Selat Bali tak terlalu berombak saat itu. Penyeberangan berjalan normal. Tepat satu jam, pukul 05.00 WITA, kapal feri yang kami tumpangi merapat di Pelabuhan Gilimanuk, Jembrana.
Rahajeng rauh ring Bali…
Kami keluar kapal nyaris tanpa kendala berarti. Hanya masalah kecil, kala Mumu tertahan di pos pemeriksaan di pintu keluar. Sebabnya, dia tidak membawa KTP asli yang masih dalam proses perpanjangan di kampung halamannya. Seingat saya, dia hanya membawa lembaran fotokopian. Pengganti KTP sementara.
Padahal dia sudah punya SIM C. Tapi bapak polisi yang memeriksa masih bersikukuh Mumu tak boleh melanjutkan perjalanan.
“Tolonglah, Pak. Kami mau jenguk teman kuliah yang lagi sakit di rumahnya.” Mumu berusaha merayu.
Bapak polisi masih kurang percaya, “Di mana rumahnya?”
“Denpasar, Pak. Tolonglah, Pak.” Mumu memohon. Saya dan Rizky yang berada di belakangnya hanya diam melihat. Tak lama, saya melihat Mumu mengeluarkan selembar uang Rp20.000,00 kepada bapak polisi itu.
Tak lama, kami diperbolehkan melanjutkan perjalanan.
Kami meninggalkan Gilimanuk, dan memasuki kawasan hutan Taman Nasional Bali Barat yang gulita. Beberapa hari sebelum touring, kami sempat membaca berita perampasan motor di hutan ini, sebelum memasuki wilayah Negara.
Rasa was-was dan waspada menyelimuti. Khawatir jika tiba-tiba segerombolan orang muncul dari balik semak-semak. Jalan aspal yang penuh tikungan dan mulus ini tak cukup menghibur. Masih mending jika sekelompok hewan yang lewat, asal bukan hewan karnivora saja, begitu pikir saya waktu itu.
“Loh, kok Mumu tambah cepat nyetirnya!” Seru saya pada Rizky dan keheningan jalan. Tiba-tiba di depan, Mumu mempercepat laju motornya. Dan cepat menghilang dari pandangan. Rizky juga terkejut. Seruan saya tadi sekaligus kode bagi Rizky untuk ikut menambah kecepatan.
Sinar lampu motor terang-benderang menerangi jalanan. Serta menyorot pepohonan hutan Bali Barat yang nyaris rungkup. Kami bagaikan memasuki lorong kegelapan yang seolah nyaris tak berujung.
Saya hanya komat-kamit. Merapal berbagai macam doa demi keselamatan. Sempat tenang, hati mendadak kembali was-was ketika suara motor terdengar mendekat. Arahnya dari belakang kami.
Saya tak berani menoleh ke belakang. Saya hanya melihat lewat pantulan spion. Motor di belakang kami, hanya terlihat lampu depannya yang sorotnya kecil sekali. Saya menepuk pundak Rizky, memberi isyarat untuk ngebut, “Cepet, Ky! Gas pol!”
Tapi motor di belakang itu tampaknya mampu menyusul kami. Mendekat, semakin mendekat. Saya merasakan motor itu mendahului kami dari sisi kanan dengan cepat.
Jantung berdegup semakin kencang. Mulut komat-kamit semakin keras. Saya hanya bisa menatap lurus ke depan. Tak ada daya menoleh ke kanan.
Werr…
Ah!
Ternyata hanya tukang sayur! Fiuh, lega rasanya ketika mendapati fakta bahwa pengendara motor itu adalah orang setempat. Yang membawa banyak sayur-mayur untuk dijual di pasar.
Tapi Mumu tetap tak terlihat. Beruntung, kami melihat ada SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) di kiri jalan. Saya meminta Rizky untuk masuk dan melihat kemungkinan ada tempat untuk salat Subuh di dalamnya.
Ternyata Mumu dan Mas Kur juga berhenti di pom bensin. Mereka pun sudah mengecek kondisi musala di pom tersebut. “Meragukan, ada anjing di depannya,” jelas Mas Kur.
“Ya sudah, lanjut saja sampai ketemu masjid,” saya mengusulkan. Kami berempat kembali berjalan beriringan.
Akhirnya, setelah 20 menit berkendara dari Gilimanuk, kami menjumpai masjid besar di kanan jalan. Sudah masuk awal wilayah Negara, ibu kota Kabupaten Jembrana. Pagi itu mulai terang, warga sudah bergeliat memulai harinya. Ada yang ke sekolah, bekerja, berkebun, hingga yang baru pulang dari masjid.
Saat di masjid, saya sempat bertanya kepada Mumu, “Polisi di Gilimanuk tadi kok mau dikasih 20 ribu, Mu?”
“Iya. Katanya lumayan buat beli rokok sama minum, hahaha.” Saya ikut tertawa. Lalu saya bertanya lagi, “Kenapa tadi pas di hutan jalannya tiba-tiba cepat? Rizky gak bisa nututi motormu, Bro.”
Mumu hanya terkekeh, mulutnya tersenyum lebar, “Aku juga takut, Bro!” Kami tertawa keras. Segitu takutnya kami dengan kondisi jalanan di tengah hutan tadi. Dan pengendara motor yang ternyata tukang sayur.
Seusai salat saya kembali berdoa memohon keselamatan untuk perjalanan kami. Kali ini lebih sungguh-sungguh.
* * *
Pukul 06.30 WITA, kami kembali melanjutkan perjalanan. Jujur, saya sudah agak mengantuk. Berulang kali menguap. Namun, pemandangan pantai dengan ombak yang berdebur di sepanjang Negara-Tabanan menjadi penghibur. Penghapus kantuk.
Saya mengingatkan Rizky untuk tetap hati-hati. Jarak 134 km antara Gilimanuk-Denpasar terkenal dengan jalur tengkorak. Tak sedikit jalan yang menikung tajam, menanjak, dan sempit. Terlebih, jalan ini menjadi penghubung utama. Bus antarprovinsi, truk ekspedisi, mobil pribadi, ditambah warga setempat menggunakan jalan ini.
(Maaf) pantat saya terasa panas ketika memasuki Tabanan. Kabupaten yang dianugerahi topografi beragam, mulai dari dataran rendah hingga pegunungan. Karenanya dikenal sebagai daerah agraris.
Ingin mengistirahatkan diri sejenak, kami berempat berhenti di sebuah minimarket di kiri jalan. Tak hanya istirahat ngemper, tetapi juga membeli sejumlah roti dan minuman untuk mengganjal perut. Seperti foto di awal tulisan ini, begitulah rupa kami saat ngemper. Seperti orang hilang.
Saya kembali memandang lalu-lalang di depan. Tak menyangka rasanya. Padahal kemarin sore masih rapat di kampus.
Setelah hampir 15 menit ngemper, kami segera beranjak. “Jalan lagi, yuk,” kata saya.
* * *
Tinggal sekitar 26 km lagi menuju kota Denpasar. Setelah Tabanan, kami harus melewati Kabupaten Badung terlebih dahulu.
Sepanjang Badung-Denpasar, lalu lintas mulai agak padat. Cukup banyak kendaraan yang menuju pusat ibukota provinsi. Saya sempat berpikir, motor kami sama-sama berplat nomor W. Menyeruak di antara kepadatan lalu lintas, yang penggunanya dominan berplat nomor DK.
Sementara pengendara motor lainnya saya lihat masih nampak segar pagi itu. Kami berempat sudah kuyu, rasanya ingin segera mencari penginapan dan tidur puas.
Lewat SMS, Sasanti, teman sekelas saya yang berdomisili di Denpasar, tak hafal hotel-hotel kelas melati di pusat kota. Ia hanya memberikan arahan berupa nama jalan yang harus dituju. “Coba ke arah Renon atau sekitar Jalan Diponegoro.”
Nah, di manakah lokasi Jalan Diponegoro?
Setelah memasuki pusat kota, kami coba berjalan ke arah Renon. Saat itu kami hanya berbekal GPS offline di ponsel Mumu. Namun, tetap saja, lebih dari tiga kali kami harus bertanya kepada penduduk setempat, di manakah Jalan Diponegoro itu.
Sekitar pukul 09.30 WITA, kami menemukan satu hotel di sisi kiri Jalan Diponegoro. Hotel Viking, hotel kelas melati berwarna dominan coklat dan krem. Bernuansa khas Bali.
Kami melihat daftar harga kamar. Mencari opsi terbaik dan termurah. Tak lama, kami sepakat dengan tipe kamar seharga Rp150.000,00 yang bisa diisi berempat. Fasilitas yang diberikan sudah sangat cukup: double bed, kipas angin, televisi, dan kamar mandi. Proses check in yang tidak terlalu lama, hanya meninggalkan KTP sebagai jaminan. Sepeda motor kami pun diperbolehkan parkir tepat di depan kamar.
Ketika memasuki kamar, melihat kasur, kami berempat sama-sama menghela napas lega. Akhirnya, akhirnya. Setelah hampir 17 jam perjalanan darat, yang membuat (maaf) pantat terasa kempis, akhirnya kami bisa merebahkan diri di atas kasur.
Bruk! Tak terlalu empuk, tapi lebih dari cukup untuk membuat mata segera terlelap.
“Turu, sek! Mengko sore nang Kuta! -tidur dulu! Nanti sore ke Pantai Kuta!”
Foto sampul:
Ngemper sejenak di teras minimarket di Tabanan, Bali.
Tinggalkan Balasan