Saya tercenung cukup lama membaca artikel yang ditulis Kanika Saxena di Travel Triangle. Berulang kali menggerakkan scroll mouse naik-turun.
Artikel yang diterbitkan 15 Februari 2016 lalu ini berisikan tentang ekspektasi dan realita dalam traveling. Ia menampilkan 16 foto lokasi wisata terkenal dunia. Mulai dari Tembok Besar China hingga Stonehege. Foto-fotonya mungkin sudah ramai di berbagai jejaring media sosial. Sebagian malah dikemas menjadi meme yang lucu sekaligus menggetarkan. Membandingkan harapan (ekspektasi) dan kenyataan (realita).
Kemudian saya tersenyum membaca dua komentar dari pengguna Facebook di bawah artikel tersebut.
Pertama, pembaca bernama Monica Tamics, yang sepertinya berasal dari Budapest, Hungaria. Komentarnya sedikit menceritakan pengalamannya mengunjungi Tembok Besar China tiga tahun lalu. Dia dan pasangannya berkunjung saat musim dingin dengan suhu minus 20 derajat. Dan mereka adalah satu-satunya pengunjung di sana. Admin Travel Triangle pun membalasnya dengan komentar bahwa mereka telah mendapat pengalaman yang menakjubkan.
Lalu saya membaca komentar kedua. Dari Ana Verronica Serrano, seorang perempuan Brazil yang berkomentar dalam bahasa Portugis. Ketika saya terjemahkan dengan bantuan Google Translate, saya terkikik. Terhibur. Mengangguk-angguk. Kurang lebih artinya seperti ini:
Aku tidak tahu tempat-tempat ini tapi setidaknya Anda tidak merasa sendirian! Banyak kehangatan!
Betul juga.
* * *

Melihat perbandingan foto-foto dalam artikel tersebut begitu menggelitik. Sekaligus menyentil. Situs online Bored Panda bahkan dengan ekstrim menyebut Instagram dan fitur filter di dalamnya sebagai biang hancurnya bayangan pelancong akan eksotisme yang mereka lihat di foto, ketika mereka berkunjung ke tempat aslinya.
Saya belum pernah bepergian ke tempat-tempat populer tersebut. Saya hanya pernah melihatnya di buku-buku, majalah, dan internet. Bahkan saya belum ada niat dan rencana satu pun untuk berkunjung ke sana.
Pertama kali mengetahui Tembok Besar China adalah dari Buku Pintar karya Iwan Gayo. Dari situ saya tahu kalau Tembok Besar China termasuk salah satu keajaiban dunia. Kini mungkin menjadi sebuah keajaiban apabila berkunjung ke sana dalam keadaan sepi seperti yang dialami Monica Tamics dalam komentarnya.
Di Buku Pintar itu juga disebutkan keajaiban dunia lainnya. Menara Eiffel di Paris, Prancis. Menara yang dirancang Gustave Eiffel itu sudah kondang dijadikan tempat romantis bersama pasangan. Berlibur bersama, piknik bersama, atau bercengkerama di atas taman sembari memandang Eiffel bersama. Kini mungkin menjadi sebuah keajaiban berkunjung ke sana seperti yang diimpikan. Jika kurang beruntung, jadinya akan seperti acara bagi takjil dan buka puasa bersama.
Atau kita bisa lihat banyak contoh di dalam negeri.
Gunung-gunung mendadak ramai seperti pasar. Esensi pendakian menjadi memudar.
Kita sudah saksikan banyak coban-coban (air terjun) di Malang-Lumajang mendadak tenar. Kapas Biru, Kabut Pelangi, Coban/Tumpak Sewu dan lainnya. Seolah-olah baru ditemukan. Pelancong pun berdatangan.
Sebenarnya geliat wisata demikian punya sisi positif. Kian banyak potensi wisata lokal yang belum banyak dijamah. Juga membangkitkan denyut perekonomian warga setempat.
Tapi layaknya cahaya dan bayangan yang beriringan, tak ketinggalan pula sisi negatif.
Sisi negatif tak hanya dari segi soal dampak kepada kurangnya kesadaran akan kebersihan lingkungan. Tapi juga menyangkut nyawa.
Kita tentu masih ingat. Seorang mahasiswa salah satu universitas negeri di Malang, tewas terpeleset jatuh ke jurang dalam setelah selfie dari tubir tebing Coban Sewu. Masih membekas di ingatan, tewasnya seorang pendaki karena jatuh dari puncak tertinggi Gunung Merapi.
Apakah semata-mata karena masifnya pertumbuhan media sosial? Atau keberadaan travel blog semacam ini juga ikut berperan?
Bisa jadi. Tapi tidak mutlak.
* * *

Ekspektasi dan realita adalah gap. Tentang yang diharapkan terjadi dengan yang sebenarnya terjadi. Gap ini bisa jadi masalah, jika kita melihatnya dengan sebelah mata.
Saya sering menjumpai pendaki yang kecewa berat karena gagal ke puncak. Atau sudah susah payah ke puncak, tapi yang didapat hanya kabut dan hujan sepanjang hari. Bukan sunrise atau lautan awan.
Saya sendiri kerap terjebak dimanjakan ekspektasi. Juga sering pergi ke suatu tempat karena terpengaruh oleh foto atau cerita yang saya baca di internet.
Pertama kali mengenal dunia pendakian, saya dan teman-teman langsung berambisi ke puncak Mahameru. Saya sudah membayangkan akan foto seperti apa di puncak nantinya. Tapi ambisi itu terbentur dengan kenyataan.
Tanpa persiapan fisik yang maksimal dan wawasan pendakian yang dangkal, 10 jam harus kami lahap dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo. Kami tiba tepat tengah malam. Padahal sejatinya hanya 4-6 jam saja normalnya. Esoknya, fisik langsung drop. Persendian ngilu semua. Ambisi berdiri di Mahameru pun dikubur dalam-dalam. Memilih menghabiskan waktu di Ranu Kumbolo selama tiga malam. Begitulah Semeru menegur kami.
Karenanya, banyak perdebatan muncul.
Ada sebagian yang usul. Tidak usah berbagi foto-foto destinasi wisata di internet. Nanti akan dikunjungi orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Yang kontra, tetap berbagi cerita dan foto. Memberi gambaran potensi wisata negeri ini yang layak digali.
Kedua usulan yang saya yakin berangkat dari niat dan persepsi yang baik. Setidaknya, tak sedikit orang-orang yang peduli dengan potensi di sekitarnya. Yang paling penting adalah bagaimana cara kita mengemas dan menyuarakannya.
Kita boleh berbagi pengalaman mendaki gunung hingga puncaknya. Tapi kebanggaan akan pencapaian puncak tak boleh menutupi esensi utamanya.
Kita harus sekaligus mengabarkan berita gembira bahwa kita bertanggung jawab dengan sampah yang dibawa. Juga berita gembira bahwa kita telah pulang dengan selamat. Kita juga menceritakan kendala fisik, mental, cuaca, dan rintangan lainnya yang dihadapi selama pendakian. Juga sakit dan dingin yang dirasakan. Berbagi yang seperti ini berarti memberikan pesan. Pesan yang diharapkan memberi wawasan dan edukasi bagi pembacanya.
Setelahnya, adalah ranah bagi yang melihat dan membacanya. Setiap pejalan selalu punya alasan di balik proses perjalanannya. Hanya Tuhan pemilik semesta, yang berhak menilai kebenaran maupun keburukan dari niat yang dikandungnya.
* * *
Karenanya, ekspektasi dan realita akan tetap ada di benak kita masing-masing. Bertolak belakang, tapi beriringan. Keberuntungan hanyalah bonus.
Yang perlu kita lakukan adalah: menghargai proses dan menikmati perjalanan. Siap mengerem ekspektasi, siap menerima realita. Seperti pesan yang tertera pada judul artikel Travel Triangle tersebut: Travel Expectations and Realities: Brace Yourselves!
Saya jadi teringat saat batal ke puncak Mahameru di akhir Mei 2014. Pas long weekend karena tanggal merah. Satu-satunya jalur dari Kalimati ke puncak sangat padat. Macet. Merayap. Saya langsung ilfeel, kehilangan minat dan ambisi tentang puncak. Sementara fisik seorang teman di depan saya sangat drop. Klop. Ada alasan meyakinkan bagi kami untuk memilih turun kembali ke Kalimati.
Saat turun, saya masih keheranan dan geleng-geleng kepala dengan kenyataan di depan mata tersebut. Tapi, mungkin seharusnya saya harus lebih bersabar dan mengambil hikmah, menghibur diri dengan berkata senada dengan potongan komentar Ana Verronica Serrano di atas:
“Tapi setidaknya kami tidak merasa sendirian! Banyak kehangatan!” (*)
Foto sampul:
Wisatawan berdesakan di sunrise point, gardu pandang Pananjakan 1 Cemoro Lawang, Probolinggo. Di sini adalah salah satu spot terbaik menyaksikan sunrise Gunung Bromo dan lautan pasirnya dari atas bukit.
Tinggalkan Balasan