Kami sedang dalam perjalanan kembali ke tempat parkir atas. Menapaki jalan berlapis cor dan tanah yang berselang-seling. Hanya selebar dua sepeda motor berjajar dan agak licin. Menanjak, berliku, dan menguras tenaga. Pak Pono berjalan paling depan, diikuti oleh Eko dan saya.
Di tengah napas memburu, tebersit sebuah ide dalam pikiran. “Bagaimana kalau coban yang tadi, dinamakan Coban Goa Lowo, Pak? Air Terjun Gua Kelelawar?” Saya mengusulkan.
Langkah kami bertiga langsung terhenti. Kami saling berpandangan. Dengan tetap memanggul kayu batangan di bahu kanan, Pak Pono mengangguk lalu bertanya balik kepada saya, “Ngunu ae (begitu saja) ya, Mas?”
* * *
Menuju Ujung Coban Gintung
Siang itu, saya dan Eko sedang asyik memotret di kolam dangkal sebetis dan berair jernih. Airnya berasal dari aliran kembar Coban Gintung yang mengalir cukup deras. Sebagian ditampung di kolam-kolam alami kecil dan dangkal tak jauh di bawahnya. Suasana yang teduh, ternaungi pepohonan yang tumbuh tinggi, membuat kami betah berlama-lama di air terjun ini. Kesegaran yang tersembunyi tak jauh dari pemukiman terdekat, dusun Jagalan, Desa Sidorenggo, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang.

Tak berapa lama, tiba-tiba datang seorang laki-laki berkupluk tanpa alas kaki. Pak Pono, yang kami temui di tempat parkir atas, datang menghampiri kami. Dialah yang pertama mengatakan bahwa ada coban (air terjun) lagi di bawah Coban Gintung. Ternyata aliran Coban Gintung ini masih menemui ujung di bawah sana, membentuk air terjun.
Kini ia menawarkan untuk mengantar kami ke coban tersebut. Awalnya, kami mengira akan membayar biaya pemandu. Tapi disanggah olehnya, “Sudah tidak usah, Mas. Nanti sekalian mampir gubuk saya di bawah,” ujar bapak dua anak itu.
“Kira-kira berapa jauh, Pak, ke cobannya?” tanya saya.
“Ora adoh, kok, mung nang ngisor kunu wae (tidak jauh, cuma di bawah sana saja)” katanya.
Katanya dekat. Tapi, saya tak terlalu menelan mentah-mentah pernyataannya. Saya dan Eko paham, “dekat” menurut warga setempat tak sama dengan makna “dekat” menurut kami.
Setelah sekali menyusuri kolam alami, Pak Pono membawa kami memasuki ladang warga. Jalurnya tidak terlalu jelas dan agak miring. Kami harus berpegangan pada pohon agar tidak terperosok ke sisi kiri. Sungai kecil di mana air dari Coban Gintung mengalir dan menurun deras.

Tak lama, kami bertemu jalur utama. Jalan berlapis cor yang menjadi akses utama warga yang bertani atau berkebun. Termasuk Pak Pono, yang memiliki lahan padi sawah seluas kurang dari 0,5 ha. Lokasi sawahnya berada di tepian Sungai Glidik. Sungai yang menjadi pembatas antara Kabupaten Malang dan Lumajang. Aliran air terjun Tumpak Sewu dan Gua Tetes juga jatuh ke sungai tersebut. Aliran sungai yang biasa dijadikan jalur aktivitas tubing ini akan bertemu dengan sungai yang membawa aliran lahar dingin dari Gunung Semeru.
Semakin menurun mendekati persawahan, jalan cor berubah kembali menjadi jalan tanah. Setelah hampir 30 menit berjalan, kami tiba di gubuk sederhana milik Pak Pono. “Istirahat dulu sebentar, ya,” kata Pak Pono.
Eko mengeluarkan biskuit, saya menyajikan air mineral 1,5 liter. Kudapan sederhana di gubuk tepi sawah.

“Sawahnya panjenengan sekali panen berapa kuintal, Pak?” tanya saya.
“Piro, yo. Pokoke panen pisan, aku gak usah tuku beras maneh setahun. Wes cukup (Berapa, ya. Pokoknya sekali panen, saya tidak usah beli beras lagi setahun. Sudah cukup)” jawabnya.
Kesegaran Yang Tersembunyi
Setelah istirahat hampir 10 menit, Pak Pono mengajak saya dan Eko kembali berjalan. Menuju air terjun. Dari gubuknya, air terjun tersebut belum terlihat. hanya terdengar suara gemuruhnya.
Kali ini tinggal menyusuri pematang sawah. Berjalan tak sampai 100 meter, kami tiba di tepi sungai. Dari tepi sungai, kami dapat melihat wujud air terjun yang tidak terlalu tinggi tersebut lebih jelas.
Pak Pono dengan lincah menyeberang sungai kecil menuju tanah datar di seberang. Kami mengikutinya, walau tak selincah langkahnya yang tanpa alas kaki.

“Yaopo, Mas, cobane? Apik? (Bagaimana, Mas, air terjunnya? Bagus?)” tanyanya dengan senyum lebar menampakkan giginya. Saya dan Eko yang masih ternganga, hanya mampu membalas dengan acungan jempol dan ucapan singkat, “Mantap, Pak!”
Kini kami benar-benar dekat dengan air terjun tersebut. Air terjun yang baru dibuka aksesnya oleh Pak Pono bersama sejumlah warga setempat ini. Puncaknya tampak sempit, tapi air turun dengan deras dan membentuk seperti pohon cemara. Inilah ujung dari aliran Coban Gintung, yang nantinya bertemu dengan aliran Sungai Glidik tadi. Kesegaran yang lebih tersembunyi dan cukup jauh dari permukiman. Lebih sunyi, jauh lebih tenang.
Di bawahnya, melintang seonggok pohon gintung yang sudah lama tumbang. Pohon yang kayunya berwarna agak kemerahan, dan biasa digunakan untuk bahan bangunan itu, hanya digergaji sebagian oleh Pak Pono. Tapi, pohon sengaja dibiarkan tergeletak di sana. Supaya mempermanis foto, katanya. Di sebelah kanan air terjun, terdapat kolam yang tenang dan bening.
“Di tebing itu, ada gua kecil. Kemarin saya naik sama warga, ternyata banyak kelelawarnya di sana,” katanya. Ia menunjuk sebuah lubang cukup besar di tebing yang mengucurkan air berdebit kecil.

Dahi saya berkerut. “Bagaimana caranya naik ke sana, Pak?”
“Yo pokoke munggah, Mas. Menek-menek sak isoke (Ya pokoknya naik, Mas. Manjat-manjat sebisanya)” jawabnya sambil terkekeh.
Di saat saya dan Eko tengah asyik memotret, Pak Pono meninggalkan kami sejenak entah ke mana. Ia berjalan menyusuri tepi sungai dekat persawahan itu.
Tak lama, gerimis mulai turun. Kami segera beringsut, memasukkan perlengkapan fotografi ke dalam tas. Saat itu pula Pak Pono muncul, lalu mengajak kami kembali ke gubuk untuk berteduh.
Di gubuk, telah tersedia dua buah kelapa berukuran besar, yang telah dipetik Pak Pono saat kami asyik berfoto tadi. Ia langsung mengupas bagian atasnya, lalu meminta kami meminum airnya yang segar. Saking besarnya kelapa tersebut, kami sampai kekenyangan hanya dengan meneguk air kelapanya.

“Ayo, Mas, dihabiskan!” goda Pak Pono.
Saya dan Eko hanya menggeleng sambil mengelus perut, “Ampun, Pak, sudah kenyang banget ini.” Pak Pono hanya tertawa.
* * *
Empat hari kemudian, Minggu siang, saya, bersama Eko dan dua teman yang lain, kembali ke Coban Gintung. Setibanya di tempat parkir, Pak Pono dan beberapa warga menyambut kami dengan ramah. Mereka merupakan segelintir warga yang terlibat dalam pengembangan wisata Coban Gintung, yang baru dibuka tak sampai dua bulan lalu.
Usaha warga setempat mbabat alas selama 6 bulan, perlahan berbuah hasil. Walau memang, baru kendaraan roda dua yang bisa masuk ke tempat parkir. Kendaraan beroda empat harus diparkir di halaman rumah warga, sekitar 150 meter sebelum tempat parkir. Tetapi, setidaknya geliat wisata itu sudah terlihat. Gapura sederhana dari bambu, sejumlah warung, dan sebuah toilet sederhana sudah tersedia.

Siang itu, selain ingin menikmati kembali kesegaran Coban Gintung, saya juga membawa misi pribadi. Berangkat dari keinginan Pak Pono mengembangkan geliat wisata air terjun di sana, saya mencetak selembar banner berukuran 2×3 meter, bergambar air terjun Gua Kelelawar yang saya potret sebelumnya. Keberadaan banner ini diharapkan memberi banyak pilihan. Bahwa bukan hanya Coban Goa Naga Gintung dan Coban Gintung yang bisa dinikmati. Melainkan juga Air Terjun Gua Kelelawar (Coban Goa Lowo), walau memang perlu usaha lebih untuk mencapainya.
Tak ada pamrih dari terpampangnya banner tersebut di tempat parkir. Bahkan tak akan cukup kami membalas kebaikan-kebaikan Pak Pono dan warga setempat yang tanpa pamrih. Hanya sedikit pesan dan harapan kepada mereka, juga wisatawan yang hendak berkunjung, agar tempat tersebut tetap terjaga kenyamanan dan kebersihannya. (*)
Foto sampul:
Pak Pono di kejauhan. Sedang mencari posisi yang sinyalnya stabil untuk menelepon kawannya.
Tinggalkan Balasan