Dalam tulisan sebelumnya, saya menyebut bahwa saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat beranjangsana ke Labuan Bajo, dan khususnya Taman Nasional Komodo. Walau cuma trekking melihat Komodo, tanpa menyelami bawah lautnya. Walau saya hanya sampai di “pintu”-nya Nusa Tenggara Timur saja. Begitulah impresi pertama tentang Indonesia bagian timur.
Tapi sebenarnya itu bukanlah kali pertama saya jatuh cinta. Khususnya jatuh cinta dengan taman nasional. Saya tidak sedang berhiperbola. Tapi perasaan jatuh cinta itu tidak cukup dideskripsikan lewat kata-kata.
Dengan segala kekurangannya, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) berhasil membuat saya jatuh cinta. Dari sunrise dan lanskap kaldera purba Gunung Bromo, syahdunya desa Ranu Pani di ketinggian 2.200 meter dpl (dari permukaan laut), gemericik danau vulkanis Ranu Kumbolo, sabana Oro-oro Ombo, hingga puncak berdebu Mahameru.
TNBTS adalah taman nasional di Indonesia pertama yang saya kunjungi dalam hidup. Saya berkunjung saat pertengahan kuliah. Cukup telat. Kini ada sedikit rasa sesal. Mengapa tidak sejak dulu -setidaknya sejak awal kuliah- saya memberanikan diri bertualang? Mengapa baru-baru ini saja saya peduli bahwa taman nasional itu penting?
Sekilas Tentang Taman Nasional di Indonesia
Menurut data dari situs Kementerian Kehutanan, tercatat ada 50 taman nasional yang ada di Indonesia. Ditambah satu lagi yang belum tercantum di halaman tersebut. Taman Nasional Gunung Tambora, yang baru ditunjuk dan ditetapkan bertepatan peringatan dua abad meletusnya Tambora. Berarti ada 51 taman nasional. Tersebar hampir merata di seluruh pulau besar di Indonesia.
Sebelum ekspansi penetapan besar-besaran dalam kurun waktu satu dekade terakhir, sudah ada lima taman nasional pertama yang didirikan di Indonesia pada 6 Maret 1980. Kelimanya adalah Taman Nasional (TN) Gunung Leuser, Sumatra Utara; Ujung Kulon, Banten; Komodo, Nusa Tenggara Timur; dan Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Dari daftar tersebut, dalam data Kemenhut, TN Gunung Leuser bersama TN Kerinci Seblat, TN Bukit Barisan Selatan (ketiganya berada di Sumatra), TN Ujung Kulon, dan TN Komodo ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO. Wikipedia menyebutkan bahwa TN Sembilang di Sumatra Selatan juga ikut masuk, tergabung dalam deret hutan hujan tropis Sumatra.

Dari jumlah 51 taman nasional itu, yang pernah saya kunjungi -walaupun tidak seutuhnya dijelajahi- antara lain: (1) Taman Nasional Gede-Pangrango, Jawa Barat; (2) Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat; (3) Taman Nasional Gunung Merbabu, Jawa Tengah; (4) Taman Nasional Gunung Merapi, Jawa Tengah; (5) Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur. Kemudian (6) Taman Nasional Baluran, Jawa Timur; (7) Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Kemudian (8) Taman Nasional Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat; (9) Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan; dan (10) Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur.
Baru sepuluh. Baru sekitar 19 persen. Angka ini bukanlah ukuran. Tak pantas jadi patokan tentang unsur mencintai negeri. Tapi saya lebih merasa tak pantas karena betapa sempitnya waktu yang dimiliki. Negeri kepulauan ini sangatlah luas. Bentang daratan dan lautan sejatinya adalah faktor tantangan (jika tak mau disebut menghambat) utama penyebab sub faktor pengiringnya: jarak dan waktu. Saya baru merasa dalam tahap pedekate dengan nusantara. Baru tahap mengenal. Belum menelisik lebih dalam.
Tapi dari sedikit itu, saya mendapatkan banyak cakrawala baru. Baik dalam pola pikir, wawasan maupun sendi pengalaman. Masing-masing (dari 10 taman nasional) memiliki karakter dan keanekaragaman yang khas. Masing-masing memiliki “cara” sendiri untuk memberikan kesan mendalam. Kesan yang saya tafsirkan sebagai pesan, bahwa mereka ada agar kita turut peduli dan ikut menjaganya.
Saya merasa kecil di tengah alun-alun Suryakencana yang luas. Merasa seperti Soe Hok Gie muda di kedamaian alun-alun Mandalawangi. Dua alun-alun penuh tanaman edelweiss yang menjadi kekhasan TN Gunung Gede Pangrango.
Saya merasakan kesegaran dan kesejukan dari banyaknya air terjun (curug) yang terserak di TN Gunung Halimun-Salak. Kalau saya kembali ke sana, ingin rasanya merasakan trek Gunung Salak yang populer dengan cerita mistisnya.
Gunung Merbabu, pemilik tujuh puncak, yang hijau dan bersahabat untuk pendakian. Gunung Merapi yang disebut banyak pendaki tak pernah ingkar janji. Jika saatnya tenang, ia akan tenang. Jika saatnya bergejolak dan “murka”, ia akan menggelegar. Kedua gunung ini bertetangga, layaknya Sindoro dan Sumbing.
Kawasan TNBTS, yang tak pernah bosan saya datangi. Memberikan cerita berbeda dalam setiap kunjungan. Yang memberikan banyak pelajaran, khususnya tentang mendaki gunung. Dan yang utama, warga suku Tengger yang ramah dan unik.
Saya berasa kecil sekaligus turut cemas di tengah sabana Bekol, TN Baluran, yang kerontang kala musim kemarau. Di sanalah hidup banteng Jawa (Bos javanicus) bergantung. Bersama pengelola, berjuang keras menabuh genderang perang kepada pohon akasia berduri (Acacia nilotica); yang merenggut ketersediaan air dan hara untuk satwa dan rerumputan asli Baluran. Sabana dan banteng adalah ikon utama taman nasional berjuluk Africa van Java itu.

Sedikit ke selatan Banyuwangi, saya terpesona dengan Teluk Ijo (Green Bay). Pantai berpasir putih dan berombak besar, tersembunyi dalam rimba TN Meru Betiri. Tak jauh dari Teluk Ijo, juga terdapat Pantai Rajegwesi yang berpanorama lepas. Penduduk pesisir tentu masih mengingat bahwa ombak pantai itu, bersama Pantai Plengkung di TN Alas Purwo dan Pantai Pancer, menggerakkan gelombang tsunami yang meratakan pemukiman pesisir selatan Banyuwangi pada 3 Juni 1994.
Saya tersegarkan dengan aliran air terjun Bantimurung yang cukup deras. Juga terkesima dengan karst-karst yang unik. Dan yang paling diingat adalah keberadaan 250 spesies kupu-kupu yang menjadi daya tarik utama. Karenanya TN Bantimurung-Bulusaraung (Babul) kerap dikenal sebagai kingdom of butterfly. Kerajaan kupu-kupu.
Selanjutnya, pada kesempatan pertama di tanah Lombok, Nusa Tenggara Barat, saya merasakan tempaan berat saat mendaki Gunung Rinjani. Naik dari Sembalun, turun lewat Senaru. Namun puncak Rinjani, gemericik tenang Danau Segara Anak, hingga sumber air panas Aik Kalak, meluruhkan lelah yang terasa.
Terakhir, perjalanan terjauh yang pernah saya alami. Pertama kalinya merasakan teriknya Nusa Tenggara Timur. Semakin terasa saat short trekking di Loh Liang, TN Komodo, Pulau Komodo. Berjumpa komodo, satwa endemik pemilik reputasi yang cukup membuat jantung berdesir.
Masyarakat dan Taman Nasional
Sesungguhnya, lebih dari sekadar bentang alam yang indah dan keanekaragaman hayati yang saya dapatkan. Ada yang lebih menarik. Yaitu, kehidupan masyarakat setempat di lingkar luar maupun dalam taman nasional.
Tentu saja jauh sebelum adanya penetapan taman nasional, mereka sudah terlebih dahulu ada secara turun-temurun. Mereka terlebih dahulu mengeksplorasi segala sumber daya di sekitarnya. Mereka memiliki kearifan lokal dan tradisi yang kuat. Saya sempat berpikir, mungkin awalnya perlu adaptasi ketika wilayah mereka ditetapkan sebagai taman nasional. Sebagian berdampak positif, sebagian masih menimbulkan gesekan.
Suku Tengger, misalnya. Suku yang masih teguh memegang adat dan tradisi dari leluhurnya, Roro Anteng dan Joko Seger. Upacara Kasadha dan Hari Raya Karo adalah perayaan terbesar dalam keyakinan mereka. Kedua tradisi tersebut termasuk dilindungi dan malah menjadi daya tarik wisata.
Ketika kawasan Pegunungan Tengger Purba ditetapkan sebagai taman nasional, termasuk Bromo dan Semeru di dalamnya, keberadaan taman nasional pun menjadi alat kontrol. Diterapkanlah zonasi-zonasi atau ketetapan-ketetapan yang membatasi gerak-gerik masyarakat Tengger. Utamanya yang menyangkut keberlangsungan ekosistem.

Contoh, dilarangnya masyarakat Tengger tentang kebiasaan memetik dan menjajakan bunga edelweiss. Bunga yang dilindungi. Walaupun terus terang kebiasaan tersebut susah sekali dihilangkan. Karena sebagian dari mereka sudah menjadikannya sebagai sumber pendapatan. Untuk bertahan hidup.
Selain itu, banyak juga yang bermata pencaharian sebagai petani sayur. Ladang-ladang mereka tak sedikit yang berada di kontur bukit yang miring. Di sisi lingkungan, bukit yang gundul dapat menyebabkan longsor karena kurangnya pepohonan yang bisa menyerap air. Di sisi ekonomi, hasil panenlah yang menjadi ladang rezeki mereka. Bagi yang tidak punya hewan ternak, bisa dibayangkan apabila tanaman mereka gagal panen. Apalagi jika abu hasil erupsi Bromo merusak ladang mereka.
Berbeda dengan masyarakat lain yang memiliki keahlian di sektor wisata. Menjadi sopir jip, ojek, pemilik kuda tunggangan, menjual kerajinan tangan dan suvenir, menyewakan penginapan, memiliki warung makan. Atau menjadi ranger, guide dan porter pendakian Semeru. Tapi, sekali lagi, tak semuanya mutlak bergantung atau terlibat dalam konsep taman nasional seperti yang ditetapkan dalam pasal 1 butir 14 Undang-Undang No. 5 tahun 1990. Bahwa taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Tapi, memang, mau tidak mau mereka telah bersinggungan dengan pariwisata dan menjadi pusat perhatian untuk ilmu pengetahuan. Mereka telah menjadi bagian dari taman nasional. Bersinggungan dengan khalayak ramai di luar kehidupan mereka sehari-hari. Di sinilah perlunya taman nasional dan masyarakat bersinergi. Menyesuaikan. Agar terjadi simbiosis mutualisme. Agar tak terjadi benturan antara misi pelestarian dengan kebutuhan dan tradisi masyarakat. Inilah pekerjaan rumah (PR) yang besar. TN Baluran saja masih kesulitan mengawasi sentra peternakan sapi Situbondo di Kampung Merak. Kala pengelola sedang berjuang melestarikan padang rumput, sapi-sapi di sana juga masih butuh makan rumput Baluran.
Ketika antara taman nasional dan masyarakat di kebanyakan daerah masih terus menemui titik temu, di sinilah saya pikir harus ada pihak lain. Kelompok yang bisa menawarkan solusi, menjadi penengah. Membawa misi positif, memberikan tindakan yang saling menguntungkan.
Pihak itu bisa berasal dari berbagai latar belakang. Misalnya peneliti, pelajar, atau komunitas-komunitas non profit pengusung semangat konservasi. Mereka, termasuk kita di luar lingkungan taman nasional, juga merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat yang bersatu karena kesamaan tujuan. Demi sinerginya taman nasional dan masyarakat lokal secara berkelanjutan. Demi tercapai dan pulihnya keseimbangan ekosistem.
Jangan biarkan, misalnya, hutan tropis dalam TN Gunung Leuser, Aceh terus tergerus dalam bahaya; karena penebangan hutan secara liar, perburuan satwa dan perambahan lahan secara ilegal. Jangan tutup mata, misalnya, pada 125 ekor harimau Sumatra yang terancam punah; akibat maraknya alihfungsi lahan di kawasan TN Kerinci Seblat. Jangan tak acuh, misalnya, pada fakta terancamnya 6.000 orangutan kehilangan habitat; karena kebakaran hutan TN Tanjung Puting di Kalimantan Tengah.

Sebelum Terlambat
Memang, ketersediaan akses informasi tentang taman nasional masih terbatas. Terlebih, tak sedikit aksesibilitas ke taman nasional yang perlu usaha lebih. Baik usaha fisik maupun materi. Seperti yang saya sebutkan di awal, faktor geografis menjadi tantangan utama.
Ditambah, ancaman gesekan (konflik) antara masyarakat dan taman nasional yang kemungkinan akan terus terjadi. Gesekan antara kebutuhan masyarakat karena faktor ekonomi dengan misi pelestarian, masih akan berpotensi untuk terus berbenturan.
Tapi, justru keterbatasan dan potensi ancaman itu harus dijadikan cambuk. Dijadikan motivasi bahkan mungkin menjadi sebuah gerakan yang masif. Tak hanya untuk diri sendiri. Tapi juga kerelaan mengajak seluruh generasi terkini. Dari yang tua, hingga yang muda. Dari yang masih kecil, sampai orang dewasa. Mengajak untuk mengenal, lalu menjadi kelompok yang bijak dan peduli.
Dari mengenal, lalu tumbuh cinta. Keindahan alam dan keanekaragaman hayati, serta keragaman budaya yang mengisi taman nasional di Indonesia adalah titipan Tuhan. Titipan sekaligus merupakan pesan yang gamblang. Mereka ada untuk dijaga. Dengan tumbuh empati, mereka akan lestari.
Jadi, mau pergi ke taman nasional mana saja tahun ini? Kinilah saatnya. Sebelum terlambat. (*)
Foto sampul:
Sunrise dari tepi Kaldera Bromo dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Probolinggo. Tampak Gunung Semeru di kejauhan.
Referensi: 1) Antara News: Harimau Sumatra Terancam Punah Akibat Alihfungsi Lahan; 2) Kemenhut RI: 50 Taman Nasional di Indonesia; 3) Medan Bisnis Daily: Hutan Tropis di Aceh Dalam Bahaya; 4) National Geographic: Baluran, Taman Nasional Pertama Indonesia; 5) National Geographic: Embara di Bara Padang; 6) Viva News: Kebakaran Hutan Ancam 6.000 Orangutan; 7) Wikipedia: Daftar Situs Warisan Dunia UNESCO; 8) Wikipedia: Daftar Taman Nasional di Indonesia; 9) Wikipedia: Gempa Bumi dan Tsunami Jawa Timur 1994; 10) Wikipedia: Taman Nasional Gunung Tambora.
Tinggalkan Balasan