Bagaimana tahun 2015 bagi saya?
Saya ternyata bermimpi tanggung di tahun 2015. Benar-benar tak memiliki resolusi yang jelas, sesamar kondisi perekonomian Indonesia yang penuh ketidakpastian.
Di tahun kambing kayu lalu, saya tak berani bermimpi telak, hendak ke manakah kaki melangkah. Banyak yang serba spontan, tanpa perencanaan yang matang. Saya merasa beruntung, dapat melakukan bloggerwalking hampir seminggu di Jakarta-Bogor-Serang. Begitu pun kala tur keliling Jawa Tengah.
Sebagian pengalaman perjalanan sudah saya tuangkan dalam tulisan di blog ini. Tercatat, 70 tulisan baru mewarnai sepanjang 2015. Secara rerata, berarti ada 5-6 tulisan per bulan. Sepintas, angka itu cukup besar. Tapi jujur, saya masih merasa kurang produktif. Masih angin-anginan, belum konsisten. Seharusnya bisa lebih dari itu. Karenanya, merupakan tantangan besar menulis lebih produktif lagi, namun tetap bernilai dan berkualitas.
Seperti itu kan salah satu bentuk resolusi? Sebuah tuntutan (permintaan) yang sudah ditetapkan kepada diri sendiri? Tuntutan terhadap sebuah kesenangan dan hasrat yang dimiliki. Sebuah jalan untuk terus menggali potensi diri yang masih tertutup kelambu zona nyaman.
Tetapi, resolusi bukan cuma tentang satu mimpi atau satu tujuan. Karenanya, C. S. Lewis pernah berkata, “You are never too old to set another goal or to dream a new dream.”

Saya pun bersyukur masih berkesempatan mendaki gunung. Walau tak sesering tahun-tahun sebelumnya. Jelang akhir tahun kemarin, saya bersyukur masih berkesempatan mendaki Gunung Buthak (Siti Ingghil). Tiada terkira rasanya, dapat kembali mencumbu hutan hujan yang lebat, menembus kabut tebal yang basah. Tiada rasa seseru, mendirikan tenda dengan tergesa ketika hujan tiba-tiba datang.
Gunung, hutan dan seisinya memang berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Tapi yang dicari dan dirindukan adalah sama: kedamaian dan kesunyian.
Orang mungkin merindukan Gunung Pangrango yang dulu. Yang benar-benar dicintai bagi yang benar-benar berani terhadap hidup. Ketika Soe Hok Gie bahkan mampu membuat puisi melankolis dalam damai Lembah Mandalawangi. Terciptalah potongan kata-kata seperti ini,
“hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”
Orang mungkin merindukan Ranu Kumbolo yang dulu. Ketika gemericik air danau terdengar jelas, bersahutan dengan kicau burung. Bahkan mungkin banyak yang penasaran ingin mengalami masa, seperti kala Mpu Kameswara, raja pertama Kadiri menemukan danau suci itu. Masa ketika, Tuhan memang benar-benar dekat.
Karenanya, jika boleh, saya punya tambahan resolusi baru. Pergi ke alam bebas demi membeli kedamaian dan kesunyian, bukan demi eksistensi dan gagah-gagahan. Makna pencarian dan pengujian jati diri yang telah hilang, harus ditemukan lagi dalam sebuah pendakian.
Tapi, sejauh mana gunung mampu menyeleksi tamunya? Tak sembarang orang layak dan pantas menduduki kursi kabinet pemerintahan, jika tak ada tekad berbuat baik untuk negara. Tak sembarang orang layak dan pantas mendaki gunung-gunung tertinggi, jika tak ada tekad menghormati alam.
Ketika kita menciptakan resolusi untuk sendiri, mau tak mau saya harus percaya, bahwa alam pun memiliki resolusi sendiri dari waktu ke waktu.
* * *
Ibarat sepak bola, semua peluang masih di atas kertas. Sebatas prediksi di atas kartu. Jika sepak bola ditentukan lewat 90 menit di lapangan, maka resolusi hidup bermula dari 24 jam yang terus bergulir tanpa kenal lelah. Seberapa banyak atau besar resolusi kita, ujungnya sama, mengarah pada hasil yang dapat mengukur diri: lebih baik, sama, atau lebih burukkah kita hari ini dibanding hari kemarin. Resolusi hidup lebih dari sekadar melakukan sesuatu atau pergi ke tempat yang baru. Resolusi hidup ialah bagaimana kita pantang berhenti berjalan dan berjuang, pantang menyerah memperjuangkan cita-cita dan harapan.
Tetapi, percayalah, pasti ada cerita berbeda dari hari ke hari. Kita hanya perlu melihat lebih luas, mendengar lebih lebar. Setiap orang bahkan makhluk hidup lainnya, bahkan semesta pun memiliki resolusi. Resolusi bukan hanya menjadi milik si monyet api.
Saya percaya, bahkan harus yakin, tahun 2016 ini memiliki ruang untuk tumbuh berkembang dan optimis bagi setiap pemimpi. Namun, rupanya tahun 2016 juga harus berbagi ruang dengan pemilik segala tipu daya, karena tak sedikit yang memiliki kedangkalan emosi. Kebaikan-kebaikan akan selalu berperang dengan segala niat jahat yang bermufakat. Pertempuran abadi.

Tapi, Mahatma Gandhi pernah berkata, “Jadilah bagian dari perubahan yang ingin kamu saksikan di dunia ini.” Bahwa akan selalu ada musuh dan kaum pencela bagi pejuang passion yang baik. Senjata kita bukanlah melawan dengan tangan besi, melainkan dengan kerja keras tiada henti.
Walaupun saya masih ingin menatap matahari pagi dari ketinggian, bermalam di tepi debur ombak laut selatan, berkendara jauh dari perantauan. Saya pun ingin mencecap halang rintang menemukan dunia yang baru untuk saya, dan mengabadikan jejak langkah menjadi karya-karya sederhana. Bukan karena sesuatu yang baru itu yang saya cari. Melainkan menikmati dan menghargai proses yang akan penuh duri sepanjang perjalanan.
Barangkali, seperti itulah. Tak sekadar menjadi resolusi untuk jangka setahun ke depan, tetapi juga menjadi salah satu resolusi abadi.
Mari, selamat beresolusi, selamat menyongsong tahun baru 2016. Tetaplah berjalan! Teruslah berkarya! (*)
Foto sampul:
Dermaga kayu Pulau Kenawa, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.
Tinggalkan Balasan