Saya terbangun. Mata langsung menatap jam dinding kamar.
Pukul 06.00.
Melihat jarum jam menunjuk lurus angka 12 dan 6, saya tak berteriak histeris. Saya tetap berada di posisi rebah, bergumam sambil tertawa, “Lho… kawanen (kesiangan)…”
Tiga teman yang lain mulai terbangun. Sama-sama sadar, bahwa momen sunrise sudah lewat jauh. Melalui celah-celah ventilasi, dapat terlihat jika pagi sudah terang.
Kami memang bangun pagi, tetapi kurang pagi. Ya sudah, kami segera bergantian mandi dan berkemas. Kami tetap ke Pantai Sanur setelah check-out.
* * *
Pukul 07.30 WITA. Pantai Sanur cukup ramai pagi itu. Seperti Kuta, Sanur juga merupakan pantai sejuta umat. Tak ada retribusi khusus untuk masuk ke kawasan pantai.
Tidak lama kami di sini. Segera kami balik arah, menuju ke selatan Tabanan.
Kami melaju meninggalkan pusat kota Denpasar. Meninggalkan ibukota provinsi.
Setelah hampir 2 jam perjalanan, termasuk sempat tersasar, akhirnya kami sampai di Tanah Lot. Sedikit agak tidak rela, ketika itu kami harus membayar tiket masuk Rp22.000,00 per motor. Namanya juga tak direncanakan dari awal.
Karenanya, sebenarnya agak berat memasuki pantai ini. Tapi, karena sudah telanjur membayar, tetap harus dinikmati.
Tanah Lot pagi itu jauh lebih ramai dibandingkan Sanur.

Ombak sedang pasang, menerjang keras dinding-dinding karang tempat pura-pura itu berdiri. Sehingga pengunjung tidak bisa mendekat ke pura laut -tempat pemujaan dewa-dewa laut- yang termasuk bagian dari Pura Dang Kayangan itu.
Kerasnya ombak ternyata membawa ‘korban’, yaitu kamera poket saya. Sedang asyik memotret Mas Kur berlatar pura, tiba-tiba ombak mengempas karang tempat kami berdiri. Saking kerasnya, air laut pun membuat Mas Kur nyaris basah kuyup. Termasuk kamera poket yang saya pegang. Kamera langsung mendadak mati dalam keadaan lensa terbuka.
Kami segera menjauh dan naik ke atas bukit, di mana kami bisa melihat Pura Karang Bolong di sisi barat. Kami memutuskan untuk santai sejenak, sembari menjemur kamera agar lekas kering. Entah perlakuan darurat semacam itu benar atau salah.
Setelah hampir setengah jam di Tanah Lot, sadar masih ada satu destinasi yang harus dituju, kami segera beranjak. Kami telah sepakat, selambat-lambatnya pukul 16.00 sudah harus dalam perjalanan menuju Gilimanuk. Saya membayangkan rungkupnya hutan Bali Barat seperti saat perjalanan Gilimanuk-Denpasar.
* * *
Kami melaju ke arah utara. Ke Danau Bratan, Bedugul. Jelang kawasan Bedugul, sempat terjadi kemacetan karena sedang ada upacara oleh warga setempat.
Matahari yang bersinar terik di Tanah Lot mendadak menghilang memasuki kawasan Bedugul. Mendung tebal bergelayut, udara dingin khas pegunungan menusuk kulit.
Setelah macet tadi kami terpisah, Mumu dan Mas Kur cukup jauh di depan. Saya dan Rizky yang buta medan tak tahu persis manakah pintu masuk sebenarnya ke danau.
Kami berdua mengikuti jalan beraspal yang berkelok, hingga akhirnya berhenti di sisi utara danau. Sedangkan Mumu dan Mas Kur ternyata berada di barat danau.

Komunikasi terhambat, karena sinyal yang tak stabil. Mas Kur sempat telepon, samar-samar terdengar instruksi untuk segera pergi dari Bedugul.
Saya segera meminta Rizky bersiap. Bergegas balik arah. Namun kami tak menjumpai mereka berdua di pintu masuk sebelah barat. “Mungkin sudah jalan duluan. Lanjut saja, Ky,” pinta saya. Dari sinilah terjadi miskomunikasi.
Saya dan Rizky kembali ke arah Tabanan. Berniat salat terlebih dahulu di masjid tepi jalan raya Tabanan. Berdekatan dengan minimarket tempat kami sempat ngemper saat menuju Denpasar.
Tapi, saya merasakan keanehan. Kami sudah cukup jauh berkendara, tapi tak jua menemui sosok mereka berdua. Tiba-tiba hujan deras pun turun. Menambah dingin udara.
Kami berhenti di pinggir jalan sembari berteduh. Mencoba menghubungi Mas Kur lagi. Ternyata mereka lewat utara, menyisir tepi laut Lovina. Karena saya dan Rizky sudah hampir mencapai Tabanan, saya meminta mereka balik arah dan ketemu di masjid kawasan Tabanan.
Tepat azan Asar berkumandang, akhirnya Mumu dan Mas Kur berhasil menyusul kami di masjid di Tabanan.
“Sebenarnya, lewat utara tadi juga bisa ke Gilimanuk,” kata Mumu.
“Lha, aku gak ngerti, Mu,” terang saya. Saat itu, saya hanya tahu jika hanya ada satu jalur antara Gilimanuk-Denpasar.
* * *
Tepat pukul 16.00, kami ngebut menuju Gilimanuk. Kali ini saya yang mengambil alih kemudi. Saya meyakinkan Rizky untuk bertukar posisi lagi jelang pelabuhan Gilimanuk.
Ternyata, terjadi sesuatu tak terduga. Membuat saya bertingkah seperti orang bodoh dan panik.
Setelah melahap sebuah tikungan jalan raya Tabanan-Negara yang menanjak, ternyata di baliknya berjejer sejumlah polisi lalu lintas. “Waduh, ada operasi!”
Di ujung tikungan, saya langsung mengerem mendadak. Meminta Rizky bertukar posisi. Berharap polisi tak melihat pergantian kami. Meskipun, saya tahu jarak antara kami hanya terpaut sekitar 200 meter.
Kami kembali berjalan dan tetap saja para polisi itu mencegat kami. Seorang polisi dengan lantang mendekat ke arah saya, “Mas yang berjaket merah, coba lihat SIM-nya!”
Ternyata tetap ketahuan. Saya memang berjaket merah selama perjalanan, terlihat paling mencolok dibandingkan ketiga teman yang berjaket hitam.
Belum juga SIM C saya berpindah tangan untuk diperiksa, saya tiba-tiba nyeletuk, “SIM saya sudah lama mati, Pak, hehehe.”
Sejurus kemudian, polisi berpostur tinggi itu menawarkan dua pilihan. Pertama, SIM dan STNK disita dan mengikuti sidang tilang seminggu kemudian di Denpasar. Kedua, sidang di tempat dengan memberi uang tilang langsung kepadanya.
Pilihan sulit. Pilihan pertama jelas sangat tidak mungkin. Pilihan kedua adalah pilihan terbaik saat itu. Dan akhirnya, uang biru bergambar Pura Ulun Danu Bratan dan I Gusti Ngurah Rai kembali melayang dari dompet saya. Total seratus ribu rupiah melayang karena ditilang.
Setelah urusan saya usai, tinggal menunggu Mumu yang berdebat dengan polisi lain. Si bapak polisi bersikukuh menyatakan kedua spion tidak sesuai standar. Spion motor Mumu memang bukan bawaan pabrikan. “Lalu, kalau boleh saya tahu kriteria standar itu seperti apa, Pak? Boleh ditunjukkan undang-undangnya? Kan punya saya lengkap, dua spion,” tegas Mumu. Ah, tampaknya memang dia lebih berpengalaman bergelut soal urusan lalu lintas dan seluk-beluk razia.
Bapak polisi berperut buncit dan berkumis itu terdiam. Dan akhirnya meminta kami meneruskan perjalanan. Kali ini, hanya saya yang uangnya melayang. Sementar Mumu mesam-mesem kepada saya, tanda berhasil meyakinkan polisi.
* * *
Meskipun sempat terhambat razia, kami tidak mengurangi kecepatan. Mengejar waktu. Kami tak ingin lagi melintas hutan Bali Barat dalam gelap.
Memasuki kawasan hutan, Mumu dan Mas Kur melaju lebih kencang. Saya meminta Rizky menambah kecepatan. Tapi segera disanggah, “Gas-e sudah mentok ini, Mas!”
Meskipun belum petang benar, tapi matahari nyaris terhalang meneruskan sinarnya. Hutannya benar-benar rungkup. Mulut saya komat-kamit, Gilimanuk cepatlah muncul!
Ngebutnya kami cukup membuahkan hasil. Tepat pukul 19.00 WITA, usai melewati pos pemeriksaan, kami segera naik kapal feri yang akan segera berangkat.
Kami baru benar-benar lega, ketika kapal feri sudah berlayar. Ketika langit sudah gelap, dan Pulau Bali mulai terlihat samar.
Selanjutnya, tinggal melakoni etape terakhir: Banyuwangi-Malang. Kembali melewati Gunung Gumitir yang gelap dan dingin, yang memisahkan Banyuwangi-Jember.
Istirahat sembari salat Magrib-Isya di masjid Ketapang, ditambah makan di warung depan pelabuhan, membantu kami untuk menghibur diri akan masih jauhnya jarak kepulangan kami.
* * *
Pukul 00.30 WIB. Kami terbangun dari tidur. Sejam memejamkan mata di sebuah SPBU dekat Ambulu, Jember, yang penuh nyamuk cukup untuk memulihkan energi.
Mas Kur giliran menggantikan posisi Mumu sebagai juru kemudi. Sedangkan saya tetap, karena sudah bertukar posisi sejak dari Ketapang.
Perjalanan kami nyaris tanpa henti sepanjang Jember-Lumajang-Probolinggo-Pasuruan. Rasa ingin segera tiba di kos berhasil memacu semangat dan menolak godaan kantuk dan dingin.
Efeknya, kami memasuki wilayah kecamatan Lawang, Kabupaten Malang tepat pada pukul 04.30 WIB. Setengah jam kemudian, kala pagi mulai terang, akhirnya kami tiba di kos masing-masing.
Sementara Rizky hanya tidur sebentar, karena Senin pagi itu dia ada kuliah. Sedangkan tiga penghasutnya lelap tertidur hingga malam.
Saya mau jujur, rasanya saat hendak tidur di atas kasur itu, (maaf) pantat saya seakan lepas dari tubuh. Perasaan yang sama dialami oleh lainnya.
Beginilah yang harus ditebus demi kenekatan dan pembuktian diri dalam sebuah perjalanan. Karenanya, perjalanan ini sulit dilupakan.
Kalau Kawan, pernah senekat apakah perjalanan kalian? (*)
Foto sampul:
Sunrise sudah lewat di Pantai Sanur
Tinggalkan Balasan