Pertengahan April 2013 kala itu. Dihasilkan sebuah keputusan yang saya buat. Menebus dua lembar tiket promo pesawat pulang-pergi seharga Rp400.000,00. Untuk keberangkatan dan kepulangan di awal September 2013.
Pintu menuju sebuah perjalanan dan pengalaman. Cukup duduk manis dalam sebuah burung besi menuju pulau seberang. Tak harus berlayar dengan pinisi, demi sepekan menjelajah Sulawesi Selatan, bumi kelahiran nenek moyang sang pelaut yang kondang.
Hari Pertama, Tiba di Makassar
Setibanya di Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, sekitar pukul 19.00 WITA, saya nebeng seorang penumpang asal Takalar yang dijemput kerabatnya, ke pusat kota. Persis sebelum Lapangan Karebosi. Salamakki Battu Ri Mangkasara!
Dari sana, saya dijemput Om Ridho, anggota komunitas Makassar Backpacker, menuju rumahnya. Baru saja menaruh barang dan cuci muka, bersama dua kawannya sekomunitas, saya diajak makan mi di Depot Mie Anto, Jl. Lombok, Makassar. Tantangannya satu: Jangan sampai belepotan karena tidak disediakan tisu!
Hari Kedua, Jelajah Kota
Berdasarkan petunjuk rute pete-pete (angkutan kota) dari Om Ridho, saya memulai jelajah kota di hari kedua. Kompleks istana Tamalate dan Museum Balla Lompoa, jejak kejayaan Kerajaan Gowa, menjadi tujuan pertama.
Dari Gowa, saya kembali naik pete-pete ke Makassar. Menuju Fort Rotterdam. Benteng berbentuk kura-kura jika dilihat dari udara ini, bernama asli Ujung Pandang. Peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Terdapat bastion-bastion, bekas tahanan Pangeran Diponegoro dan Museum La Galigo di dalamnya. Sempat diserahkan ke Belanda pada masa kolonial lewat Perjanjian Bungaya (dan berubah namanya).
Dari Fort Rotterdam, saya berjalan kaki melintasi Jalan Somba Opu sejauh 3 km menuju Pantai Losari. Di anjungan pantai yang luas dan terik kala siang ini, terdapat masjid apung bernama Amirul Mukminin.
Atraksi utama di Pantai Losari sebenarnya adalah matahari terbenam (sunset). Belum sah rasanya apabila berkunjung ke Makassar tanpa menikmati sunset Losari. Apalagi ditambah kuliner coto Makassar, pallubasa, camilan pisang eppe dan es pisang ijo yang mudah didapat di sekitar Losari.
Hari Ketiga, Berangkat ke Rantepao
Di hari ketiga, saya bertemu rombongan komunitas Backpacker Koprol. Dari sinilah saya mulai mengenal Mbak Noe, blogger asal Serang yang akrab sampai sekarang. Dan dengan rombongan ini pula kami jalan bareng selama di Sulawesi Selatan. Berkat mereka, saya bisa menekan pengeluaran, khususnya di aspek transportasi.
Setelah jelajah kota ke Istana Tamalate, Fort Rotterdam, dan kembali menikmati sunset di Pantai Losari; sekitar pukul 19.00, kami menyewa satu pete-pete ke kantor perwakilan bus malam New Liman di Jl. Urip Sumoharjo, yang tiketnya sudah dibeli siang setibanya Mbak Noe dan rombongan di Makassar. Saat itu harga tiket eksekutif Rp125.000,00 sekali jalan. Sejam kemudian, bus berangkat menuju Rantepao, ibukota Kabupaten Toraja Utara yang memakan waktu kurang lebih 9 jam perjalanan.
Hari Keempat, Jelajah Toraja
Subuh, kami tiba di kantor perwakilan bus New Liman di Rantepao. Tur jelajah Toraja baru dimulai sekitar pukul 08.00 WITA dengan menyewa satu mobil plus sopir, seharga Rp350.000,00 saat itu. Tujuan tur antara lain Kete Kesu, Londa, Lemo, Baby Grave, dan Suaya. Mayoritas merupakan situs pemakaman khas Toraja, yang dijadikan obyek wisata.
Di Rantepao, terdapat warung makan halal berada di sebelah masjid besar Rantepao. Tentu keberadaan warung halal ini membantu bagi wisatawan muslim seperti kami.
Karena keterbatasan waktu dan menghemat pengeluaran untuk menginap, malam itu juga kami kembali naik bus New Liman dari Rantepao.
Hari Kelima, Jelajah Maros
Tepat saat salat Subuh, kami tiba di pertigaan jalan poros Maros, di depan jalur masuk Pabrik Semen Bosowa. Usai salat, kami bertemu dengan Pak Amirullah dan putranya, Om Iwan, pemilik perahu, yang akan mengantarkan kami ke Rammang-rammang. Harga sewa perahu saat itu Rp200.000,00 pulang-pergi.
Dengan pemandu lokal, Adang dan adiknya, kami ditemani menjelajah dusun Berua, Rammang-rammang, salah satu kawasan karst terbesar di dunia selain Tiongkok.
Usai jelajah karst, kami menyewa pete-pete menuju kompleks Leang-leang, gua-gua yang pernah didiami manusia purba. Di sana terdapat leang yang terbesar, yaitu Leang Pattekere dan Leang Pettae.
Jelajah Maros hari itu berakhir di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, habitat berbagai jenis kupu-kupu. Karenanya dikenal sebagai kingdom of butterfly. Selain itu, daya tarik utama di taman nasional ini adalah air terjun Bantimurung yang besar dan berdebit cukup deras.
Hari Keenam dan Ketujuh, Jelajah Tanjung Bira
Di hari keenam, kami menyewa mobil dan ditemani Om Ridho sebagai pemandu menuju Pantai Tanjung Bira, Bulukumba. Kabupaten yang juga dikenal penghasil kapal pinisi terbaik. Kami tiba di Tanjung Bira tepat saat sunset dan menginap semalam.
Esoknya, kami diajak ke Pantai Bara yang sepi. Kami masuk melalui jalan kecil di dalam sebuah resort. Pantai ini berpasir putih dan laut bergradasi cantik seperti Tanjung Bira. Ombaknya relatif tenang, sehingga cocok untuk berbasah ria.
Sebelum kembali ke Makassar, kami sempat menikmati Tanjung Bira sejenak dari kawasan resort Tanjung Bira View Inn. Dan Tanjung Bira ini merupakan destinasi pamungkas bagi saya, sebelum di hari kedelapan saya pulang ke Surabaya.
* * *
Begitulah perjalanan saya selama sepekan menjelajah Sulawesi Selatan. Terasa singkat. Ingin rasanya suatu saat kembali ke Sulawesi Selatan, dengan misi menjejakkan kaki di atap-atap tertingginya.
Di dalam pesawat, saat pulang, saya terngiang dengan janji adik Adang kepada saya, “Kalau kembali ke sini, kabari, Kak. Saya siap menemani mendaki ke Bawakaraeng, Lompobattang, dan Latimojong!”
Jika begitu, saya akan kembali ke sana untuk setidaknya sepekan lagi. Atau mungkin sebulan? Bagaimana, kawan, tertarik ikutan?
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog “Blog Competition #TravelNBlog 5: Jelajah Sulsel“ yang diselenggarakan oleh @TravelNBlogID.
Foto sampul:
Memandang langit sore, dalam penerbangan Surabaya-Makassar.
Tinggalkan Balasan