Waktu menunjukkan pukul 16.40 WIB. Puncak Candi Sepilar, tempat mistis dengan sembilan arca yang mengawal arca para Pandawa moksa pun sudah jauh terlewati. Sudah hampir empat jam kami berjalan dari Mangkutoromo. Tapi tak jua menemukan Jawa Dwipa -yang seharusnya hanya berjarak 1,5 jam menurut rencana perjalanan-, apalagi tempat camp yang kami inginkan sesuai rencana awal. Tempat datar yang terletak sedikit di atas pertigaan jalur Purwosari-Lawang. Tapi bahkan kami pun belum sampai pada pertigaan jalur tersebut.
Sepertinya kami salah mengambil jalur. Kami sempat ragu dengan percabangan setelah Candi Sepilar. Kami memilih jalur ke kanan yang langsung menanjak daripada ke kiri yang agak menurun lalu menanjak kembali.
Total sudah 9 jam kami berjalan dari pos perizinan. Langkah kaki semakin tertatih menapaki tanjakan yang seakan tanpa putus. Ruas jalan setapak mengabur. Berulang kali kami istirahat. Terduduk di atas serasah pohon cemara gunung yang menutupi tanah. “Masa’ Jawa Dwipa sudah kelewatan sih?” Sebuah pertanyaan bernada lirih. Bertanya kepada diri sendiri. Lutfi dan Dani hanya terdiam. Raut lelah tergambar jelas di wajah: mata yang sayu ditambah cucuran peluh terpoles.
Masih dengan tertatih dan rasa menahan lapar, kami mencoba terus berjalan. Karena kabut tipis sudah turun. Menyela di antara pepohonan. Di dalam kawasan Alas Lali Jiwo. Kini dalam pikiran kami adalah berjalan terus sampai bertemu tempat datar untuk mendirikan tenda. Entah di mana pun nanti.
Sekitar lima belas menit kemudian, langkah kami terhenti. Tepat di muka sebuah tumpukan batu tersisa dari Candi Manunggaling Suci. Tumpukan beratapkan marmer berwarna krem. Meski tak terlalu besar, tapi tampak mencolok di atas tanah datar yang tak terlalu luas dikelilingi pepohonan. Bagian bawah marmer tertulis Sura Dira Jaya Diningrat Lebur Dining Pangastuti (kejahatan pasti kalah oleh kebaikan). Tepat di bawahnya lagi tertulis nama Maha Resi Agung Prawira Harjana. Menurut sumber, orang ini adalah pengikut setia Bung Karno.
Paling atas, tulisan kapital hitam menonjol di antara aksara Jawa yang terpahat. Menandakan lokasi kami berhenti dan berdiri saat ini: JAWA DWIPA.
* * *
Akhir pekan ketiga bulan Maret 2013. Saya sedang bersantai di kamar kos yang tenang. Fisik sudah pulih setelah seminggu sebelumnya baru pulang dari pendakian pertama ke Gunung Arjuno. Jalur Tretes yang dipenuhi bebatuan makadam membuat kaki ngilu. Memakan pemulihan nyaris seminggu.
Pendakian selama empat hari kala itu sebenarnya menargetkan puncak Gunung Arjuno dan Welirang. Impian yang sejak lama terpendam sejak akhir November 2012. Sepulang saya dari mendaki Semeru. Cuaca yang sedang tak bersahabat membuat jalur pendakian ditutup saat itu.
Namun, karena keterbatasan fisik, Welirang masih belum dapat digapai. Jadilah kami puas menginap dua malam di camp Lembah Kijang. Tempat perkemahan yang tenang dan teduh yang berjarak 4 jam perjalanan ke puncak Arjuno.
Di tengah asyik mengedit foto dan video dokumentasi perjalanan saat itu, tiba-tiba terdengar nada pesan masuk ke ponsel saya. Dari teman sekomunitas, Lutfi. Entah, saya seakan bisa menebak apa isi pesannya.
Gak kepengen munggah (naik) Arjuno-Welirang maneh (lagi)? Kancanono (temani) aku, hehehe.
Saya mengulum senyum. Karena terhalang kegiatan akademis, dia tidak termasuk dalam sembilan orang pendaki Arjuno saat itu. Saya bisa membayangkan betapa penasarannya dia. Betapa meletupnya keinginan mendaki gunung yang penuh cerita mistis itu.
Saya membalasnya. Seperti lupa bahwa baru seminggu yang lalu sudah mendaki Arjuno. Ayo wes. Kapan? Yaopo nek munggah lewat Purwosari, mudun lewat Tretes (gimana kalau naik lewat Purwosari, turun lewat Tretes)?
Lutfi semakin antusias. Budal (berangkat)!
Kami sepakat dengan rencana tanggal pendakian. Yaitu tanggal 3-5 April 2013. Menargetkan puncak Arjuno dan Welirang dalam tiga hari tiga malam. Rencana seperti ini cukup berat. Sangat menguji ketahanan fisik.
Rencana tersebut mengharuskan kami mendaki puncak Arjuno dengan membawa beban penuh, lalu turun ke Lembah Kijang sebelum melanjutkan perjalanan ke Welirang di hari ketiga. Juga dengan beban penuh, kami harus turun ke Pos Tretes hari itu juga.
Sempat nyaris berduet, akhirnya Dani, teman asal Lombok yang baru selesai studi sarjana di sebuah kampus negeri di Malang, menyatakan ikut beberapa hari sebelum tanggal pendakian. Dia pun berkontribusi penting dalam pengadaan tenda dome secara gratis. Saya dan Lutfi pun berbagi tugas mengatur logistik. Termasuk konsumsi dan rencana perjalanan.
Satu hari jelang keberangkatan, saat berkemas sambil duduk, saya memandang kedua kaki kurus saya. Mengelus lutut, seolah-olah bicara padanya: wahai kaki, maaf ya membuatmu bekerja keras lagi…
* * *
3 April 2013. Rabu pagi yang cerah. Kota Malang menghangat menyisakan udara sejuk menyapa pagi.
Pukul 05.30, Terminal bus Arjosari sudah bergeliat. Bus antarkota keluar-masuk terminal. Para calon penumpang didominasi karyawan yang tempat kerjanya di luar kota. Mereka bergegas menaiki bus yang searah dengan tujuannya. Bergegas sebelum jam masuk kerja tiba.
Beda dengan kami yang malah memanggul carrier berkapasitas di atas 50 liter. Saat orang lain sekolah, kuliah atau bekerja, kami menyepi ke gunung.
Bus ekonomi AC berbodi hijau bergambar panda mendekat. Kami bergegas memasukkan tas ke bagasi dan mencari tempat duduk dengan bebas. Duduk sebaris di kursi tiga deret. Tak lama, bus tujuan Surabaya itu penuh penumpang. Termasuk yang berdiri.
“Purwosari, Pak,” kata saya kepada kondektur bus. Tiga lembar uang lima ribuan adalah tarif untuk kami bertiga. Malang-Purwosari.
Lalu lintas pagi itu sangat lancar. Tak sepadat saat akhir pekan. Hanya memakan waktu 20 menit perjalanan, awak bus menurunkan kami di seberang Pasar Purwosari, Pasuruan.
Dengan carrier di pundak, sejumlah tukang ojek mendekat. Mereka tampaknya paham ke mana kami akan pergi. “Tambak Watu, Mas?” tanya salah seorang di antaranya. Kami mengangguk. Sepakat pula dengan tarif ojek sebesar Rp 20.000 per orang.
Tapi kami tak langsung naik ojek ke Tambak Watu, dusun terakhir di lereng Gunung Arjuno. Di depan kantor Pegadaian yang terletak di sebelah sungai, di tepi jalan raya Purwodadi, terdapat sebuah warung sederhana. Kami meminta tukang ojek menunggu sejenak. “Kami sarapan dulu ya, Pak.”
* * *

Dusun Tambak Watu, Desa Tambaksari itu berjarak sekitar 12 km dari warung tempat kami sarapan. Waktu tempuhnya sekitar 20 menit. Kontur jalan bervariasi. Ada yang masih berlubang, ada yang sudah beraspal mulus. Sebuah gapura bertuliskan wisata religi petilasan Majapahit menjadi gerbang desa tersebut.
Setelah motor agak terengah menyusuri jalan menanjak, akhirnya kami tiba di sebuah rumah warga. Rumah bercat putih, berkeramik biru, dengan pilar berwarna hijau itu diberi “mandat” pihak Tahura (Taman Hutan Raya) R. Soerjo sebagai tempat (pos) perizinan pendakian maupun ziarah religi.
Usai sudah perjumpaan dengan tukang ojek yang kembali turun. Kini berganti dengan seorang perempuan paruh baya yang keluar dari rumah. Dia membawa buku tulis besar seukuran buku arisan dan sebuah pulpen. Kami diminta mengisi data diri: nama, alamat, dan nomor telepon. Lalu tanggal naik dan turun. “Kami nanti turun lewat jalur Tretes, Mbak,” kata saya. Tarif pendakian saat itu sangat murah, hanya Rp 3.000 per orang. Di luar biaya parkir bila membawa kendaraan pribadi dan turun lewat jalur yang sama.
Menuju Mangkutoromo
Setelah mengecek ulang perlengkapan dan pemanasan, sekitar pukul 07.40 kami memulai pendakian ini.
Trek awal dimulai dengan persimpangan (pertigaan) yang berjarak 15 meter dari pos perizinan ke arah puncak (barat). Berupa jalan berbatu relatif datar. Mulanya melewati beberapa rumah warga, lalu sedikit menanjak memasuki kawasan hutan pinus yang teduh.
Kami sempat menemui 1-2 percabangan yang sempat membuat bingung. Beruntung kami mendaki saat pagi. Masih banyak warga yang sedang berada di ladang yang bisa ditanyai apabila ragu dengan jalur yang diambil. Mereka sangat ramah dan murah senyum terhadap pendaki. Bagi pendaki, menjunjung tinggi kesopansantunan adalah satu syarat yang sangat wajib.

Gapura Pos 1 Goa Ontoboego (Antaboga) terlihat di sisi kanan jalur setelah satu jam perjalanan. Terdapat sebuah goa pertapaan di dalam tebing batu, yang namanya diambil dari tokoh pewayangan: Sang Hyang Antaboga. Bernama alias Sang Nagasesa atau Sang Hyang Basuki. Dalam dunia pewayangan, ia digambarkan berwujud ular naga berukuran besar dan berperan sebagai dewa penguasa dasar bumi. Salah satu pemilik mata air suci Tirta Amerta yang mampu menghidupkan orang mati yang kematiannya belum digariskan.
Kami hanya lima menit istirahat di pos ini. Meskipun seorang juru kunci, Soleh, dengan tangan terbuka mempersilakan kami untuk mampir.
Jalan makadam yang lebar menyempit setelah Pos I. Berganti jalan tanah membelah ladang milik warga. Mayoritas ditanami rumput gajah maupun sejumlah komoditas tanaman kayu. Kami menyapa sejumlah petani yang tampaknya agak heran dengan kami bertiga. “Mung wong telu thok, Le (hanya tiga orang saja, Nak)?” tanya salah satu petani.
“Inggih (iya), Pak,” jawab kami. Kami disarankan mencari tongkat masing-masing untuk bertiga, atau satu tongkat dipegang salah satu dari kami. Tujuannya agar jumlah kami yang ganjil menjadi genap. Kami menurut. Menghormatinya. Tak jauh dari situ, kami menemukan satu tongkat kayu sepanjang hampir satu meter. Percaya tidak percaya, tongkat itu menemani pendakian kami nyaris sampai pulang ke Tretes.
Tapi, kami lebih mensugesti diri sendiri. Bahwa keberadaan tongkat tersebut adalah untuk membantu menopang langkah. Meskipun dipakai secara bergantian.

Perjalanan ke Pos II Tampuono kami tempuh selama 1 jam 15 menit. Kontur jalur perlahan menanjak hingga Pos II.
Kami tiba di sebuah pos dengan banyak petilasan. Juga dengan banyak fasilitas gubuk (pondok) sederhana berdinding kayu untuk mengakomodasi peziarah atau pendaki. Pos ini memiliki taman-taman kecil yang rapi dan cukup bersih. Memberikan suasana tenang sekaligus mistis. Selain petilasan Eyang Abiyasa -begawan pewayangan penulis kitab epos Mahabharata-, terdapat pula petilasan Eyang Sekutrem dan Sendang (kolam) Dewi Kunthi. Sendang tersebut airnya dapat dipergunakan untuk kebutuhan minum. Agak merinding mengambil air di Sendang Dewi Kunthi. Apalagi jika hendak (maaf) buang hajat di kakus sederhana berdinding seng. Bersebelahan dengan Sendang Dewi Kunthi dan petilasannya.
Lima menit berselang, kami melanjutkan pendakian. Tak sampai 10 menit berjalan, kami tiba di Pos III Eyang Sakri. Terdapat sebuah makam batu di dalam cungkup hijau. Hanya sebentar mengambil dokumentasi, lalu kembali mendaki.
Trek semakin menanjak. Berupa jalan tanah yang ditata seperti anak tangga. Ditahan secara alami dengan akar-akar pepohonan yang mencuat. Vegetasi hutan mulai rapat memberikan naungan.

Sekitar pukul 11.45, kami tiba di Pos IV Eyang Semar. Pos terangker di ketinggian sekitar 2.100 mdpl. Katanya, sangat tidak disarankan menginap atau berkemah di pos ini. Meskipun terdapat bak berisi air bersih dan telah tersedia 3 buah pondok sederhana. Yang mengepung sebuah petilasan berlapis keramik hitam, dengan seonggok arca Semar menghadap ke arah matahari terbit dan berselimut kain putih. Di bawah arca tokoh penjelmaan Batara Ismaya dalam bungkus rakyat jelata tersebut, terkumpul belasan dupa yang masih mengepul. Bau wangi menyeruak.
Sekitar 20 menit kami istirahat di salah satu pondoknya. Menyantap biskuit yang kami bawa. Serta mengisi ulang persediaan air.
Pukul 12.05, kami melanjutkan pendakian ke pos berikutnya. Trek semakin menanjak dan cukup terjal. Keringat bercucuran karena vegetasi kembali terbuka. Butuh waktu 30 menit kami melalui jalur tersebut.
Lalu… Guk! Guk! Guk! Guk! Guk! Guk!
Gonggongan 2-3 anjing hitam menyambut kedatangan kami di Pos V Eyang Mangkutoromo. Saya jatuh terpeleset karena kaget. Beruntung anjing hanya menyalak dan memamerkan taringnya yang menyeringai di depan kami. Tak sampai menyerang. Gonggongan anjing-anjing itu mereda setelah sesosok lelaki berblangkon keluar dari pondok berdinding jerami. Dia mendekati kami sembari menghalau anjing-anjing yang ternyata miliknya. Langkahnya terhenti di tepi altar pertapaan berbatu andesit selebar 7×7 meter. Kami mendekatinya dan menyapa dengan senyum.

“Saking pundi (dari mana), Mas?” sambut Parto ramah. Tangannya yang kasar menjabat kami erat. Kami kompak menjawab, “Saking (dari) Malang, Pak.” Kami menaruh tas ke atas batu altar. Sepakat untuk istirahat lebih lama di pos ini.
Kami terlibat obrolan santai dengan juru kunci pos ini. Petilasan yang dipercaya menjadi tempat bertapanya Wisnu. Eyang Semar yang mengantarnya ke Mangkutoromo, setelah sempat singgah di Pos IV sebelumnya.
Parto kembali mengingatkan tentang pentingnya mendaki dalam jumlah genap. Saya hanya berujar, “Nggih ngapunten. Bagaimana lagi, Pak, yang longgar waktunya cuma kami bertiga, hehehe.” Kami menambahkan, bahwa kami datang bukan dengan maksud buruk. Melainkan untuk menikmati keindahaan ciptaan Tuhan dan menguji kemampuan diri. Parto pun mengangguk dan mengingatkan kami untuk selalu berhati-hati.
Saya kemudian bertanya soal kondisi puncak Arjuno. “Kalau ke puncak musim-musim begini aman gak, Pak?” Parto hanya menjawab diplomatis, “Kalau tekadnya kuat, monggo diteruskan muncak. Kalau ragu, lebih baik turun.”

Siang itu, pukul 13.00, kabut sudah turun. Langit berubah mendung. Usai menambah persediaan air dari pipa air sebelah utara altar, kami mohon pamit kepada Parto. Kami melanjutkan pendakian.
Pos berikutnya adalah Candi Sepilar dan Jawa Dwipa. Yang menurut catatan kami berjarak 1,5-2 jam dari Mangkutoromo. Sehingga, kami beranggapan masih ada cukup waktu untuk mendirikan tenda di dekat puncak. Sebuah tempat datar di atas pertigaan jalur Purwosari-Lawang.
Dalam pikiran kami, seharusnya masih sempat untuk ke sana. Sesuai rencana perjalanan yang telah dirancang. Walau kami sendiri pun masih dalam kadar mengira-ngira. Karena jalur Purwosari ini benar-benar baru bagi kami.
Dan rupanya, selembar kertas pedoman rencana perjalanan kami pun bisa “menipu”.
* * *

Langit sebentar lagi gelap. Kabut cukup pekat. Rintik gerimis turun perlahan. Di tengah angin yang semakin dingin berembus, kami dikejar waktu. Secepat mungkin mendirikan tenda. Lalu menyiapkan makan malam.
Hanya kami bertiga, dalam tenda dome kuning berkapasitas empat orang, yang menjadi “penghuni” sementara di Jawa Dwipa malam ini. Sekitarnya hanya gelap. Tetap berkabut. Berhias hutan Alas Lali Jiwo yang menjulang mencakar gelapnya langit.
Kami sadar, puncak masih jauh. Menurut catatan, normalnya berjarak sekitar 5 jam perjalanan. Tapi itu dengan catatan tanpa membawa beban penuh. Padahal besok malam, hari kedua, kami harus camp di Lembah Kijang. Mau tidak mau, carrier kami yang besar dan sarat muatan itu tetap harus dipanggul melewati puncak Arjuno.
Mengingat pendakian sore tadi, saya pasrah dengan pendakian esok pagi. Saya memilih menyadari sejak dini. Bahwa sepagi apapun kami berangkat, rasanya titik teratas gunung ini akan tergapai lebih dari yang tercatat di atas kertas.
Foto sampul:
Dani berjalan di antara batu-batu besar yang tercoreng vandalisme di Puncak Ogal-Agil, Gunung Arjuno
Tinggalkan Balasan