Ketika umumnya setelah makan malam lanjut tidur, tidak bagi yang tengah berada dalam sebuah perjalanan. Seperti kami, makan malam menjadi energi baru. Energi tambahan untuk melanjutkan perjalanan. Wajah pun lebih segar setelah salat Isya seusai makan nasi goreng.
Teringat dengan pemeriksaan kelengkapan administrasi seperti KTP, STNK, dan SIM di kedua pelabuhan nantinya, saya berkata kepada Rizky, “Ky, nanti sebelum pelabuhan Ketapang gantian awakmu yang nyetir ya. SIM C-ku kan mati, hehehe.”
“Hahaha, oke Mas.”
* * *
Kami kembali melanjutkan perjalanan. Meninggalkan kawasan terminal Tawang Alun, melintasi perempatan Mangli. Tak lama, kami memasuki pusat kota. Denyut kota Jember masih hidup malam itu. Kami melintasi alun-alun kota yang masih diramaikan sejumlah orang maupun kelompok. Seperti komunitas-komunitas yang memajang motor-motor anggotanya di tepi trotoar.
Kami tak berhenti di sini, selain karena kami cuma berempat dengan dua motor. Tak mungkin berhenti memajang motor bebek, yang kalah gahar dengan motor-motor kopling bermesin di atas 150 cc semua itu.
Ke arah Banyuwangi, kami melaju. Cepat saja kami meninggalkan pusat kota. Yang sebenarnya menggoda untuk disinggahi dan melewatkan malam hingga larut. Namun, masih ada sekitar 120 km lagi menuju Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.
Selepas terminal Pakusari, saya sebenarnya bisa menghitung jumlah kendaraan yang searah atau berlawanan arah. Situasi yang cukup menguntungkan bagi saya yang lampu sein motornya mati. Tak perlu terlalu banyak memberikan kode lewat Rizky ketika hendak berpindah lajur.
Jalan raya Jember-Banyuwangi yang membelah kawasan Sempolan, hingga Garahan -yang mulai banyak terdapat vegetasi hutan pinus-, perlahan menaik. Warung-warung di tepi jalan Garahan sudah tutup. Suasana terasa remang, udara mulai menusuk kulit.
Situasi yang pantas. Karena selepas gapura selamat jalan, jalan sempit penuh tikungan tajam sepanjang delapan kilometer sudah menyambut kami. Satu-satunya jalan raya penghubung Kabupaten Jember dan Banyuwangi. Membelah lereng curam Gunung Gumitir yang gelap tanpa penerangan jalan satu pun. Hanya sorot lampu dari pengguna jalan yang menjadi penerang.
Dengan hati-hati kami melibas tikungan demi tikungan. Yang sebenarnya cukup membuat berdebar ada apakah di balik tikungan itu. Kami bahkan nyaris kaget dan was-was ketika ada sorot lampu kecil hampir di setiap ujung tikungan yang tajam. Bergerak-gerak, ke kanan-kiri, naik-turun. Jika pemilik sumber cahaya itu kawanan begal, habis sudah.
Tapi, ia tak bergeming ketika kami mendekat. Ia tetap menyorotkan sinar lampu yang ternyata senter. Ke kanan-kiri, naik-turun.
Saya menurunkan kecepatan. Membuka kaca helm. Memicingkan mata ke arahnya. Ia hanya melihat kami. Saya kemudian sadar, dan kembali tenang. “Oalah, tukang penunjuk jalan, Ky,” kata saya kepada Rizky. Dia ikut lega, “Oalah, tak kiro begal, Mas.” Kami sama-sama terkekeh.
Cukup banyak tukang penunjuk jalan (awe-awe dalam bahasa Jawa) yang kami lihat malam itu. Keberadaan mereka sebenarnya sangat membantu pengguna jalan, khususnya pengemudi kendaraan berat seperti truk atau bus. Hanya, terkadang mereka mengharapkan imbalan sukarela dari para pelintas. Tak hanya kaum lelaki dari segala usia, kaum perempuan dari segala usia pun rela menjadi penunjuk jalan.
Tapi saya tak sempat memberinya uang receh. “Pas baliknya aja ya kita kasih,” usul saya. Rizky mengiyakan.
Kami semakin lega, ketika di depan kami truk pengangkut bahan bakar yang melaju pelan. Dibuntuti sejumlah kendaraan kecil di belakangnya. Menanti kesempatan yang tepat untuk mendahului.
Selepas kawasan Watu Gudang yang merupakan puncak jalan tertinggi, jalan terus melandai. Namun kami tetap waspada, tak tergoda memacu motor lebih cepat.
Patung gandrung yang berdiri di sisi kiri jalan menandakan kami memasuki kecamatan Kalibaru, Banyuwangi. Vegetasi hutan dan kopi mulai berkurang. Seiring dengan jalan raya yang kembali datar, permukiman mulai terlihat. Penerangan jalan mulai memadai. Walau penghuninya sudah terlelap. Di Kalibaru inilah, pendakian ke puncak sejati Gunung Raung bermula.
Saya kembali menggeber gas, menambah kecepatan. Menyesuaikan kecepatan motor yang dikemudikan Mumu.
Sekitar pukul 00.30, kami pindah lajur ke kanan. Berhenti di bahu jalan yang berkerikil. Tak ada alasan penting, hanya sekadar berfoto di depan kantor kecamatan Glenmore. Kecamatan ini terkenal dengan industri kue pia-nya. Pia Glenmore.
Dalam istirahat yang sebentar ini, tak satu pun pengendara yang terlihat kecuali kami.
Tak sampai lima menit, kami kembali melanjutkan perjalanan. Melewati kecamatan per kecamatan yang terasa panjang. Kalibaru, Glenmore, Genteng, Singojuruh. Di pertigaan besar pusat kecamatan Rogojampi, kami belok kiri ke arah kota Banyuwangi. Masih ada kecamatan Klabat sebelum pusat kota. Ah, Banyuwangi begitu luas. Belum sisi kecamatan yang lain. Merentang dari lereng gunung tertinggi, Raung-Merapi-Ijen, hingga pesisir yang menghadap dua lautan: Samudra Hindia dan Selat Bali.
* * *
Setelah kurang lebih tiga jam perjalanan, pukul 02.00, kami tiba di Pelabuhan Ketapang. Gerbang utama menuju Pulau Bali lewat laut.
Dan saya masih berada di posisi pemegang kemudi. Dan saya lupa bertukar posisi dengan Rizky.
Di loket yang sekaligus menjadi pos pemeriksaan, kami berhenti. Sementara sejumlah polisi memeriksa sepeda motor dan tas kami, seorang di antaranya memeriksa kelengkapan administrasi.
Ia memandang SIM C saya begitu lama. Keteledoran saya berbalas. “Wah, lha ini SIM C-nya sudah mati dua bulan gini, Mas!”
“Iya, Pak, saya lupa memperpanjang.” Kilah saya sambil senyum mesam-mesem.
Selembar uang berwarna dominan biru, bergambar wajah I Gusti Ngurah Rai dan Pura Ulun Danu Bratan pun melayang. Berpindah tangan. Uang saku saya resmi berkurang signifikan.
Sepertinya saya harus merevisi anggaran belanja oleh-oleh di Bali nanti.
Foto sampul:
Istirahat sejenak di depan kantor kecamatan Glenmore
Tinggalkan Balasan