Remuk. Kaku.
Mungkin demikian kata yang cukup tepat. Menggambarkan kondisi tubuh kami ketika bangun dari tidur. Rasanya sehabis bertarung silat dengan tangan kosong, atau bermain sepak bola 90 menit penuh.
“Ayo, ndang (segera) gantian adus (mandi),” kata saya kepada teman-teman.
Dengan mandi, berharap tubuh segar kembali. Sehingga, ada energi baru untuk kembali berjalan. Lalu saya teringat dengan si Neng. “Eh, Mu, jam berapa ketemu sama Neng?”
“Nanti habis magriban katanya. Aku sudah bilang kalau kita mau ke Kuta dulu,” jawab Mumu. “Ketemu di mana?” Lanjut saya lagi.
“Nanti dikabari lagi katanya.”
Ciieee… Sorak siul bersahutan seisi kamar. Tiga pasang mata memandang ke Mumu.”
“Opo seh, rek?” Ia tersipu.
* * *
Sekitar pukul 16.00 WITA, kami meninggalkan hotel. Kembali berkendara menuju Pantai Kuta.
Saya, yang khawatir ditilang lagi, menyerahkan kemudi kepada Rizky. Saya lebih fokus memelototi setiap petunjuk arah ke Pantai Kuta. Beruntung, sejak berangkat dari hotel, lalu lintas saat itu belum terlampau padat. Kami tak perlu panik jika harus belok atau berhenti mendadak.
Lalu lintas baru mulai agak merayap jelang memasuki kawasan Kuta. Mulai banyak bule berseliweran, sebagian menenteng surfboard. Mereka tentu sejak jauh hari merencanakan berselancar di Bali, sedangkan kami? Kuartet nekat yang tahu-tahu berangkat begitu saja!
Tahu-tahu sudah sampai Kuta.
Karena jalan yang sempit dan macet, kami memilih memarkirkan motor di depan sebuah toko. Selanjutnya, jalan kaki kurang lebih 100 meter ke pantai.

Pantai Kuta adalah pantai sejuta umat. Tak ada retribusi apapun untuk menikmati seisinya. Kecuali, tentu, bagi yang ingin menyewa papan seluncur untuk surfing, membeli makanan dan minuman serta suvenir dari pedagang asongan.
Melihat matahari yang sudah mulai menghangat, kami bersiap-siap. Maksud saya, bersiap-siap untuk duduk santai, menunggu matahari terbenam.
Bekal dokumentasi saat itu hanyalah ponsel dan sebuah kamera poket murah yang saya bawa. Karena belum ada tripod dan belum zamannya menyorongkan tangan dan kamera untuk selfie, kamera saya letakkan di atas pasir. Lalu di-timer. Hasilnya seperti foto pertama dalam tulisan ini.
Ya, itulah kuartet nekat akibat gejolak darah muda.
Saya jadi teringat masa enam tahun lalu, setelah lulus SMP. Hampir seluruh murid kelas III yang kelar ujian nasional, bertamasya ke Bali selama 4 hari 3 malam. Salah satu tujuannya, ya Pantai Kuta ini.
Jika dulu tinggal enaknya saja duduk di dalam bus dalam perjalanan Sidoarjo-Denpasar, saat ke sini kemarin kami berempat juga sama-sama duduk. Bedanya, tanpa perlindungan dan harus melek selama perjalanan. Benar-benar jauh lebih prihatin.
Namun, yang dinantikan dari Kuta baik saat enam tahun lalu maupun sekarang tetap sama.
Perlahan matahari kian mendekati batas cakrawala. Tak hanya kami, hampir seluruh pelancong tanpa pandang asal daerah, berduyun-duyun menghadap ke arah yang sama.

Melihat senja yang demikian, saya harus mengakui, jika letih sedari perjalanan panjang kemarin hilang. Mungkin melalui senja ini, Tuhan seolah berkata: nikmati dan syukurilah perjalananmu…
* * *
Rona jingga kemerahan masih terlihat mengisi sedikit ruang di langit, ketika kami meninggalkan Pantai Kuta. Kembali kami mengandalkan penunjuk arah untuk kembali ke arah yang sama saat berangkat.
Sebelum salat Magrib, kami memutuskan untuk belanja oleh-oleh dulu di outlet Krisna Bali, Jalan Nusa Indah. Hampir dari kami memiliki pilihan utama yang harus dibeli: kaos.
Meskipun di toko ini harga tidak bisa ditawar, saya merasa masih terjangkau di dompet. Jelas lebih murah dari Joger, tapi dengan kualitas yang relatif tak jauh beda.
Puas mendapatkan buruan masing-masing, kami segera menuju sebuah masjid tak jauh dari Jalan Nusa Indah. Sudah memasuki perkampungan. Kami salat Magrib di sana.
Setelah salat dan mendapatkan kepastian lokasi pertemuan dengan Neng, kami segera meluncur. Dengan sepeda motor tentu, bukan dengan papan seluncur.
Berbekal panduan GPS offline dari Mumu, ia mengambil alih posisi leader. Cepat sekali ia, semangat sekali. “Wah, semangatnya yang mau ketemu sama Neng,” bisik saya pada Rizky. Kami tertawa kecil.
Lalu Mumu berbelok ke halaman sebuah rumah makan. Saya mengikutinya. Dan kami memarkirkan motor dengan rapi sesuai arahan juru parkir.
Di dalam, sudah menunggu Neng dan lengkap dengan keluarganya. Kedua orang tua dan adik kandung perempuan turut menyambut kami. Neng tampaknya sudah sembuh.
Di meja, terhampar hidangan beraneka rupa. Yang jelas, kami berempat tak memiliki anggaran untuk makan sebesar ini.
Kami jadi sungkan. Apalagi Mumu, tiba-tiba salah tingkah. Saya, Rizky, dan Mas Kur tak henti-hentinya menggodanya.
“Ngobrol lah Mu, ngobrol,” bisik saya sambil menyenggol tangannya.
“Opo seh, rek,” jawabnya sambil mengunyah makanan. Neng dan orang tuanya hanya mesam-mesem melihat tingkah kami.
Namun, suasana makan malam saat itu berlangsung hangat. Kami sebagai teman sekampus, seorganisasi, merasa senang dengan kesembuhannya. Neng adalah seorang perempuan yang energik, penuh semangat tanpa kenal lelah. Dan kelelahan itu pula yang membuatnya harus istirahat beberapa hari.
Pulang sejenak ke rumah, tentu akan memberinya lebih dari sekadar sembuh. Tetapi juga kelapangan hati dan semangat yang berlipat.
Dan bagi kami, yang merupakan kuartet nekat dari pulau seberang, yang perhatian dan sensitif akan keuangan; hikmah pertemuan malam itu adalah kami mendapatkan makan malam gratis.
* * *
Malam belum terlalu larut sebenarnya, tapi kami sudah beranjak pulang ke hotel. Ingin segera bertemu dan mencumbu kasur.
Sebelum tidur, kami sudah nyicil berkemas. Agar esok pagi sekalian check-out.
“Besok budal (berangkat) jam piro (berapa)?” tanya Mas Kur.
“Ya, jam-jam setengah limalah, setelah salat Subuh,” jawab saya, “biar bisa lihat sunrise di Sanur dulu.”
Kami sepakat. Lalu masing-masing sudah bersiap akan tidur. Bayang-bayang indahnya sunrise di Sanur terbawa hingga mata benar-benar terlelap.
Besok kami harus bangun pagi.
Foto sampul:
Kuartet nekat di Pantai Kuta, Bali
Tinggalkan Balasan