Melakukan pendakian ke Gunung Slamet, gunung tertinggi di Jawa Tengah lewat jalur Bambangan itu, adalah persoalan bercampurnya rasa penasaran dan pemenuhan tantangan. Seperti apa sih rasanya mendaki gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru itu?
Perlahan tapi pasti, rasa penasaran akan pendakian Gunung Slamet tersebut mulai terpupus saat hari keberangkatan. Panjang dan lelahnya perjalanan dari Malang ke stasiun Surabaya Gubeng, lalu dilanjut dengan kereta api Logawa ke stasiun Purwokerto luruh seketika setibanya saya dan teman-teman setim di basecamp Bambangan. Kami disambut tuan rumah pemilik basecamp dengan suguhan makan malam nasi, mi goreng, kering tempe, telur mata sapi dan mendoan. Sangat mengenyangkan dan saya pun makan dengan kalap. “Sambutan” yang sangat hangat, bukti keramahan warga di kaki gunung.
Angin malam berembus menusuk, memasuki celah jendela dan langit basecamp. Sementara yang lain merasakan kehangatan lelap dalam sleeping bag, saya memilih tidur dengan berselimut sarung. Tak sabar untuk segera meniti jejak di hutan rimba Gunung Slamet esok pagi.
Jalur Pendakian Yang Tak Mudah
Saya dan teman-teman memulai pendakian Gunung Slamet dari Dusun Bambangan, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Sama seperti Ranu Pani atau B29 Argosari, saya menyebutnya desa di atas awan. Saat matahari sudah terbit, saya berdiri di sebuah teras rumah. Di kejauhan nampak awan bergulung-gulung, seolah-olah kampung ini berada lebih tinggi dari lautan awan itu.

Dusun ini memiliki hasil pertanian (utamanya sayuran) yang berlimpah. Wortel, kubis, dan bawang merah adalah komoditas yang paling dominan. Saat pagi yang cerah, dari jalan kampung terlihat jelas vegetasi hutan lebat menyelimuti seluruh tubuh Gunung Slamet. Vegetasi tersebut terhenti pada batas yang disebut Plawangan, berganti dengan lumuran pasir dan bebatuan hingga puncaknya.
Pukul 08.30. Pagi terus berlalu.

Gapura sebagai gerbang pendakian menuju puncak Gunung Slamet menjadi awal perjalanan yang sesungguhnya. Tak lama setelah melewati bentangan ladang pertanian warga, jalan setapak menanjak sudah menghadang. Matahari menerpa kami begitu keras. Pepohonan tumbuh renggang, membuat saya berpeluh cukup deras. Dengan kondisi jalur yang demikian, kami membutuhkan waktu 1 jam 45 menit untuk tiba di Pos 1 Pondok Gembirung.
Trek selanjutnya tetap tak bisa membuat kami sedikit pun menghela napas lega. Namun, vegetasi pepohonan yang mulai rapat memberi kesempatan kami menghirup napas lebih segar. Dengan waktu tempuh yang sama seperti menuju Pos 1, kami tiba di Pos 2 Pondok Walang. Di pos kedua ini, meskipun tidak ada sumber air, terdapat tanah datar cukup luas untuk mendirikan tenda.
Jalan setapak kembali menyempit, membuat saya kerap bersenggolan dengan semak-semak basah. Tanpa ada aba-aba, hujan deras mengguyur tiba-tiba dalam separuh perjalanan menuju Pos 3 Cemara. Tak ayal, trek tanah yang sudah lembab karena ternaungi hutan lebat menjadi sedikit berlumpur dan licin. Seingat saya, waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 saat kami tiba di Pos 3. Di pos ini, fisik sebagian rekan pendaki perempuan mulai melemah.
Kami mempercepat langkah, menerjang hujan dan semak-semak basah yang agak menutup jalur di beberapa titik. Sejam berselang, kami tiba di Pos 4 Samaranthu yang terkenal angker. Jarang ada pendaki yang jika tidak terpaksa akan bermalam di sini. Bersamaan dengan ketibaan kami, hujan deras yang sedari tadi membasahi tubuh mulai mereda.
Ketika teman-teman beristirahat di Pos 4, saya dan Mas Kurniawan memutuskan untuk melanjutkan langkah. Berjalan cepat ke Pos 5 Mata Air, agar segera mengambil tambahan air dan menyiapkan minuman hangat. Telah disepakati bahwa di Pos 5 nanti kami akan istirahat untuk memulihkan tubuh sejenak. Mendekati Pos 5, vegetasi mulai agak terbuka. Sementara Gunung Slamet tertutup kabut pekat.
Sumber air terdapat di sungai yang mengalir di bawah Pos 5. Menuruni jalur sempit yang cukup curam dan licin. Sekalipun baru saja turun hujan, aliran air tidak begitu keruh. Masih sangat layak untuk dimasak dan diminum langsung.
“Ah, segarnya…,” desis saya saat iseng membasuh muka.
Cukup lama kami istirahat di Pos 5. Jelang petang, saya bersama Mas Kurniawan dan Lutfi memilih berjalan duluan agar dapat segera mendirikan tenda di Pos 7 Samyang Jampang. Menurut keterangan Mas Arif, teman lokal yang menjadi pemandu kami, waktu tempuhnya maksimal 1,5 jam dari Pos 5.
Gelap sudah memadu hari saat kami melewati Pos 6 Samyang Rangkah. Trek masih cukup licin dan menyempit dalam cerukan. Memaksa saya berpegangan pada ranting berlumpur di sisi kanan maupun kiri. Rain cover tas pun kerap bersinggungan dengan cerukan dan sesekali tersangkut dengan akar yang mencuat.
Saat vegetasi mulai kembali terbuka, samar-samar terlihat sebuah gubuk beratap di depan. Semakin mendekat, barulah saya tahu pasti jika kami sudah tiba di Pos 7. Akhirnya, 11 jam perjalanan menemui ujung di sini. Segera kami bergegas mendirikan dua buah tenda, satu di dalam pos, satu lagi di luar.
Seiring dengan kedatangan teman-teman yang lain, api kompor sudah menyala terang. Menu makan malam sedang dimasak, siap untuk mengisi ulang energi kami yang terkuras. Saya mengakui, meskipun “hanya” menjadi yang tertinggi kedua di Pulau Jawa, Gunung Slamet tak begitu saja memberikan kemudahan bagi pendakinya.
Summit Attack!
Saya baru benar-benar terbangun pada pukul 03.30. Begitu membuka mata, tubuh ini rasanya seolah ditusuk banyak jarum akupunktur. Nyaris setiap sendi terasa kaku, bagaikan terbelenggu dalam ranjang penghakiman. Saya tak ada maksud bercanda, tetapi sungguh butuh perjuangan cukup ekstra untuk bangkit dari tidur. Suara gemeretak pada sendi-sendi terdengar lirih saat meregangkan tubuh. Mirip suara derit pintu yang engselnya karatan.
Puncak tinggal 1,5 jam lagi. Saya berharap semoga tubuh saya tidak copot selama perjalanan.
Sejam berselang, usai melengkapi diri dengan perlengkapan “tempur”, saya dan teman-teman memulai langkah ke puncak. Meninggalkan camp di Pos 7 untuk sejenak. Seulas garis tipis sang fajar mulai terlihat di ufuk timur. Cukup untuk dijadikan pertanda bahwa pagi ini akan cerah.

Jalur pendakian yang terbentuk di tengak cerukan sempit kembali lapang, kala kami tiba di Pos 8 Samyang Ketebon. Sebuah tempat datar sempit, semata hanya tempat transit.
Sang fajar semakin merekah ketika kami merengkuh vegetasi terakhir di Pos 9 Plawangan. Plawangan, atau batas vegetasi di gunung ini ditandai dengan seonggok pohon cantigi dan papan besar berwarna jingga. Tetenger yang disebut terakhir menjadi penanda paling penting saat turun nanti. Semoga kabut tak tergesa menangkupnya. Medan pendakian pun berubah menjadi bebatuan dan tanah merah yang cukup licin.
Kami mulai berjalan terpencar. Menyisakan jarak yang cukup berjauhan, bergantung pada batas fisik dan mental masing-masing. Tapi tak ada kata batas untuk saling memberi semangat. Adagium “alon-alon asal kelakon” menjadi senjata menapaki tanah merah gunung ini. Melangkah perlahan tapi pasti, karena puncak tertinggi sudah menanti.
Megahnya Puncak Gunung Slamet
Sudah satu setengah jam berlalu dari Pos 7 Samyang Jampang. Tanjakan sudah purna tugasnya menguji ketabahan para pendaki.
Kini terhampar tanah berbatu datar yang memanjang. Mengedarkan pandangan ke segala penjuru, semuanya begitu lepas tanpa pembatas. Batas-batas itu kembali pada pendaki, termasuk saya. Di titik ini, saya seperti mendapatkan kesempatan untuk meluapkan keharuan, kebahagiaan, dan kebanggaan. Kesempatan yang hanya datang sekejap saat berhasil menjejak di puncak gunung tertinggi. Plakat biru yang terserak begitu saja di tanah, menjadi bukti sahih yang mendukung atas keberhasilan tersebut. Tinta putih menggoreskan barisan abjad: Gunung Slamet, 3.428 Mdpl. Begitulah papan itu terbaca.
Raut wajah semringah, teriakan syukur menggema, kepalan tangan mengudara, sampai sujud mencium tanah keras berbatu. Begitulah polah saya dan teman-teman setibanya di puncak tertinggi Gunung Slamet. Rasa lelah mendadak lenyap seketika, luruh. Kami bagaikan kapal yang melepas sauh. “Bersandar” sejenak setelah mengarungi perjalanan berat sejak kemarin.

“Hore! Kita sudah sampai di puncak!” teriak si kembar Zaki dan Zaka memecah kesunyian.
Mereka pun berpelukan erat, saya berusaha merekamnya dengan cermat. Melihat mereka bagaikan menyaksikan adegan slow motion seperti dalam sinetron. Adegan berpelukan dengan teriakan haru dan bangga, seakan berakhir dengan bahagia.

Sembari menunggu teman-teman tiba di puncak, saya mencoba memotret sekitar. Pemandangannya sangat memukau. Menatap ke arah barat, Gunung Ciremai, tanah tertinggi di Jawa Barat terlihat kecil.
Komposisi menarik saya dapatkan saat menghadap ke arah matahari. Seorang rekan setim sedang berdiri tak jauh dari puncak, seakan melihat dua gunung yang berdiri bersandingan: Sindoro dan Sumbing. Di antaranya, terhampar lautan awan yang lembut bagaikan kapas. Menggoda saya untuk melompat dan bergulung-gulung di atasnya.

Berpaling 180 derajat dari timur, saya melihat kepulan asap dari kawah aktif Gunung Slamet. Di dekatnya, terdapat tugu triangulasi, sebuah patok batas dua kabupaten: Purbalingga dan Banyumas. Alangkah besarnya gunung ini, karena ketika saya mendekati patok batas tersebut, saya serasa menginjakkan kaki di dua kabupaten. Kaki kanan di Purbalingga, kaki kiri di Banyumas. Sama seperti di Gunung Arjuno, terdapat patok batas antara Kabupaten Malang dan Pasuruan.

“Ayo, turun,” ajak teman-teman bersahutan.
Sudah saatnya untuk turun, lalu bergegas pulang. Rasa berat hati dan enggan pergi dari tempat berdiri dikikis oleh logika. Sebelum kabut membentang, sebelum badai menghadang. Toh, matahari juga kembali terselimuti awan kelabu.

Aduhai, gunung ini. Walau namanya tak “seindah” alamnya, tapi namanya mengandung doa untuk semua. Untuk saya, para pendaki, dan warga lokal. Jika nama adalah doa, maka tepat jika gunung ini dijadikan contoh. “Slamet” dalam bahasa Jawa bermakna selamat. Maka, sekalipun ia senantiasa bergejolak dalam ruang kawah dan kepulan asapnya, ada doa agar keselamatan tetap menaungi bagi kehidupan di dalamnya atau di kaki gunungnya.

Amin, ucap saya sembari menangkupkan telapak tangan ke muka. Perjalanan pulang masih panjang, yang hanya dengan mencoba menikmati semuanya akan mudah dilalui.
Salam pelangi. (*)
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog “Blog Competition #TravelNBlog 3“ yang diselenggarakan oleh @TravelNBlogID.
Foto sampul:
Warga dusun melintas di jalan kampung dengan latar belakang Gunung Slamet
Tinggalkan Balasan