Alarm ponsel berdering pukul 2.00 dinihari. Hari ketiga pendakian kami, 5 April 2013, sudah terlewat dua jam. Harusnya kami terbangun saat alarm pertama berdering, pukul 00.30 dinihari. Harusnya pukul 2.00 ini kami sudah berjalan ke puncak Welirang. Harusnya rencana perjalanannya seperti itu.
Tapi tak semudah menuliskan angka-angka di atas kertas. Pukul 2.00 kami baru bangun.
Berjalan hampir 8 jam ke puncak Arjuno dan 3 jam turun ke Lembah Kijang dengan beban penuh, menimbulkan konsekuensi yang tidak sepele. Saya sendiri, bangun dari tidur rasanya seperti ditindih. Pundak, lengan, dan paha jangan ditanya. Saya bagaikan baru bertarung dengan tangan kosong. Tapi lebih banyak dihajarnya daripada menghajar balik.
Bagaikan siput, kami mulai menyiapkan bekal sarapan dan berkemas di dalam tenda. Rasa lelah dan linu kembali menggoda kami agar tak usah mendaki ke puncak. Godaan yang meminta untuk turun saja. Pulang ke Malang. Godaan yang nyaris berhasil meruntuhkan semangat. Sebelum akhirnya kami benar-benar keluar dari tenda.
Akhirnya kami memanggul carrier kembali. Siap melangkah. Bukan untuk pulang. Melainkan ke puncak.
* * *

Sinar matahari pagi terselip di sela-sela cemara gunung. Pagi itu sangat cerah. Setelah menyusuri jalan setapak tanah yang lembab di antara semak basah, kami tiba di Shelter III Pondokan pada pukul 6.00. Lima belas menit dari Lembah Kijang yang kini kosong.
Shelter III yang terdapat sumber air itu penuh dengan gubuk jerami beratap terpal untuk hunian penambang belerang. Tak ada satu pun penambang terlihat di Pondokan. Sepertinya mereka sudah turun sejak Kamis kemarin. Libur menambang, pulang ke rumah. Minggu nanti biasanya mereka akan naik lagi dan menambang sampai Kamis-Jumat lagi.
Tenda pendaki gabungan yang kami temui di jalur puncak Arjuno kemarin siang terlihat. Tapi hari itu, hanya kami bertiga yang akan ke puncak Welirang. Mereka akan langsung turun pagi ini ke Pos Tretes. Seperti saat ke puncak Arjuno di hari kedua, hari ketiga ini kami akan sendirian ke puncak Welirang.
Trek awal selepas Pondokan kembali berupa makadam yang menanjak. Berkelak-kelok. Seperti kondisi makadam di jalur Pet Bocor-Kokopan dan Kokopan-Pondokan. Tapi lebih teduh dengan dinaungi cemara gunung di sisi kanan dan kiri jalur pendakian. Dengan beban yang dibawa, ritme berjalan kami cukup santai.
Setelah satu jam berjalan, kami tiba di sebuah tempat yang teduh. Trek makadam kembali datar. Kami istirahat sejenak di sini. Selain untuk sarapan ringan bekal (roti tawar dan selai kacang) yang sudah disiapkan, saya dan Lutfi mendadak sakit perut. Artinya, harus ada yang dibuang saat itu juga. Karenanya, istirahat kami cukup lama. Hampir 30 menit.
Dalam satu jam pendakian dari tempat istirahat tadi, kami menyusuri trek makadam yang menanjak. Kembali berkelak-kelok.

Kami menjumpai 1-2 gerobak kayu berisi belerang hasil galian penambang. Ditinggalkan begitu saja. Rupanya salah satu rodanya lepas. Sehingga menyulitkan untuk dibawa turun. Kami sempat iseng mencoba mengangkat gerobak tersebut. “Duh, berat banget!” seru Dani.
Saya bahkan tak mampu menggerakkannya. Beban carrier yang kami panggul tak ada apa-apanya dibandingkan bobot belerang dan gerobak tersebut. Sedangkan penambang belerang sudah fasih menarik gerobak di turunan setengah berlari. Beberapa beralas sepatu boot. Tapi tak jarang hanya beralas sandal jepit lusuh Rp 10 ribuan, yang kadang jauh lebih awet daripada sepatu atau sandal gunung pendaki.
Tanjakan makadam tersebut berujung pada sebuah tempat lapang. Seiring itu pula vegetasi cemara gunung berganti dengan pepohonan cantigi dan edelweiss. Di sisi kiri terdapat sebuah gundukan bukit besar yang rimbun. Bau belerang mulai tercium dari sini.

Kami melanjutkan perjalanan. Trek yang awalnya datar dengan naungan cantigi, perlahan menanjak dengan kemiringan yang tidak terlalu curam. Kabut mulai turun, menghalangi sinar matahari. Lalu vegetasi lebih terbuka. Berganti dengan tebing di sisi kanan, dan jurang dalam di kiri. Cantigi masih terlihat tumbuh di tepian jalur. Bongkahan-bongkahan belerang berwarna kuning yang berceceran di tanah juga mulai kerap terlihat.
Satu jam kemudian, kami tiba di muka sebuah gua besar. Dengan tetes-tetes air merembes di dinding dan pintu guanya. Tempat ini bisa juga digunakan sebagai alternatif berkemah. Membaca catatan-catatan perjalanan di internet, gua ini menjadi pertanda bahwa puncak Welirang sudah dekat.
* * *
Kabut yang awalnya tipis, semakin tebal saat kami meninggalkan gua besar tadi. Trek pendakian semakin didominasi dengan bebatuan berbagai macam ukuran. Mulai seukuran kerikil hingga seukuran bola basket. Bukan hanya kabut yang membuat trek mengabur. Melainkan juga ditambah bongkahan belerang yang masih berasap. Jika kabut tak berbau, asap belerang ini sangat menyengat. Membuat kami harus memakai masker yang sudah dibasahi air.
Dalam kurun setengah jam, kami terus menapaki punggungan penuh bebatuan bercampur belerang yang menanjak. Kami mengira di ujung jalan inilah puncak Welirang berada. Namun, kami malah ragu ketika tiba di ujung tanjakan. “Masa’ ini puncaknya?” tanya Lutfi. Saya dan Dani menggelengkan kepala. Mengangkat bahu tanda tak tahu.
Tak lama berselang, kabut untuk sesaat tersingkap. Di seberang kami, terdapat punggungan yang sepertinya lebih tinggi dari tempat kami berdiri. Dipisahkan oleh sebuah lembah penuh batu yang tidak terlalu dalam. “Loh kok kayaknya itu lebih tinggi? Jangan-jangan itu puncaknya?” tanya Lutfi lagi.
Tanpa menjawab pertanyaannya, kami segera berjalan ke seberang. Menuruni celah bebatuan yang labil. Menyusuri lembah yang kami lihat dari atas tadi. Kami terus bergerak, karena asap belerang kian menyengat. Cukup mengganggu pernapasan.

Sekitar 10 menit berjalan, kami tiba di puncak yang “diduga” lebih tinggi ini. Kami berdiri menghadap puncak yang tadi sempat kami jejak. Terlihat kawah yang dalam berair coklat dari sini. Dikepung puncak-puncak yang hampir sama tingginya.
Tapi benarkah ini puncak Welirang yang sesungguhnya? Tak ada tiang bendera merah putih atau plakat sebagai penanda. Tak seperti puncak Arjuno. Kala pikiran masih berada dalam batas ragu dan yakin, kabut mendadak tersingkap lagi. Agak jauh di sisi kanan, samar terlihat puncak yang agaknya lebih tinggi lagi. Samar-samar terlihat semacam tiang yang berdiri di ujung puncak. Ini yang mana sih, puncaknya? Batin saya.
Kabut dengan cepat mengaburkan pandangan. Asap belerang kian pekat. Kepala mulai agak pusing. Bersamaan dengan keluhan yang tiba, Lutfi menemukan sebuah batu agak pipih bertuliskan spidol hitam: “Welirang 3156 MDPL”.

Sepertinya dituliskan oleh pendaki yang mungkin mengalami kebingungan yang sama. Tapi kami tak punya waktu banyak untuk membuktikan mana puncak yang lebih tinggi. “Ah, sudahlah. Foto di sini sama saja. Yang penting puncak!” seru saya. Hanya sepuluh menit kami di sini. Asap belerang tak hanya membuat pusing, tetapi juga membuat mata perih.
Cukup puas memotret, kami segera turun dari puncak. Kami sepakat untuk istirahat sebentar dan makan roti lagi di depan gua tadi. Setibanya di gua, kami bisa bernapas lebih lega dan bau belerang tak lagi menyengat.
Pukul 11.30, dalam kabut yang masih cukup tebal, kami kembali berjalan. Dua target puncak sudah tercapai. Kini mengejar target utama: pulang.

Jika tadi perlu hampir 4 jam ke puncak Welirang, perjalanan kembali ke Pondokan memakan waktu tempuh separuhnya. Pondokan semakin lengang. Rombongan pendaki gabungan itu sudah meninggalkan Pondokan.
Kami menyusuri trek makadam di tengah Alas Lali Jiwo yang berkabut. Hujan mendadak turun dengan deras. Kami tak bisa berjalan cepat. Selain lelah, juga karena batu-batu cukup licin.
Kami tiba di Shelter II Kokopan yang lengang pukul 17.00. Hujan sudah reda. Kami bergegas memasuki warung yang kosong. Melepas jas hujan, melepas “sauh” (carrier) dan mengeluarkan peralatan memasak. Kami merebus bubur oatmeal dan air untuk menyeduh kopi. Menghangatkan tubuh.
* * *

Petang baru saja pergi. Langit kelabu menghitam memulai malam. Kokopan mulai mendingin sisa hujan. Kami siap berjalan dan memanggul carrier kembali. Menyalakan headlamp yang melingkar di kepala. Pukul 18.30, kami meninggalkan Kokopan yang sebentar lagi kosong.
Sepertiga jalur dari Kokopan ke Pet Bocor begitu terbuka. Lampu perkotaan di kejauhan terlihat gemerlap. Agak sulit menerkah manakah batas Pasuruan, Mojokerto, Sidoarjo, atau Surabaya.
Trek tetap serupa. Tetap dengan makadam yang tak rata. Berkelok-kelok, menurun. Beban tak hanya dirasakan pundak, tetapi juga lutut dan engkel kaki. Beban saat turun lebih berat. Tas carrier terayun-ayun. Berulang kali saya mengencangkan tali tas agar lebih stabil.
Dua pertiga jalur kemudian vegetasi agak tertutup. Saya selalu merasa aneh setiap kali menuruni trek Kokopan-Pet Bocor. Naik dan turun memakan waktu tempuh yang sama. Bahkan kadang lebih lama. Saat fisik semakin terkuras, fokus juga melemah. Jalur terasa panjang tak berujung. Tak kunjung sampai.
Pertanda yang saya tunggu-tunggu akhirnya tampak setelah dua jam berjalan. Sebuah portal dan gardu baru saja kami lewati. Itu berarti kami telah keluar dari kawasan konservasi Tahura (Taman Hutan Raya) R. Soerjo. Berjarak sekitar 200 meter, kami tiba di Shelter I Pet Bocor. Warung di sana juga tutup. Sama seperti warung di Kokopan, warung Pet Bocor baru saat ramai pendaki di akhir pekan.
Saya meminta untuk break sejenak. Sekadar minum untuk menyegarkan tenggorokan. Saya terduduk di depan warung, menghadap ke arah jalur turun. Danu duduk bersandar tiang kayu warung persis di belakang saya. Lutfi yang tidak ikut duduk, memilih menghidupkan kamera poket yang dia bawa.
Saya masih ingat. Karena gelap, dua kali Lutfi memotret dengan bantuan flash kala itu. Dengan objek yang sama. Yaitu saya dan Dani yang sedang duduk dengan latar warung.
Tiba-tiba, Lutfi dengan cepat memasukkan kembali kameranya dan mengajak untuk segera turun. Bersama Dani, saya mengiyakan ajakannya. Tak menyadari mengapa dia mendadak minta turun.
Kami bergegas menuruni jalan beraspal menuju Pos Tretes yang terletak di ketinggian sekitar 800 mdpl. Setibanya di sana, saya melapor kepada petugas pos perizinan. “Kami naik dari Purwosari tanggal 3 kemarin, Pak,” kata saya.
Setelah beres administrasi, kami segera naik angkutan L300 yang terakhir beroperasi. Angkutan umum yang melayani trayek terminal Pandaan-Prigen-Tretes, Pasuruan. Biasanya saat hendak kembali ke Pandaan, supir angkutan menyempatkan singgah di pos perizinan. Mengangkut pendaki yang tidak membawa kendaraan pribadi.
Setibanya di terminal Pandaan, kami oper bus ekonomi AC dari Surabaya menuju ke Malang. Persis setengah jam sebelum memasuki tanggal 6 April 2013, bus yang kami tumpangi tiba di terminal bus Arjosari, Kota Malang, yang mulai lengang.
Tubuh yang sempat pulih dari linu sepulang dari pendakian pertama ke Arjuno, kini kembali remuk redam.
* * *
Saya dan Lutfi bertemu lagi beberapa hari kemudian. Bertempat di kos saya, kami saling bertukar foto-foto pendakian. Lutfi sempat menunjukkan dua foto yang sempat dia potret di Pet Bocor malam itu. “Gara-gara foto iki, makanya aku cepat-cepat ngajak turun,” katanya. “Emang kenapa, Pi?” tanya saya ingin tahu.
“Foto yang pertama kan blur. Terus aku coba foto lagi,” tutur Lutfi.

Di foto kedua, masih dengan objek yang sama, saya, Dani (yang hanya terlihat kakinya) dan warung di belakang. Lebih jelas dan tidak blur. Tapi, ada yang aneh. Yang membuat Lutfi terburu memasukkan kamera di tas usai melihat hasil foto sekilas.
Foto pun diperbesar, fokus ke dinding depan warung. Tampak wujud kepala tanpa tubuh, dengan muka dan rambut panjang serba putih. (*)
Foto sampul:
Lutfi di kejauhan tampak berjalan meninggalkan kawasan puncak Welirang.
Tinggalkan Balasan