Masih tiga jam lagi menuju tengah malam.
Lampu dekat dan lampu jauh motor bergantian dihidupkan. Menyesuaikan kontur jalan beraspal penuh lubang yang tertutup abu. Lampu dekat untuk jalan datar. Lampu jauh untuk jalan menanjak. Keberadaan helm pun menjadi dilema. Kaca ditutup, pandangan menjadi kurang jelas. Kaca dibuka, abu yang mengandung silika tak segan mengganggu pandangan dan pernapasan. Solusinya pun sederhana. Melajukan motor perlahan, percaya diri pada intuisi. Dan juga sistem buka-tutup pada kaca helm pun berlaku.
Jarak dari pertigaan gardu sebelum gerbang Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Cemoro Lawang, Kecamatan Sukapura, menuju Seruni Point pun menjadi terasa jauh. Malam yang sudah gelap menjadi semakin terasa remang karena abu beterbangan. Bagaikan masuk dunia lain. Namun bukan musik bernuansa misteri yang mengiringi, melainkan deru mesin sepeda motor yang saya naiki.
Setelah berkendara sekitar 15 menit, lahan parkir beralas tanah yang cukup luas itu akhirnya terlihat. Hanya ada saya dan mobil dari travel agent yang membawa tamu dari Bandung. Tiga warung yang berdempetan di sisi kanan (barat) masih belum bergeliat. Hanya satu lampu neon di salah satu warung yang menerangi. Bilik toilet baru berpintu merah muda yang berada di seberangnya juga belum berfungsi. Hanya satu bilik sederhana berdinding triplek di sebelahnya yang bisa digunakan. Dengan penerangan lampu bohlam seadanya.
Tiga deret kursi panjang dari batang pohon yang berada di sisi antara warung dan toilet itu juga membisu. Menghadap ke selatan, ke arah kaldera Tengger purba yang tampak gelap. Hanya sedikit gemerlap lampu pemukiman desa-desa di Cemoro Lawang, yang terlihat menyembul di tengah-tengah perbukitan yang gelap di sisi timur.
Kemudian, sesosok pria bertopi dan berkumis tebal terlihat keluar dari salah satu warung. Bangun dari tidurnya karena melihat ada wisatawan yang datang. Suyon, petugas parkir dan pengelola Seruni Point itu menyambut. Kepulan asap rokok filter dan jaket kulit tebalnya menyiratkan kehangatan. Saya mendekatinya, menjabat tangannya yang kasar, “Nuwun sewu (permisi), Pak.”
“Monggo, Mas,” jawabnya ramah dengan suara yang berat dan agak pelan. “Sepi ya, Pak?” tanya saya.
Ia mengangguk sembari tersenyum, “Iya, Mas. Lagi sepi-sepinya ini.” Kepulan asap rokok yang dihisapnya kembali mengangkasa.
* * *

Pagi itu, Senin, 4 Januari 2016, Seruni Point bergeliat seperti biasa. Tak terlalu sepi, juga tak terlalu sesak. Anjungan pandang yang terletak paling dekat dengan Cemoro Lawang itu, masih menyisakan ruang kosong bagi pemburu foto. Demikian juga halnya geliat di Pananjakan (anjungan pandang paling tinggi dan ramai) maupun Bukit King Kong (terletak di antara Pananjakan dan Seruni). Titik-titik pandang untuk melihat lanskap Bromo secara luas.
Tapi, geliat itu tak terlihat di bawah sana. Lautan pasir yang terhampar di dalam kaldera purba berdiameter hampir 10 km itu tampak kosong. Tak terlihat aktivitas jip atau kuda berlalu-lalang. Hanya menyisakan Pura Luhur Poten yang diam membisu. Juga Gunung Batok dan gunung-gunung kecil di sekitarnya yang ‘terdiam’ menyaksikan tetangga dekatnya sedang bergeliat cukup hebat.
Hari itu, Gunung Bromo tak seperti biasanya. Sudah dua bulan, abu vulkanis hasil pembakaran material di inti magma kawah Bromo keluar mengangkasa. Abunya pun seolah mengepung kaldera. Asapnya terbawa angin ke empat kabupaten: Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang. Akibatnya, terbitlah larangan beraktivitas di dalam lautan pasir karena masih berbahaya.
“Ini siklus 5 tahunan, Mas. Jadi sudah lumrah dan alamiah,” kata Suyon. Saya mengangguk paham. Erupsi kali ini adalah yang ke-55, setelah erupsi pertama kali pada tahun 1804. Daur erupsi Gunung Bromo tidak menentu. Masa istirahat terpendek kurang dari satu tahun, sedangkan masa istirahat terpanjang 16 tahun. Peningkatan letusan yang tercatat dalam sejarah terjadi 200 tahun belakangan. Dua dekade terakhir, Bromo tercatat erupsi dalam 5 tahun sekali.
Erupsi tahun ini seperti satu dekade sebelumnya, tahun 2004 dan 2010. Meskipun ‘rutinitasnya’ sama, yaitu erupsi, tapi gejalanya berbeda-beda.
Pada tahun 2004, ketinggian tiang letusan mencapai 3.000 meter dari bibir kawah. Lontaran abu dan batu berjatuhan mencapai radius 300 meter dari bibir kawah.
Meskipun letusan berlangsung singkat selama 20 menit (sekaligus merupakan masa erupsi tersingkat), mengakibatkan 2 orang meninggal dunia dan 5 orang luka-luka. Erupsi tahun 2004 juga mengakibatkan tinggi gunung bertambah 220 meter dari permukaan laut (sekarang sekitar 2.329 mdpl).
Awal bulan November 2010, tercatat 76 gempa vulkanik dengan perubahan asap dari putih menjadi abu-abu. Puncaknya, pukul 5 pagi, 20 November 2010, terjadi letusan eksplosif dari kawah Bromo berwarna coklat dengan ketinggian 200-250 meter dari bibir kawah, yang berlangsung sekitar 30 menit. Tiga hari kemudian, di jam yang sama, letusan kembali terjadi dengan tinggi mencapai 400 meter. Tiga jam setelahnya, status Gunung Bromo dinaikkan ke Siaga (Level III).
Letusan lebih besar terjadi setelah tengah hari, dengan ketinggian asap sekitar 400-800 meter. Pukul 15.30, masih di hari yang sama, status Bromo dinaikkan lagi menjadi Awas (Level IV). Menimbulkan pijaran lava di kawah Bromo akibat hancurnya kubah lava. Periode 2010 menjadi masa erupsi terlama sepanjang sejarah Bromo. Erupsi Bromo kala itu baru berhenti 9 bulan kemudian, sekitar Juli 2011. Kota dan Kabupaten Malang, termasuk wilayah yang terkena hujan abu cukup pekat saat itu.
Pada periode kali ini, 2015, abu vulkanis yang terlontar tercatat sempat mencapai 1.500 meter. Namun tetap bukan merupakan erupsi yang besar. Dampak yang ditimbulkan hanya sebatas abu vulkanis. Meskipun demikian, abu vulkanis tersebut membuat Bandara Abdul Rachman Saleh di Malang berulang kali buka-tutup kegiatan operasionalnya.
“Memang tahun ini tak separah tahun 2010 dulu, Mas. Tapi, tetap saja sepi,” tutur Suyon pelan.

“Malam tahun baru kemarin saja, yang biasanya sampai seribuan lebih wisatawan, sepi. Banyak yang pindah tujuan ke Kawah Ijen,” lanjutnya lirih. Kabar tersebut ia dengar dari beberapa agen perjalanan yang membawa tamu dari luar kota. Rata-rata tujuan utama mereka adalah menginjak lautan pasir, kawah, dan blok savana (bukit teletubbies). Hanya menikmati matahari terbit (sunrise) saja dari anjungan pandang dianggap belum cukup.
Saya sendiri merasakan kelengangan itu. Suasana senyap mulai terasa sejak dari pusat kecamatan Sukapura, Probolinggo. Hingga merembet ke dusun Cemoro Lawang, Desa Ngadisari, desa teratas yang paling dekat dengan Bromo. Jip-jip wisata yang biasanya banyak berjejer menunggu wisatawan, hanya terlihat segelintir yang terparkir rapi di tepi jalan. Sebagian besar ‘dikandangkan’ di garasi rumah pemilik jip. “Seharian ini, paling banyak seratus orang yang datang, Mas. Dan tidak semuanya pakai jasa jip,” ujar seorang sopir jip di desa Wonokerto.
* * *
Bukan hanya sektor pariwisata yang cukup terguncang karena penurunan jumlah wisatawan secara drastis. Abu vulkanis yang dimuntahkan Bromo juga berdampak pada sektor pertanian. Komoditas buah-buahan, juga sayur seperti kentang, kubis, sawi, jagung, dan tomat rusak akibat terpapar abu. Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo mencatat, lahan pertanian yang rusak sudah mencapai 2.605 ha. Tiga kecamatan terdekat dengan Bromo, yaitu Sukapura, Sumber, dan Lumbang menjadi wilayah paling terdampak.
“Petani sayur itu bisa rugi sampai puluhan juta, lho, Mas, karena sayur dan lahannya rusak,” jelas Suyon. “Makanya hasil dari retribusi di Seruni Point ini, sekian persen akan disumbangkan untuk membantu petani yang merugi itu, Mas. Paling tidak bisa membantu urusan makanlah, Mas.”
Namun yang sedikit melegakan, kabarnya, kebanyakan dari petani itu memiliki cadangan makanan dalam sigiran mereka. Semacam lumbung yang dibangun untuk menyimpan jagung kering lengkap dengan kelobotnya, sebagai pengganti nasi. Sebagian juga memiliki tabungan berupa ternak. Ternak mereka dijual bukan hanya untuk mendapatkan tambahan pemasukan, melainkan karena pakan alami ternak juga rusak karena abu.
Saya lega mendengarnya. Karena, itu berarti masyarakat Tengger memiliki bekal cadangan sejak jauh hari. Ada kesadaran bahwa mereka hidup berdampingan dengan gunung berapi. Sehingga membuat mereka memiliki langkah-langkah yang antisipatif.
Walaupun, tetap saya merasa kasihan dengan lahan mereka yang sudah rusak. Abu vulkanis begitu tebal dan perkasa menyebabkan tanaman layu dan mati. Lahan pertanian yang biasanya tampak hijau segar, kini tampak ‘dipoles’ serempak: abu-abu kelabu. Saya tetap saja tak sanggup membayangkan, ketika erupsi periode 2010, mereka berhenti total menggarap lahan selama 9 bulan berturut-turut.
Dari kondisi demikian, sebenarnya sektor pariwisata masih sedikit bisa diandalkan. Mereka masih bisa memberdayakan kuda-kuda mereka untuk disewa, menyediakan jip bagi tamu yang tak membawa kendaraan pribadi, menjual kupluk dan sarung tangan, hingga berjualan makanan-minuman. Karena, Bromo bukan hanya cerita tentang lautan pasir, savana teletubbies, dan kawahnya sendiri. Di balik batuknya, Bromo pun masih menyisakan ruang aman untuk menikmatinya. Meski dari kejauhan. Dari ketiga titik utama, Pananjakan (yang sementara ini baru bisa diakses dari jalur Wonokitri, Pasuruan), Bukit King Kong, dan Seruni Point; wisatawan masih berkesempatan menyaksikan atraksi utama dari Bromo. Yaitu, melihat matahari terbit.
Seperti pagi ini.

Di ufuk timur, garis cakrawala mulai menampakkan celah. Menegaskan batas antara langit dan daratan. Segaris jingga kekuningan tampak memancar mengisi langit. Orang-orang mulai merapat. Bahkan yang baru datang setelah berjalan hampir 20 menit dari tempat parkir mulai mempercepat langkah. Berlomba mengabadikan momen indah tersebut. Dalam hitungan menit, sang pemilik cahaya jingga itu, mulai tampil mengisi panggung pagi. Ia disambut dengan teriakan gegap gempita, hingga lafal-lafal khusus memuji Sang Pencipta.
Saya pun ikut bergetar. Merinding. Terlebih, sinarnya turut menyelimuti Gunung Bromo yang sedang ‘berpesta’ dengan abu vulkanisnya. Gunung yang semalam terlihat gelap, kini tampak terpancar keemasan. Udara dingin yang menusuk sedari malam mulai menghangat. Kabut putih masih melayang menyelimuti kaldera. Seolah kami sedang berdiri di atas awan.
“Sampean (kamu) beruntung, Mas,” ujar Maryono. Ia tengah asyik memanggang jagung bakar pesanan saya. Kami bercakap persis di bawah salah satu dari dua gazebo yang berdiri di Seruni Point. Ceritanya, ada dua orang fotografer yang menginap dua malam di hotel Lava View. Sabtu dan Minggu. Dua hari berturut-turut, hanya kabut tebal tanpa matahari pagi yang didapat. “Padahal, sudah saya sarankan nginap semalam lagi supaya dapat sunrise, tapi mereka keburu pulang ke Jakarta. Nyatanya hari ini cerah, tho?” jelasnya sembari terkekeh.
Selain di Seruni Point, lelaki berpakaian khas Tengger asal Wonokitri, Pasuruan itu sebenarnya lebih sering berjualan di Bukit King Kong. Jaraknya setengah jam dengan jalan kaki, mendaki dari Seruni Point. Karenanya ia kerap dipanggil Pak King Kong oleh wisatawan. Satu-satunya penjual jagung bakar di sana. “Ini momen langka, lho, Mas, buat lihat pemandangan Bromo lagi erupsi gini,” tambahnya.
Hari itu, kami termasuk wisatawan yang beruntung. Selain datang di hari yang dianugerahi pagi yang cerah, juga mendapatkan pemandangan langka. Yang datang lima tahun sekali.
* * *

Erupsi Bromo yang memuntahkan abu vulkanis memang telah merusak ladang, menyebabkan petani sayur gagal panen, sehingga merugi hingga puluhan juta rupiah. Jumlah wisatawan turun drastis, mengakibatkan omzet jip dan penginapan menurun. Siklus lima tahunan yang dipentaskan Bromo kentara membuat perbedaan besar dibanding hari-hari sebelumnya.
Suyon pun tak tahu kapan Bromo berhenti batuk. Namun, gerak-gerik tubuhnya menyiratkan kesan tak terlalu khawatir tentang pendapatan yang menurun untuk sesaat. Tak tampak kesedihan di raut wajahnya, juga di wajah masyarakat Tengger yang lain. Ada pancaran kepasrahan, tapi juga keikhlasan. Ia seolah ingin memberi pesan, bahwa sebenarnya masih aman untuk menikmati keindahan Bromo.
Ia hanya tersenyum, lalu menatap ke arah gunung suci umat Tengger itu. Sesaat setelah menghisap rokok yang kesekian kalinya. “Kalau sudah kehendak alam, mau bagaimana lagi?”
Dari tepi kaldera purba, sembari melakukan segala hal untuk bertahan hidup, mereka tak jemu merenda asa agar erupsi mereda. Hingga kini, mereka hanya bisa bersabar menanti. Sesabar Bromo yang dirinya sendiri pun tak tahu pasti kapan akan berhenti. (*)
Foto sampul
Kabut pagi melayang di atas Dusun Cemoro Lawang, Sukapura, Probolinggo.
Referensi:
Badan Geologi ESDM | Berita Satu | Tempo | Warta Bromo
Tinggalkan Balasan