keuntungan berwisata pada hari kerja karena tidak terlalu ramai wisatawan.

Jalan setapak yang membelah kebun salak ke arah Kapas Biru. Di sepanjang jalan raya Ampelgading-Pronojiwo juga banyak dijumpai kebun salak milik warga.
Jalan setapak yang membelah kebun salak ke arah Kapas Biru. Di sepanjang jalan raya Ampelgading-Pronojiwo juga banyak dijumpai kebun salak milik warga.

Rute berangkat pagi ini akan berbeda dengan rute pulang. Kami memilih rute berangkat melewati Tumpang-Poncokusumo-Wajak, lalu melewati sebagian wilayah Turen.  Melewati rute ini kala pagi hari, akan menjanjikan suasana pedesaan yang udaranya membelai kulit. Persawahan yang sebagian menghijau dan menguning, keramahan khas pedesaan. Memanjakan mata.

Kami menyempatkan berhenti di Depot Blitar untuk sarapan setelah sejam perjalanan. Warung makan yang terletak di seberang (selatan) SPBU Talok, Turen, ini ramai didatangi pembeli kala pagi. Kebanyakan pekerja atau buruh tani di perkebunan tebu setempat. Warung ini juga dijadikan tempat favorit untuk transit dalam perjalanan Malang/Blitar ke Lumajang.

Setelah sarapan, satu jam selanjutnya motor kembali kami geber menggilas aspal yang berliku sepanjang Kecamatan Dampit-Tirtoyudo-Ampelgading. Bersama Sumbermanjing Wetan, tiga kecamatan yang berada di sisi selatan Gunung Semeru ini dikenal sebagai daerah penghasil kopi. Karenanya disebut kopi ‘Amstirdam’, yang merupakan kependekan dari keempat kecamatan tersebut.

Di tengah perjalanan melintasi perbatasan Dampit-Tirtoyudo, terpampang pemandangan yang memesona. Semeru! Saya berseru.

Teman-teman yang lain juga melihat ke arah yang sama: Gunung Semeru yang menjulang ke langit biru. Penuh guratan di bagian puncaknya, membilah jurang-jurang dalam. Separuh tubuhnya tertutup kabut. Gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa, yang menjadi alasan mengalirnya sumber-sumber air jernih di lerengnya. Tak terkecuali Kapas Biru.

* * *

Harus berhati-hati saat menuruni jalan tanah yang cukup licin
Harus berhati-hati saat menuruni jalan tanah yang cukup licin

Tetap sama seperti kunjungan pertama di bulan September 2015 dulu. Jalan setapak yang landai di antara kebun salak yang rimbun dan teduh adalah bagian permulaan trekking pagi ini. Suasana lembab dan jalan yang agak licin adalah hasil hujan semalam menurut warga setempat.

Ketika kebun salak menemui ujung, pemandangan mulai terbuka, dengan tebing dan bukit di seberang terpisahkan oleh aliran Kali Glidik yang airnya agak kecoklatan. Kami tetap mengikuti jalan setapak yang kembali melebar dan disambut warung dan pos loket sederhana dari bambu. Uang masuk sebesar 49 ribu rupiah kami bayarkan untuk kami bertujuh.

Trekking yang sesungguhnya dimulai selepas pos loket. Jalan tanah yang dibuat berundak terus menurun hingga batas jurang di antara rerimbunan bambu. Sebuah tangga besi setinggi dua kali pebasket Yao Ming yang dibeton vertikal harus dilalui. Di antara anak tangga dipasang ban karet agar tidak licin. Tangga ini dipasang untuk melalui turunan yang curam nyaris 90 derajat.

Setelahnya, jalan setapak terus menurun, lalu kembali datar setelah melewati satu-dua aliran air terjun kecil. Menyegarkan di bawah terik matahari menyengat.

Saya melihat keunikan vegetasi dan pertanian di sepanjang perjalanan ke Kapas Biru. Lebih dari satu-dua lahan padi milik warga dengan luas maksimal separuh lapangan futsal. Sebagian lahan padi bahkan terletak sama tinggi dengan permukaan Kali Glidik, yang merupakan aliran lahar dingin dari Semeru. Hampir mendekati 0 meter dari permukaan laut.

Belum lagi dengan pohon pisang yang tumbuh begitu saja di tebing-tebing basah dan lembab. Menyiratkan tanya, apakah pohon pisang tersebut sengaja ditanam atau tumbuh alami?

* * *

Air Terjun Kapas Biru
Jembatan bambu, penanda Kapas Biru sudah dekat

Waktu menunjukkan pukul 09.45, yang berarti sudah 30 menit kami berjalan. Satu tanjakan pendek selepas jembatan bambu ibarat pamungkas. Di ujung tanjakan, gapura selamat datang yang sederhana menjadi penyambut. Sumber suara gemuruh air itu kini terlihat wujudnya.

Suasana teduh menguar. Kami seakan memasuki sebuah auditorium berpendingin udara. Sorot matahari terbiaskan di ujung air terjun yang timbul buih-buih air selembut kapas. Bulir-bulir keringat kami perlahan menguap. Sesekali percikan air terjun tempias mengenai badan.

Endi seh birune kuwi?” tanya Eko memecah gemuruh. Menanyakan alasan penyebutan biru dalam nama air terjun ini. Sembari memegang kamera, dia berdiri di tepi sungai yang dibatasi pagar bambu.

Saya mendekatinya. Maksudnya untuk sedikit membantu menjelaskan. Belum sempat saya menjelaskan, Kurniawan ikut mendekat dan menunjukkan hasil foto lewat kamera gawainya. “Iki loh birune.” Dia menunjukkan warna kebiruan yang tampak di dasar air yang jatuh. Begitu derasnya, sehingga menciptakan buih-buih air berwarna seperti kebiruan.

Air terjun Kapas Biru
Semoga Kapas Biru dan sekitarnya tetap lestari

Eko coba kembali memotret. Tapi lewat kameranya, dia belum berhasil menemukan warna biru itu. “Opo kameraku seng elek, yo?” tanyanya polos. Kami tertawa.

Sudah banyak perubahan yang tampak dibandingkan saat dulu pertama ke tempat ini. Perubahan mencolok adalah keberadaan tiga bangunan semi-permanen dari bambu yang terletak berseberangan. Dua berfungsi sebagai warung, yang ramai pembeli muda-mudi; satu lagi adalah gazebo sederhana, untuk bersantai.

Saya kembali merapatkan diri ke pagar pembatas. Saya mengingat dulu pernah berendam di kolam alami tak jauh dari gazebo. Merasakan dingin dan segarnya air terjun yang mengalir sepanjang tahun ini. Kali ini debit air terjun lebih banyak karena masih sering hujan, sehingga aliran air lebih deras.

* * *

Kini Kapas Biru menjadi idola dan pemuas hasrat petualangan bagi penggemar wisata alam. Air terjun ini diberkahi kontur tebing yang unik. Serasi dengan kucuran airnya yang deras dan selembut kapas.

Air terjun Kapas Biru
Sejumlah pengunjung yang menikmati wisata Kapas Biru. Pengunjung diharapkan menjaga kebersihan di kawasan wisata.

Tentu warga sekitar yang terdampak wisata ingin Kapas Biru selalu ramai dikunjungi orang (berkelanjutan). Salah satu cara yang sudah dilakukan adalah memberikan pesan tertulis yang menggugah kesadaran. Pesan yang mengajak agar kita menjadi pengunjung yang bertanggung jawab. Tak cukup dengan pesan lewat tempat sampah dan plang imbauan di sejumlah titik.

Pesan tertulis lainnya juga tertera di bagian belakang kaus kru pengelola wisata Kapas Biru. Pesan di kaus berwarna biru langit tersebut (diharapkan) tak sekadar berupa slogan belaka:

Setetes air mampu memberikan kehidupan untuk semua makhluk di bumi. Maka janganlah mengotori sumber air yang telah diciptakan Tuhan untuk kita rawat, dan jagalah sumber air yang ada di sekitar kita. (*)


Foto sampul:
Gazebo bambu seolah menjadi pemanis di air terjun Kapas Biru, Pronojiwo, Kabupaten Lumajang.

35 tanggapan untuk “Kembali ke Kapas Biru”

  1. Untuk kali ini aku ngak mau ngomentari air terjunnya dulu. Heeee, karena sudah terlihat dari gambar debit airnya melimpah.

    Selamat dengan domain baru lagi, hahahahahaha

    Suka

  2. Bisa nikmati air terjun sambil.makan salak yooo

    Suka

  3. aaah keren banget air terjunnya, ngeliatin fotonya aja, berasa segernya !

    Suka

    1. Iya Mas, lagi ngehits sekarang, apalagi diganti namanya yang lebih menjual hehehe

      Suka

  4. Saya pun sepertinya akan sangat ingin kembali lagi kemari jika sudah sekali berkunjung. Lha wong ini saja belum berkunjung sudah kepengen banget ke sana, kok. Meskipun usahanya sepertinya tidak sedikit, dibela-belain deh. Sumber Pitu dan Sumber Papat saja dibela-belain jalan dari parkiran bawah, via jalur trekking, mana hujan pula (haha), masa yang ini tidak keras juga usahanya.
    Seperti biasa, tulisan Mas Rifqy selalu bisa membuai pembaca dengan kepiawaian mengolah kata yang dirasuki keindahan dari tempat yang dideskripsikan. Haa jadi makin pengen ke air terjun :)).

    Suka

    1. Terima kasih apresiasinya Mas 🙂

      Wah, tentu Sumber Pitu dan Sumber Papat lebih berat Mas, Kapas Biru ini hitungannya cukup santai kok trekkingnya 🙂

      Disukai oleh 1 orang

      1. Asyik, kalau begitu bisalah ke sana :hehe.

        Suka

  5. lama tak mampir ke tulisannya mas Rifqi. Keren fotonya dan tulisannya mengalir. dg blog baru ini, bisa terus baca2 tulisannya

    Suka

    1. Terima kasih Mas Sandi, panjenengan juga keren, semoga kita sama-sama diberi kesehatan untuk terus menulis ya Mas 🙂

      Suka

      1. siap mas, aamiin. kapan2 kalau udah beli kamera. ingin belajar motret ke samean nih

        Suka

        1. Ahaha, saya juga masih belajar 😀

          Suka

  6. itu jalan setapaknya unik banget

    Suka

  7. wah Lumajang yo. aku blm pernah ke sini hehe
    Biasanya air terjun gt banyak dibuat pacaran, kaya di tawangmangu. haha. itu warna2 batuan tebingnya apik ee

    Suka

    1. Iya Mas, ayo ke Lumajang. Hehe. Wkwkwkwk, biasa mah kalau gitu, yang banyak malah muda-mudi setempat 😀

      Suka

  8. masuk ke kapas biru free maz? sebaiknya ke kapas biru saat musim apa?

    Suka

    1. Untuk informasi harganya, sudah saya masukkan ke dalam artikel ini Mas, saya cantumkan info 49 ribu rupiah untuk bertujuh, yang berarti 7ribu per orangnya 🙂

      Suka

  9. Air terjun depannya langsung ada gazebo bambu.. Sambil ngopi dan memesrai suasana asri air terjun.. 😀

    Suka

  10. Fotonya ciamik dan narasinya hmmm

    Suka

    1. Mengalir saja Mbak apa yang ada di otak, hehe. Maturnuwun apresiasinya 🙂

      Suka

  11. Ajib, Mas Rifqy! Foto-fotonya bikin gatel ingin motret. Tulisannya, seperti biasa, bagus. Kaya akan diksi dan gaya bahasa. Mas Rifqy inspirasi Indonesia (promosi KompasTV). Bahahaha. Salam untuk Mas Oki dan Mas Kur.

    Btw, ini blog baru kah? Kok saya harus follow lagi ya?

    Suka

    1. Makasih, Mas, ini tulisan yang ngendon di draft udah lama banget wkwkwkwk. Bahahaha, pengen dong di Kompas #eh

      Siap Mas, insya Allah. Iya cuma ganti domain dan balik ke wordpresscom mas, gak paham kalau pakai selfhosting kayak sebelumnya hahaha

      Suka

      1. Oalah. Pantes, kok baru tapi ga baru.. Hahaha. Ayok! Ke Kompas! Hahaha.

        Suka

  12. Pengen trip ke air terjun lagi baca postingan ini. Rundu segernya air terjun, bikin lelahnya trekking gak terasa…. 🙂 🙂

    Suka

  13. kalau mau ke air terjun mesti ngikutin jalur pendakian gitu kah? ngelihat tampilan air terjunnya jadi pengen kesana tapi nga mau trekking wkwkwk.. perjuangan kesini pasti berat yach. banyak mau nya nich hehehe.

    Suka

    1. Cuma jalan setapak mbak, hehehehe. Hahaha, pelan-pelan aja jalannya ntar, lama2 juga akan sampai 🙂

      Disukai oleh 1 orang

  14. Musim penghujan memang waktunya ngapelin beberapa curug, air terjun mas.
    Baca perjalanan menuju Kapas biru aja udah seruu… melihat semeru, lewat kebun salak, kopi, terus tiap air terjun itu khasnya musti meniti tangga-tangga atau tebing yakk 🙂
    Tapi pas sudah sampai disapa sama tarian pohon bambu dan stok air melimpah ruah jatuh gitu: Sejuk. Huhu.
    Tetap hati-hati pas licin mas.

    Suka

    1. Iya Mbak Dwi, cuma kadang beberapa air terjun yang alirannya bukan berasal dari mata air malah keruh kalau musim hujan hehehe. Mbak Dwi juga hati-hati kalau eksplor curug, di mana pun dan kapan pun 🙂

      Suka

  15. Mas,mau nanya, kenapa ganti domain? Hehehehe

    Suka

    1. Yang sebelumnya kan palai selfhosting, lima bulan, saya gak puas karena gak paham dan kurang powerful karena keterbatasan saya juga. Akhirnya balik lagi deh ke wordpresscom tapi upgrade fitur personal dan beli domain sekalian hehw

      Suka

      1. Beli ke penyedia domain begitukah?

        Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: