Hasil latihan selama sebulan penuh diuji pada hari itu, 17 Agustus 2006. Tim 17, 8, dan 45-saya berada di tim ini- sudah berbaris rapi sesuai arahan selama latihan.
Tim 8 sebagai tim pengibar sudah siap di depan tiang besi bercat putih. Tiga orang di antaranya bergerak maju, bersiap mengibarkan bendera. Slap! Semua terbelalak. Terdengar suara gumaman dari barisan pimpinan kecamatan dan para tamu undangan. Terdengar bisik kepanikan di barisan tim Paskibraka. Tak terkecuali saya. Mulut saya menganga, keringat mendadak bercucuran deras. Semua menatap ke satu titik: bendera Polandia terbentang! Sang saka terbalik!
Untuk sesaat, suasana lapangan kecamatan terasa hening. Saya bahkan sekian detik tak mendengar lalu-lalang kendaraan di jalan raya. Sampai kemudian tim pengibar bergegas membetulkan posisi bendera dan terdengar teriakan:“Bendera siap!” Hiduplah Indonesia Raya… Tim paduan suara melaksanakan tugasnya. Prosesi berjalan lancar setelahnya.
Usai upacara, tim kami berkumpul di teras kantor kecamatan. Tim 8 tak kuat menahan tangis. Merasakan penyesalan atas kesalahan teknis tadi. Tim 17 dan 45 merapat. Kami saling menghibur dan menguatkan hati. Tak lama, Pak Camat ikut datang menghibur dan memberi semangat. Dia menjabat erat tangan kami, menepuk keras pundak dan membesarkan hati kami, “Tenanglah, tak apa. Ini bukanlah akhir…”
Sudah satu dasawarsa peristiwa itu berlalu. Sejak saat itu hingga sekarang, akan menjadi pengalaman berharga sekaligus yang paling berkesan. Saya melalui hari di 17 Agustus kala itu dengan menjadi tim pasukan pengibar bendera pusaka. Dengan insiden kecil, setidaknya saya pernah merasakan bahwa tak mudah menaikkan bendera pusaka ke tiang tertinggi.
Seperti perjuangan para pahlawan kita terdahulu. Bertahun-tahun para pejuang dan aktivis pergerakan tak kenal lelah menyuarakan keinginan kuat untuk merdeka. Bertahun-tahun menanti kemerdekaan terpekik nyata dan merah putih berkibar teguh di tiang-tiang tertinggi. Sementara kini kita dengan mudah tahu pasti, jika setiap tanggal 17 Agustus akan ada upacara bendera hampir di seluruh penjuru Indonesia.
* * *
Dua tahun lalu, Agustus 2014, saya kembali merasakan pengalaman yang berkesan di momen kemerdekaan. Kali ini bukan bertugas sebagai tim Paskibraka.
Tak seperti teman-teman yang lain, yang biasanya merayakan hari kemerdekaan di puncak gunung, saya memilih melakukan perjalanan seorang diri ke timur. Saya ingin merasakan “keterasingan” di momen kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan pertimbangan dan perencanaan yang memakan waktu, saya memilih Kenawa, sebuah pulau kecil di Kabupaten Sumbawa Barat.
Masnya juga mau ikut ke Rinjani? Tanya seorang pemuda separuh baya di dalam Kereta Api (KA) Tawang Alun kala itu. Dia dan tim gabungan asal Rembang-Lamongan-Malang berencana merayakan 17 Agustus di puncak Rinjani. Sementara penumpang pendaki lainnya berencana mengibarkan bendera di puncak sejati Gunung Raung, Banyuwangi.
Saya mau ke Sumbawa, jawabku.
Selepas perjalanan kereta api dari Malang ke Banyuwangi, saya menyeberangi tiga selat dan dua daratan pulau. Estafet. Ditambah satu penyeberangan singkat menuju Pulau Kenawa. Saya pergi menjauh dari hiruk-pikuk kemapanan dan kenyamanan. Saya menguji batas diri. Saya ingin melihat dan memandang Indonesia bagian Pulau Jawa dari sisi timur. Dari sisi pinggiran negeri.

Pada tanggal 17 Agustus 2014, usai salat Subuh, saya bergegas menyambut matahari terbit dari Pulau Kenawa. Saya berlari kecil menuju tepi dermaga. Matahari perlahan meninggi.
Saya menghadap matahari, merunduk, lalu menatap fokus bendera merah putih yang diembus angin Selat Alas. Saya pegang erat sang dwi warna dengan kedua tangan. Saya menciumnya. Dalam mata terpejam, saya merenungkan perjalanan yang terbentang sepanjang Malang-Kenawa:
Masih ada keculasan kecil di titik-titik publik. Masih ada kesemrawutan sehari-hari di setiap jengkal tempat.
Masih terlihat kepapaan di persimpangan lampu merah atau di bantaran kali. Masih terlihat kepayahan para buruh dan pedagang asongan yang menyiratkan lelah di terminal atau pasar.
Masih muncul rasa keterasingan, masih jauh singgasana kemakmuran di sebagian besar pribumi. Saya melihat masih ada “kekeringan” dan “kekosongan” dalam bentang alam yang luar biasa dan mahakaya di negeri ini. Padahal seharusnya kita berasal dari rahim ibu yang sama. Ibu pertiwi.
* * *
Republik ini dilahirkan dengan cinta, limpahan darah dan tetesan air mata yang penuh sukarela. Hari kemerdekaan bukanlah sekadar untuk merayakan republik, melainkan becermin pada diri yang terpantul pada genangan air. Hari kemerdekaan adalah momentum untuk lebih mengenali negeri ini.
Barangkali kita perlu, setidaknya, sesekali melakukan perjalanan mencari inspirasi dan belajar pada mereka-mereka yang kurang beruntung. Melakukan perjalanan untuk menjadi manfaat bagi sesama. Walau Chairil Anwar pernah bersajak, bahwa nasib adalah unsur kesunyian yang tak perlu dibagi; tapi bagi saya jika ada setitik kebaikan yang dapat dibagi, maka bagilah. Sisanya, biarlah Tuhan yang akan menuntunnya.
Saya sengaja menulis ini dengan iringan lantunan lagu Bendera dari Cokelat yang menghentak. Bahwa sekurang apapun kita: meskipun tak sehebat matahari, tak setegar batu karang, tak seharum bunga mawar, tak seelok langit sore; tak boleh ada kata gentar atau berhenti demi kemerdekaan tanpa tapi. Bicara tentang kemerdekaan, berarti bicara tentang kemanusiaan. Berbagi kemanusiaan, berarti berbagi kemerdekaan.
Dirgahayu Republikku, Indonesiaku yang ke-71. Merdeka! Merdekalah! (*)

Tinggalkan Balasan