Saya belum pernah riset serius sebelumnya. Tentang, berapa persen orang yang pernah bernostalgia tentang perjalanan yang pernah dilaluinya. Sekecil apapun kadar nostalgia tersebut. Tapi, rasanya setiap orang pasti pernah bernostalgia bukan? Walau hanya sekejap, merangkai puing memori yang diingat atau untuk diceritakan kembali.
Termasuk saya.
Nostalgia kali ini termasuk yang paling manis. Walau untuk menuju ‘yang manis’ itu harus ditebus dengan terkurasnya peluh dan letih. Tapi, demi hati yang menjadi sumber niat untuk melangkah. Demi janji dan abdi, yang setinggi apapun dedikasi saya, tak akan pernah mampu membalas impas bahkan melampaui baktinya: Ibu.
* * *
Pos Tretes
Jumat malam itu, 20 Desember 2013, dua sepeda motor berkecepatan tinggi membelah jalan raya Malang-Pasuruan yang tidak terlalu padat. Motor berkapasitas mesin 125 dan 150 cc saling melaju beriringan. Saya, pengemudi motor 125 cc itu, berada di posisi leader bersama Anggrek. Caca yang dibonceng Jeanni, menjaga jarak aman di belakang saya.
Di perempatan pasar buah Pandaan, kami belok ke kiri. Ke arah Tretes/Trawas. Di sebuah minimarket tepi jalan, kami berhenti sejenak. Sekadar menghilangkan dahaga.
“Masih jauh ta, Mas?” tanya Caca. “Tinggal 8 km lagi, kok,” jawab saya. Delapan kilometer lagi menuju Pos Tretes, Prigen, Pasuruan.
Beberapa menit kemudian, kami melanjutkan perjalanan. Setelah kantor Polsek Prigen terdapat percabangan. Kami belok ke kiri, ke arah Tretes.
Kami menuju ke sebuah tempat yang luas, beralas campuran tanah dan makadam, namun agak tersembunyi. Diapit dua hotel besar, Hotel Surya dan Tanjung Plaza. Tempat itu hanya terdiri dari dua bangunan rumah. Satu merupakan tempat tinggal petugas pendakian. Satunya lagi, bangunan berdinding putih, bercat hijau pada pintu dan jendelanya, difungsikan sebagai pos perizinan pendakian.
Pos Tretes, terletak di sekitar 700 meter dari permukaan laut (mdpl). Dari sinilah pendaki memulai langkah menuju dua gunung yang bertetangga: Arjuno dan Welirang. Kami hanya akan ke Arjuno.
Jumat malam hendak purna. Usai memarkir motor dan mengurus perizinan pendakian, kami bergegas istirahat. Menuju ruang kosong yang terletak persis di belakang meja registrasi dan lemari kayu. Di atas lantai ubin, terhampar sebuah karpet hijau yang lembab, tempat kami merebahkan diri. Malam ini Pos Tretes menjadi tempat berlindung untuk semalam. Seperti jadwal piket, kini kamilah yang gantian ‘menjaga’ pos ini. Setelah petugas pamit pulang ke rumahnya.
“Besok kita mulai trekking jam 5 ya, Rek,” pesan saya.
Sarapan di Kokopan
Alarm ponsel saya berdering nyaring. Sudah pukul 03.00. Saya yang terbangun duluan, menyiapkan kompor dan nesting untuk merebus air. Sajian sereal hangat menjadi santapan sebelum trekking.
Waktu Subuh tiba, yang lain mulai terbangun. Kami bergantian salat dan menyeruput sereal yang telah saya buat.
Usai berkemas dan masing-masing sudah siap, pukul 05.00, kami memulai langkah dengan doa selamat yang terucap sebagai pengantar.
Saya berada di depan memimpin rombongan. Rute awal sedikit memutar. Berjalan di atas jalan aspal yang terbentang antara Hotel Surya dan sederetan villa. Setelah melewati gerbang loket wisata air terjun Kakek Bodo, sekaligus sebagai batas vegetasi, hijaunya hutan menyambut kami.
Sekejap, jalan aspal berganti jalan rabat dua lajur yang berliku dan menanjak, dengan rerumputan di tengahnya. Trek awal menuju Shelter I yang dikenal sebagai Pet Bocor ini memang cocok untuk pemanasan.
Karena fisik masih sangat bugar, ritme langkah kami cukup stabil. Hanya 18 menit kami tempuh untuk tiba di warung sederhana, yang menjadi pertanda khas Shelter I. Di seberang warung merupakan tempat berkemah. Ada beberapa tenda pendaki di sana.
Istirahat selama 12 menit kami manfaatkan untuk mengisi ulang persediaan air. Hanya tinggal memasukkan selang ke dalam botol. Selang biru tersebut saling sambung-menyambung, tapi tetap tak dapat membendung berlimpahnya air. Alhasil air tetap muncrat (bocor) melalui satu-dua titik lubang pipa dan selang yang tersambung.
“Lanjut lagi, yuk,” ajak saya.
Kami melanjutkan langkah. Tak lama, jalan rabat ini menemui ujungnya di antara portal dan gardu jaga. Trek berganti makadam tak beraturan yang awalnya landai, lalu seterusnya menanjak berliku. Kami resmi memasuki kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo.
Tahura R. Soerjo sebagai kawasan pelestarian alam ini sangatlah luas. Meliputi kompleks Arjuno-Welirang-Anjasmoro, termasuk di dalamnya hutan Alas Lali Jiwo. Wilayahnya mencakup sebagian Kabupaten Pasuruan, Mojokerto, Jombang, Kota Batu, dan Malang. Selain keindahan alamnya, keberadaan sumber air panas di Cangar, Batu, sebagai gejala alam, menjadi satu kriteria ditetapkannya Tahura di kawasan seluas hampir 27.870 Ha tersebut.
Pagi yang belum terlalu terik memudahkan langkah. Setelah hampir dua jam berjalan, saya yang pertama tiba di Shelter II Kokopan. Selang lima menit kemudian, Anggrek menyusul tiba. Caca, yang membawa beban paling berat, tiba bersama Jeanni sekitar 15 menit kemudian.
Setelah semua lengkap, masing-masing mengeluarkan perlengkapan masak dan makan. Kami berbagi tugas, ada yang mengambil air di sumber Kokopan yang melimpah, menanak nasi, dan merebus sarden kalengan. Nasi sardenlah menu sarapan kami.
Kokopan cukup ramai pagi itu. Seorang warga setempat juga bersiap membuka warungnya. Gorengan dan minuman hangat menjadi menu andalan warung yang hanya buka setiap akhir pekan itu. Sejumlah tenda juga berdiri di atas lahan berbatu. Tempat ini merupakan favorit untuk berkemah, baik saat berangkat maupun pulang. Pemandangannya begitu lepas. Saat malam cerah, kita bisa melihat gemerlapnya lampu perkotaan. Mojokerto, Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya dan panjangnya Jembatan Suramadu.
Seorang pendaki menghampiri kami. Tempat masak kami berada di antara sisi barat warung dan tendanya kelompoknya. “Dari mana, Mas?” sapanya setelah berjabat tangan. “Dari Malang, Mas, hehe,” jawab saya.
Percakapan berlangsung mengalir dan akrab. Topik utamanya Gunung Rinjani, karena saya dan pendaki asal Bojonegoro itu pernah ke sana. “Yang berat itu pas naik dari Segara Anak ke Plawangan Senaru, ya Mas,” katanya. “Hahaha, iya betul! Mau turun ke Senaru kok malah naik dulu ini, hahaha,” jawab saya, sembari mengenang perjalanan ke sana tiga bulan yang lalu.
Asyik mengobrol dan menunggu masakan matang, suara mesin mobil terdengar meraung. Seolah terengah-engah, dua jip tanpa atap mendekat dan parkir di depan warung. Masing-masing diisi seorang sopir dan kernetnya. Mereka berangkat dari Pos Tretes sekitar sejam yang lalu. Berangkat dalam keadaan tanpa muatan, kedua jip tersebut akan mengambil berkarung-karung belerang hasil galian penambang di Shelter III Pondokan.
“Ngopi sek, Rek!” Cetus salah seorang sopir. Mereka sarapan, sembari mendinginkan mesin jip sejenak. Kami pun juga ikut sarapan, dengan menu kami sendiri. Tentu bobot sarapannya lebih berat, karena kami jalan kaki. Sedangkan mereka naik jip.
Menuju Lembah Kijang
Usai sarapan dan berkemas, sekitar pukul 09.50, kami berempat kembali melanjutkan pendakian. Ritme berjalan masih teratur, namun tak secepat sebelumnya. Kini Anggrek dan Caca berada di depan, Jeanni lalu saya menyusul di belakangnya. Trek masih berupa makadam, tapi lebih menanjak dan panjang.
Setelah melewati sebuah gardu kayu di kanan jalur, kami memasuki kawasan Alas Lali Jiwo. Beranjak siang, matahari perlahan terhalang mendung. Hutan yang dibelah jalan makadam selebar jip tadi, berselimut kabut tipis. Suara angin terdengar mendayu-dayu.
Setelah ‘tanjakan setan’ yang sering bikin pendaki mengucap sumpah serapah, trek kembali datar. Dua jip yang berangkat duluan sebelum kami meninggalkan Kokopan, terlihat sudah berjalan turun. Berkilo-kilo belerang dalam karung termuat sesak di bak belakang.
Tak sampai 1 km sebelum Pondokan, hujan tiba-tiba mengguyur deras. Jeanni, yang baru pertama ini menuju Pondokan, sempat bertanya, “Pondokan masih jauh ta, Mas?” Wajahnya tampak letih, tergambar pula dalam langkahnya. Tak hanya dia, yang lainnya, termasuk saya juga menyiratkan raut letih.
Hujan masih turun dengan derasnya hingga kami tiba di Pondokan. Membuat kami menunggu hampir setengah jam di Pondokan. Setelah agak mereda, kami melanjutkan langkah.
Belok ke kiri dari Pondokan, yang merupakan pertigaan utama menuju Welirang atau Arjuno, kami menyusuri jalan setapak tanah dengan semak-semak yang basah di kanan-kiri.
Pukul 15.00, kami tiba di kawasan camp Lembah Kijang. Disambut dengan tergoleknya seekor kijang yang mati mengenaskan dikerubungi lalat, dengan kondisi leher robek menganga. Mungkin diserang predator hutan. Kami tak menyangka masih dapat menjumpai kijang di rimba gunung Arjuno-Alas Lali Jiwo. Kesempatan yang sangat langka. Sayang, sudah dalam keadaan mati.
Kami bergegas mendirikan tenda agak jauh dari bangkai kijang. Dekat dengan aliran sumber air. Beranjak petang, kami segera menyiapkan makan malam. Agar semakin cepat untuk tidur.
Karena esok dinihari, kami harus kembali berjalan. Menuju tanah tertinggi gunung ini.
Summit Attack
Sekitar pukul 02.35, kami mulai berjalan ke puncak. Dengan rasa kantuk yang masih tertahan, kami menyusuri jalan setapak dengan semak-semak basah di kanan-kiri. Tiada bintang terlihat malam itu. Mendung dan kabut tipis menemani perjalanan kami.
Pendakian semakin terasa berat selepas pertigaan jalur puncak Arjuno dan Gunung Kembar. Tak jauh dari pertigaan tersebut, gerimis mulai turun. Trek menanjak di tengah pinus semakin basah, semakin menguras tenaga.
Saya menengadah ke langit. Membiarkan sejenak percikan gerimis membasahi wajah. Membiarkan angin dan kabut tipis membelai rambut. Pendakian ke puncak ini, untuk beberapa jam, memang terasa berat. Lutut dan telapak kaki terasa ditekan begitu hebat. Langkah mulai melambat.
Tetapi, itu belumlah sebanding. Tak akan sebanding.
Ribuan kilo, jalan yang kau tempuh
Lewati rintang, untuk aku anakmu
Ibuku sayang, masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah penuh nanah
Seperti udara, kasih yang engkau berikan
Tak mampu kumembalas, Ibu.
(Iwan Fals, Ibu)
Terus berjalan, vegetasi Alas Lali Jiwo mulai terbuka. Pepohonan cantigi mulai terlihat. Di sebuah jalan sempit, yang terdapat tugu perbatasan Malang-Pasuruan, saya sempat menengok ke belakang. Gunung Welirang tertutup kabut putih.
“Mas, wes nyampe Pasar Dieng ta?” Jeanni kembali bertanya.
“Belum, sebentar lagi. Setelah satu bukit di depan itu,” jawab saya coba menghibur.
Pertanyaan tersebut menyiratkan rasa lelah. Bertanya-tanya, kapankah kami sampai. Begitupun saya, meskipun pendakian ke Arjuno kali ini sudah yang ketiga kalinya. Selalu saja, saat-saat seperti ini, tiba-tiba membayangkan empuknya kasur dan bantal, memeluk guling dan bangun lebih siang.
Tapi kali ini kami rela berjalan sejak pagi buta dan diguyur gerimis. Saya punya senjata menepis kemanjaan itu. Selain mengingat Tuhan, saya juga membayangkan wajah lembut itu. Membiarkan bayangannya terngiang sepanjang jalan.
Ingin kudekat, dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa, baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas, Ibu… Ibu…
(Iwan Fals, Ibu)
Dari Pasar Dieng, merah putih yang bersangga pada tiang besi, terlihat berkibar tegar di atas batu-batu besar. Kami semakin bersemangat. Lima belas menit kemudian, pada pukul 06.45, tibalah kami di Puncak Ogal-Agil. Tanah tertinggi Gunung Arjuno di ketinggian 3.339 mdpl.
Kami berempat, dengan jarak yang berdekatan, merayakan pencapaian puncak ini dengan cara masing-masing. Saya sendiri, mencium sebuah batu besar. lalu bersujud tanda syukur.
Doa Untuk Ibu
Pagi ini, 22 Desember 2013, memang sejak saat kami berangkat, dianugerahi gerimis, kabut dan mendung kelabu. Entah mengapa, di balik raut lelah, justru cuaca yang demikian membuat pendakian ke puncak terasa damai. Momen yang syahdu untuk merenung sejenak.
Seperti Anggrek, ia sempat terduduk diam di atas sebuah batu penyangga tiang bendera. Menghadap Pegunungan Tengger-Semeru yang agung di sisi timur. Tampak sejenak ia merenung di tengah kabut tipis dan gerimis. Dalam hatinya, ia mengingat mendiang ibunya. Mungkin air matanya telah bercampur dengan tetesan gerimis yang membasahi wajah.
Dalam renungan saya, kami tetaplah seorang anak. Yang berusaha sekecil apapun, demi melayangkan doa untuk Ibu lewat langit kelabu. Perjalanan dua hari semalam ini, tak akan impas, bahkan membalas masa sembilan bulan Ibu mengandung kami, hingga bertahun-tahun membesarkan kami.
Sekilas perjalanan ke puncak memang melelahkan sekaligus tampak membanggakan. Tetapi tetap, pencapaian ini merupakan sesuatu yang sederhana. Bukanlah sesuatu yang glamor. Kami mencapainya, merayakannya dengan sederhana.
Kami sanggup menerjang gerimis dan menembus kabut ialah atas izin-Nya. Dan karena bayangan wajah Ibu. Kami semangat melangkah lebih jauh, memasung lelah dari lutut yang merintih meminta istirahat, ialah atas izin-Nya. Dan juga karena sosok Ibu.
Kami hanya berharap, semoga doa untuk Ibu kami masing-masing, sampai kepadanya. Semoga Tuhan tetap membiarkan kami melakukan apapun untuk membahagiakannya. Senantiasa diberi kesehatan, agar kami tak henti membalas budi kebaikan dan kesabarannya, saat dulu pernah disakiti. Membalas kasih sayangnya yang tulus, sejak kami lahir hingga tumbuh dewasa.
…Ibu adalah hati yang rela menerima
selalu disakiti oleh anak-anaknya
penuh maaf dan ampun
kasih sayang Ibu
adalah kilau sinar kegaiban Tuhan
membangkitkan haru insan
dengan kebajikan
ibu mengenalkan aku kepada Tuhan.
(Wiji Thukul, 1986)
(*)
Foto sampul:
Puncak Ogal-Agil, singgasana doa untuk Ibunda
Tinggalkan Balasan