Tomi membuka tas ransel yang ia bawa. Mengeluarkan sejumlah biskuit, roti tawar, dan sebotol air mineral 1,5 liter. Saya, bersama Mustofa dan Figur yang sedang asyik memotret, segera menghampirinya. Ikut merapat, sudah waktunya sarapan. Di atas tanah berbatu dan berdebu, di tengah embusan angin puncak yang cukup kencang dan dingin, kami menikmati sarapan ringan ini dengan nikmat.
Di tengah sarapan, dari arah jalur pendakian, tiba-tiba mendekat sekelompok pendaki. Empat orang laki-laki, seorang perempuan. Hanya tas selempang dan kamera yang melekat di antara tubuh mereka. Langkah mereka agak gontai. Seorang di antaranya mendekati kami.
“Permisi, Mas,” Sapa perempuan bermata sipit dengan pakaian serba hitam dan bersepatu gunung warna cokelat.
“Ya, Mbak?” Jawab kami berempat serempak.
* * *
Hari ketujuhbelas bulan Mei, 2014.
Pukul 22.15, suasana Kalimati (2.700 mdpl) masih relatif sepi. Hanya segelintir pendaki yang terlihat mulai beraktivitas di luar tenda. Sementara kami berempat, sudah mulai berjalan meninggalkan tenda. Mendahului mereka yang masih terlelap, mungkin baru berjalan tepat tengah malam nanti.
Tomi, menjadi leader, membawa sebuah daypack berisi makanan dan minuman. Tugas yang sama diemban oleh Figur, yang menjadi sweeper (paling belakang). Daypack saya dibawa olehnya, juga berisi makanan dan minuman. Mustofa, berada di belakang Tomi, membawa tas selempang berisi satu botol air mineral 600 ml. Saya di depan Figur, membawa tripod dan tas selempang berisi kamera.
Kami memintas jalur baru ke puncak Mahameru, yang baru dibuat oleh tim gabungan ranger dan volunteer Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Trek awal persis di belakang (selatan) pondok Kalimati. Jalur baru ini dibuat karena jalur lama (Arcopodho, 2.900 mdpl) telah longsor.
Trek baru ini, sedikit berupa jalan setapak tanah, lalu ganti berkerikil. Langkah kami memacu pada petunjuk tali (stringline) yang terikat di semak-semak dan tanaman edelweiss. Sosok yang dituju, Semeru, di kejauhan terlihat menghitam di bawah langit yang penuh bintang.
Trek yang semula datar, tiba-tiba menanjak tajam memasuki hutan di atas Arcopodho. Tanah yang kami pijak menerbangkan debu. Sejam berjalan dari Kalimati, kami sudah tiba di batas vegetasi, Kelik. Angin yang semula terdengar menyasak pepohonan pinus gunung, terasa kentara ketika melewati batas hutan.
Fuuu… Fuuu… Wuusss….
Di depan kami, terdapat rombongan keluarga lengkap. Suami istri dengan dua orang anaknya yang seumuran SD. Dua orang porter lokal bertugas mendampingi keduanya. Kami ternyata bukan rombongan pertama yang mendaki ke puncak malam ini.
* * *
Pendakian sesungguhnya dimulai dengan melewati igir-igir tipis yang biasa disebut sirathal mustaqim. Jalan berkerikil dan berpasir selebar dua jengkal lebih sedikit. Sisi kanan dan kiri jurang menganga. Igir-igir itu berakhir seiring dengan habisnya vegetasi. Di depan, hamparan luas berpasir dan berbatu sudah menyambut.
Mungkin terdengar ekstrim, tapi jalur antara Kelik-Mahameru adalah jalur hidup-mati. Kami harus bersiap menghadapi segala kemungkinan terburuk: badai dan hujan besar, longsoran batuan yang labil, hingga menghirup asap beracun dari kawah Jonggring Saloka.
Kami berjalan sembari waspada dengan kemungkinan-kemungkinan tersebut. Merapal doa-doa kepada Tuhan memohon keselamatan. Juga memohon kekuatan mental, menapaki jalur yang membuat merosot 2-3 langkah setelah naik 3-4 langkah.
Saat-saat frustasi itu tiba. Pukul 02.30, setelah kurang lebih 4,5 jam berjalan. Kami berempat memutuskan untuk istirahat sejenak di tengah jalur. Duduk di atas bebatuan, menghadap ke utara. Ke arah Kalimati.
Terlihat cahaya lampu senter dan headlamp mengular, menyibak di antara celah hutan di atas Kalimati. Sebagian sudah memasuki Kelik.
“Untung saja kita sudah jalan duluan,” ujar saya. Terlambat 1-2 jam saja, ‘lalu-lintas’ jalur akan padat.
“Monggo, Mas,” sapa seorang porter melewati kami. Ia menggendong seorang anak yang mendaki bersama orang tuanya tadi. Kawan porter yang lain juga serupa, menggendong sang anak, saudaranya sendiri. Orang tuanya berada tak jauh di belakang. Mereka terus berjalan, menuju puncak.
Beberapa menit kemudian, kami kembali berjalan. Tiba di sebuah cerukan, dengan 2-3 tikungan menanjak. Melihat cerukan tersebut, dalam hati saya berkata, puncak sudah dekat.
Setelah 5,5 jam berjalan dari Kalimati, akhirnya kami tiba di puncak Mahameru. Puncak seluas dua kali lapangan bola itu nampak kosong, gelap. Angin berembus lebih kencang, lebih menusuk. Seorang pendaki asal Kota Batu, ternyata menjadi yang pertama sampai. Sendirian. Selang beberapa menit setelah kami tiba, rombongan keluarga dan dua porter tadi kembali turun ke Kalimati. Dalam keadaan masih gelap gulita.
Sekeliling puncak Mahameru masih gelap. Hanya terlihat gemerlap lampu-lampu kota di bawah sana. Di Lumajang, Malang, dan Probolinggo. Tak sampai belasan menit, kami memutuskan untuk turun sedikit ke cerukan tadi. Memilih tidur untuk sejenak, tak kuat dengan dinginnya puncak yang belum tersinari matahari pagi.

Sekitar 45 menit kemudian. “Bangun, bangun. Sudah jam setengah lima,” sahut Figur membangunkan kami. Mata saya terbuka. Dengan cepat sadar, kami segera beringsut. Bergegas berjalan kembali ke puncak. Cahaya matahari pagi sudah terlihat dari balik cakrawala.
Dalam keadaan menggigil karena cukup lama diam tertidur, kami menunaikan salat Subuh berjamaah di puncak. Sementara, sudah mulai banyak pendaki berdatangan ke puncak Mahameru. Sudah mulai banyak pula yang bergegas mengabadikan momen pagi ini dengan kamera-kamera yang dimiliki.
Tak terkecuali kami.
* * *
“Maaf, Mas, kami boleh minta airnya?” tanya perempuan itu. Kami mengangguk, bergegas memberikan sebotol air yang masih penuh kepadanya. Ia meneguk dengan cepat, tanda kehausan. Bergilir, diikuti keempat temannya yang lain. Yang juga kehausan.
“Ini ada roti sama biskuit, Mbak, Mas. Masih banyak, kok, ambil saja,” kata kami.
“Boleh minta, Mas?” tanya temannya yang laki-laki. Kami memberikannya, “Sudah bawa saja semua, Mas. Ini juga masih ada roti kalau mau.” Ia hanya mengambil biskuit saja. Dibaginya ke teman-temannya.
“Baru pertama ke puncak, Mbak? Kalian tidak membawa bekalkah ke puncak?” saya coba bertanya.
“Iya Mas, baru pertama ini. Bawa, Mas, tapi yang bawa ketinggalan di belakang. Kami disuruh jalan duluan, ternyata jaraknya sudah jauh,” jawab perempuan tadi. “Terus, Mbak?” Saya menyela.
“Tadi sempat haus dan lapar sih, tapi karena teman saya yang di belakang sudah jauh banget, kami terpaksa jalan terus karena bingung mau minta air ke siapa,” tuturnya, sembari mengunyah biskuit.
Kami berempat saling berpandangan. Lalu mereka pamit untuk berfoto ria, “Mas, makasih banyak buat minum dan makanannya ya,” kata mereka bersamaan.
“Iya, hati-hati, ya!” jawab kami.

Kami melihat mereka berlima dari jauh. Sekilas, tak tampak kekhawatiran mereka meskipun sempat kelaparan dan kehausan di tengah pendakian. Yang khawatir malah kami berempat. Dan sampai kami hendak turun, masih belum menjumpai sosok si teman yang bertugas membawa makanan dan minuman. Mungkin masih tertatih-tatih dalam perjalanan karena beban yang dibawa. Mungkin mereka berlima terlalu menggantungkan harapan si pembawa beban, yang nyatanya berjalan lebih lambat.
Di jalur pendakian seperti ini, awalnya memang berjalan beriringan. Namun di tengah perjalanan, ketika rasa frustasi mulai menghantui, rasa kantuk dan dahaga menghampiri, kecepatan berjalan setiap pendaki mulai berjarak. Jika seorang leader dalam rombongan tersebut tak mampu mengatasi timnya, yang terjadi ya seperti tadi.
Akan lebih baik membawa bekal berlebih meskipun ternyata sisa, daripada membawa cukup tapi kekurangan. Jangan sampai malah tak membawa bekal sama sekali.
Saya jadi teringat pesan Pak Ningot Sinambela, seorang ranger yang sudah lebih dari 30 kali ke puncak Mahameru. Saat pendakian kedua saya ke Semeru, ia berpesan kepada rombongan kami sebelum berangkat ke Ranu Kumbolo.
“Naik bareng, turun bareng. Kalau hilang dan tersesat juga harus bareng-bareng!”
(*)
Foto sampul:
Segaris fajar dari Puncak Mahameru, Gunung Semeru
Tinggalkan Balasan