Manusia hanyalah tamu di hutan dan gunung. Alam bebas yang segala gerak-geriknya di luar kuasa kita. Apalah kita, yang hanya pendatang, kadang mengusik kehidupan penghuni-penghuni terdahulu. Fauna, flora, gejala-gejala alam, bahkan hingga sesuatu yang tak kasat mata.
Seperti saat itu.
* * *
Pukul 13.30, siang yang cerah kala itu. Kami mulai berjalan meninggalkan pos perizinan Ranu Pani. Menyusuri jalan beraspal yang berujung di gerbang awal pendakian.
Muchlis menghidupkan kamera, mengubah mode foto ke video. merekam langkah awal kami di hari pertama pendakian ini. Saya menjadi yang pertama bertutur, “Kita sekarang menuju Ranu Kumbolo. Empat jam perjalanan. Semangat!” Lalu Muchlis mengarahkan lensa kamera ke wajahnya sambil berteriak, “Budal (berangkat)!” Tawa kecil mengiringi sebelum akhirnya kamera dinonaktifkan kembali.
Empat jam perjalanan yang hanya sebatas teori di atas kertas. Jarak 10,5 km ke Ranu Kumbolo dipikir sedekat seperti berkendara dengan motor. Dipikir jalan akan datar-landai.
Kami lupa jika kami naik gunung. Kami lupa jika ada fase kenaikan ketinggian, dari Ranu Pani (2.200 mdpl) ke Ranu Kumbolo (2.400 mdpl).
Baru saja meninggalkan gerbang awal pendakian, jalan setapak tanah perlahan berubah menanjak cukup panjang. Dengan jaket yang masih melekat di badan, keringat pun langsung mengucur deras. Benar-benar payah. Kami terpaksa mengenakannya, karena tak ada ruang sisa untuk menyimpan jaket di carrier kami, yang berisi bahan makanan terlalu berlebihan.
Kelegaan menyelimuti begitu menemukan ujung dari tanjakan. Trek selanjutnya hampir sepenuhnya datar, berkelok, hingga sejam kemudian kami tiba di kawasan Landengan Dowo. Sekitar 3 km dari Ranu Pani. Di sini kami istirahat beberapa menit, sebelum melanjutkan perjalanan ke Pos I.
Jalan menuju Pos I masih didominasi trek datar. Lurus, lalu berputar balik dan sedikit menanjak hingga tiba di Pos I yang terdapat bangunan beratap seng untuk berlindung. Sejam lebih 45 menit kami tempuh dari Ranu Pani ke Pos I. Hampir dua jam, tapi baru 4,5 km yang ditempuh.
Di pos ini kami berjumpa dengan tiga orang pendaki, yang dua di antaranya, Harpa dan Nita, merupakan teman sekampus. Sempat bertegur sapa, mereka memutuskan untuk jalan duluan meninggalkan kami.
Hampir satu jam kami istirahat di pos ini. Mas Kur mengeluh sakit pada pundaknya. Sepertinya beban carrier 80 liter yang dibawanya terlalu berat. Tapi ia masih mampu melanjutkan perjalanan ke Pos II yang ternyata tak terlalu jauh.
Di Pos II, kini bukan pundaknya saja yang dikeluhkan. Napasnya mulai terasa sesak. Karena beban yang terlalu berat.
Langit sore mulai berubah. Mulai nampak kekuningan. Tanda petang sudah hampir dekat. Sementara Mahameru nampak samar di kejauhan. Puncak dambaan yang sepertinya masih sangat jauh.
Kami segera berbagi tugas. Mas Kur dibiarkan tidak membawa beban apapun. Tas carrier-nya dipanggul bergantian dengan kayu oleh Uki dan Muchlis. Saya membawa tas tenda dome yang saya letakkan di dada.
Perjalanan pun kian melambat. Langit benar-benar gelap ketika kami memasuki kawasan Watu Rejeng. (2.350 mdpl). Pukul 18.30. Sudah 5 jam kami berjalan dari Ranu Pani. Baru 6 km yang ditempuh. Melebihi target yang direncanakan.
Masih 4,5 km lagi menuju Ranu Kumbolo. Kami tak tahu rupa jalan di depan seperti apa. Kami beristirahat di bawah papan kayu bertuliskan nama lokasi, ‘Watu Rejeng’. Meringkuk dalam diam.
Selain angin malam, hanya terdengar lenguhan napas yang memburu tanda kelelahan. Dan, suara-suara tanpa tahu siapa yang bersuara. Entah serangga, atau gesekan ranting pepohonan yang digoyang angin. Kabarnya, kawasan ini merupakan yang paling angker sepanjang jalur Ranu Pani-Ranu Kumbolo. Kami hanya berusaha menghibur diri dengan menyantap gula merah dan madu.
“Jangan sampai tertidur, Rek…,” ujar saya lirih.
* * *

Sekitar 15 menit kemudian, kami melanjutkan perjalanan. Masih berjalan lambat. Sorot headlamp menjadi penerang satu-satunya di jalur ini.
Setelah beberapa menit berjalan, terdengar sayup suara beberapa meter di depan kami. Ternyata Harpa! Dia dan rombongannya, memiih menunggu kami di sebuah jembatan kayu. Kami menjelaskan kondisi tim yang kepayahan. “Sini, tasnya Mas Kur biar kubawa,” tawarnya. Ia pun memanggul dua buah carrier berkapasitas 70 liter miliknya dan 80 liter milik Mas Kur. Dobel, depan dan belakang.
Anggrek, adik kandung Mas Kur pun mulai mengeluhkan pusing. Tapi ia masih sanggup meneruskan perjalanan. Walau perlahan. Beberapa menit kemudian, dengan Ijoo -teman setim Harpa dan Nita- sebagai leader, kami kembali melanjutkan pendakian. Meskipun ia perempuan, tapi melihat ritme langkahnya, bawaan bebannya: sebuah carrier 60 liter di punggung dan daypack kecil di dada, menunjukkan ia cukup berpengalaman. “Sebelumnya, aku sudah pernah ke Rinjani, kok. Yuk, jalan terus. Semangat!”
Pantas.
Jadilah, tim kami yang berlima, melebur menjadi satu dengan mereka bertiga. Delapan orang pendaki berjalan perlahan menapaki jalan setapak. Beberapa puluh langkah, berhenti. Demikian berulang kali. Saya sendiri mengakui, selain masalah fisik, rasa kantuk turut menghambat perjalanan.
Kami sedikit bahagia, akhirnya menjumpai Pos III yang atapnya ambruk itu. Namun, melihat trek persis di belakangnya, rasa bahagia yang sedikit itu kembali hilang. Menanjak cukup panjang, lebih terjal dan berdebu.
Tak sampai lima langkah, berhenti. Mengatur napas. Menghalau debu.
Saya sudah tak melihat arloji lagi. Dalam pikiran, hanya terlintas: Ranu Kumbolo! Ranu Kumbolo! Kapankah akan sampai!
Beberapa menit setelah Pos III, kami melihat samar-samar cahaya lampu yang berbayang di kejauhan. Sepertinya berbayang di atas permukaan air. “Itu apa, Nit?” tanya saya kepada Nita yang sebelumnya pernah dua kali mendaki ke gunung ini. “Itu Ranu Kumbolo, Ky,” jawabnya.
Ah! Semangat kembali tumbuh. Langkah sedikit dipercepat. Namun, kami juga cepat berhenti pula. Karena fisik Mas Kur dan Anggrek yang sudah mulai drop. Kami harus menyesuaikan ritme langkahnya.
Permukaan danau itu akhirnya terlihat dekat. Setelah Pos IV di sisi kanan jalur, kami menuruni jalur yang cukup terjal dan berdebu. Lutut yang mulai melemas, membuat saya tak sanggup berjalan lebih cepat, apalagi setengah berlari.
Akhirnya, setelah 10 jam berjalan, kami tiba di sisi utara Ranu Kumbolo. Meleset 6 jam dari perkiraan. Pelajaran keras yang menampar kami, agar tak bermain-main dengan ambisi. Di tengah rasa tak percaya karena sudah sampai di tempat tujuan, Nita memberi penawaran, “Mau camp di sini atau di dekat pondokan?”
Tanpa pikir panjang, saya langsung menjawab, “Sudah, camp di sini dulu saja, Nit. Besok pindah ke dekat pondokan. Yuk ndang (segera) bangun tenda!”
* * *

Tengah malam itu, mungkin tinggal kami, pendaki yang masih heboh di Ranu Kumbolo. Sebenarnya agak merinding ketika melihat sekeliling. Mengedarkan pandangan ke arah hutan yang gelap. Puncak-puncak bukit yang menghitam. Juga gemericik danau yang terdengar. Saya percaya, seisi Semeru setiap detik pun akan selalu berdenyut. Hidup. Walau tampak diam.
Untung tidak ada hewan-hewan yang terlihat berkeliaran malam ini, begitu batin saya. Semoga begitu.
Usai makan malam hasil masakan Muchlis. kami segera memasuki tenda tim masing-masing. Kami berlima, menempati tenda dome yang sebenarnya berkapasitas maksimal 4 orang termasuk barang.
Mas Kur, yang tidak ikut makan malam, sudah terlelap lebih dulu. Kami pun tidur berselimut sleeping bag, berimpitan. Ternyata lebih hangat, walau sesak. Sekalipun tas kami sudah ditaruh di teras tenda dan ditutupi ponco.
Kami segera memejamkan mata. Walau angan tentang puncak Mahameru mulai samar melihat kondisi fisik kami, mengetahui linu yang mulai terasa. Yang penting kami harus tidur.
Tapi, sebentar.
Belum sampai sejam terjadi kegaduhan. Saya yang sudah enak-enak terpejam, terpaksa membuka mata perlahan. Saya pikir, pagi sudah tiba. Lalu dipikir gaduh karena hendak melihat sunrise.
Ternyata bukan. Lalu gaduh karena apa ini. Saya membuka mata, tapi masih rebahan dalam sleeping bag yang hangat.
Teman-teman yang lain, termasuk Mas Kur ikut terbangun. Membuat dinding tenda ikut bergoyang.
“Ada apa sih?” tanya saya penasaran.
Uki, Anggrek, dan Muchlis bangun dalam posisi berjongkok. Sesekali mengangkat kaki mereka. Seorang di antara mereka berteriak, “Bukain pintu (tenda)-nya, Ky! Cepat!”
Saya masih setengah sadar walau mata sudah terbuka. Lalu Muchlis berteriak, “Ada tikus!”
Waduh! Saya segera beringsut, membuka pintu tenda lalu loncat-loncat di dalam tenda. Sama-sama khawatir kaki atau bagian tubuh kami tergigit tikus gunung yang masuk ke tenda kami.
Dalam remang sorot headlamp yang ikut bergoyang di langit-langit tenda, kami mencoba memandang ke segala penjuru tenda dengan perasaan cemas. Jangan-jangan masuk ke sleeping bag!
Lalu dalam hitungan menit setelah pintu tenda terbuka, saat kami khawatir dengan isi sleeping bag kami, terlihatlah sosok tamu tak diundang itu. Hitam, berekor.
Ia kemudian meloncat dengan lincah keluar tenda tanpa mengucap salam. Saya segera tergesa menutup pintu tenda.
Alhamdulillah…! Rasa syukur dan lega membahana seisi tenda. Akhirnya kami dapat tidur dengan tenang.
Masih untung tikus yang datang, bukan yang lain. Mungkin itu pertanda dari alam kepada kami, para tamu amatiran. Saya pun sempat membatin sebelum memejamkan mata:
Permisi Ranu Kumbolo, nuwun sewu, kami mau tidur! Dan seterusnya suara dengkuran saling berlomba hingga pagi. Lalu bagaimana dengan si tikus, nyenyakkah tidurnya di luar sana?
(*)
Foto sampul:
Ranu Pani, titik awal pendakian ke Ranu Kumbolo-Semeru
Tinggalkan Balasan