Truk, bus, mobil pribadi, dan sepeda motor berbagai jenis sudah terparkir rapi. Pintu rampa kapal feri diangkat naik. Menutup rapat geladak bawah yang sarat muatan. Mesin kapal yang sudah hidup, terdengar semakin keras. Tanda feri sudah siap berlayar, tepat pukul 03.00 WIB.
Kami berempat segera mencari tempat duduk. Dengan alasan ingin menikmati angin Selat Bali, kami memilih duduk di dek atas. Menanti waktu tempuh satu jam menuju Gilimanuk. Selang waktu yang juga saya gunakan untuk merenung. Menertawakan diri akan keputusan yang diambil sekitar 12 jam yang lalu.
Dua belas jam ke belakang, yang terjadi akibat gejolak darah muda. Ternyata begini, masa mahasiswa penuh hasrat dan nekat.
* * *
Sore itu, sekitar pukul 15.30, rapat kepanitiaan di departemen organisasi yang saya ikuti sudah berakhir. Merapatkan koordinasi dan mematangkan persiapan acara international working camp, yang akan digelar 3 bulan lagi, di pertengahan Juli 2012.
Saya, Mumu, dan Mas Kur yang juga terlibat dalam kepanitiaan ini, duduk merapat. Berdiskusi tentang rencana nekat kami. Ini semua berawal dari rencana Mumu, yang berkeinginan keras mengajak saya dan Mas Kur menjenguk teman seorganisasi: panggil saja Neng. Neng sedang sakit dan terpaksa pulang kampung. Saat itu, lelaki ceking asal Kota Pudak itu memang sedang kesengsem sama Neng.
“Kita kurang 1 orang lagi, bro, biar lengkap kalau naik motor,” kata Mumu. Hening sesaat. Mata kami bertiga menyelidik ke penjuru ruangan. Mencari ‘mangsa’, yang cocok dan mau diajak touring motor. Bola mata berhenti ke satu arah. Ke sosok lelaki yang termasuk anggota baru di organisasi ini. Anggota baru yang memiliki kinerja bagus sebagai seorang koordinator divisi perlengkapan dan transportasi. Sampai sekarang masih aktif membina pramuka di bekas SMA-nya, di Jombang. Alasan bagus untuk diajak bepergian.
Ngajak Rizky piye? bisik saya ke Mumu. Belum ada anggukan tanda setuju, ia langsung mendekat ke Rizky dan menebarkan ajakan yang bersifat rayuan.
“Ky, ikut touring yuk?” ajak Mumu. “Ke mana, Mas?” Rizky agak terkejut tiba-tiba akan diajak bepergian.
“Ke Denpasar, hehehe,” jawab Mumu sambil tersenyum lebar. Saya dan Mas Kur ikut mendekat, dan tersenyum manis dengan sepasang alis yang naik-turun. Tiga lelaki yang sama-sama koplak ini sedang bersemangat sekali mengeluarkan jurus rayuan.
Rizky kembali kaget. Lebih kaget dari sebelumnya. Dipikirnya hanya diajak touring ke sekitar Malang Raya saja. “Kapan Mas?” Ia coba memastikan. Sepertinya mulai ada minat dengan ajakan Mumu. Duduknya bergeser sedikit, berhadap-hadapan dengan Mumu.
Sebelum menjawab, Mumu menyiapkan senyum yang lebih lebar. Menampakkan giginya, “Sekarang juga!” Rizky kaget, duduknya nyaris terjengkang ke belakang saking terkejutnya. Mulutnya melongo, matanya menatap kami bertiga satu per satu tanda tak percaya.
“Tenane, Mas? -Sungguhan, Mas?” Ia kembali meminta kesungguhan ajakan kami. Kami hanya cukup menjawabnya dengan anggukan yang keras berulang-ulang.
Kembali hening sesaat.
Tapi, ternyata tak sampai belasan menit bagi Rizky untuk mengiyakan ajakan kami. Kami bertiga sudah siap bekal sedari sebelum berangkat, tinggal Rizky yang belum. “Jadi sekarang kita ke kosmu dulu, siap-siaplah dulu, bawa barang seperlunya saja. Gimana?” Mumu memberikan arahan. Berangkat!
* * *
Pukul 17.00, kami berempat, di atas dua motor 4-tak bermesin 125cc sudah melaju meninggalkan Kota Malang yang mulai mendung.
Lalu lintas cukup padat sepanjang Singosari-Lawang. Begitu pun arah sebaliknya. Maklum hari Jumat. Esok sudah akhir pekan, dan menjadi pemandangan umum banyak orang berekreasi ke Malang-Batu, atau ke Surabaya.
Rintik gerimis mulai turun selepas pertigaan Purwosari, Pasuruan. Saya, yang dibonceng Rizky, segera mendekatkan laju motor ke samping Mumu dan Mas Kur. Kami melambatkan kecepatan, lalu berhenti sejenak di pinggir jalan.
“Lanjut atau pakai jas hujan dulu?” tanya saya.
Mumu menjawab, “Lanjut saja, nanti berhenti sekalian salat Magrib.” Kami kembali melanjutkan perjalanan.
Beruntung, gerimis tak berlanjut hujan deras ketika kami memasuki pelataran Masjid Besar Baiturrochman, seberang Pasar Wonorejo, Pasuruan. Salat Magrib berjamaah baru saja usai. Seiring dengan rintik gerimis yang mereda, kami bergegas salat.
* * *
Di balik kenekatan dan mendadaknya rencana kami, memang tak melibatkan persiapan matang. Seperti pengecekan kondisi sepeda motor. Sebenarnya, oli dan mesin sudah diurus di bengkel langganan beberapa hari sebelumnya. Namun tidak saya sangka, di tengah jalan raya Grati, Pasuruan, yang padat, lampu sein motor saya tiba-tiba mati.
Saya menurunkan kecepatan, pindah ke lajur lambat. Saya belokkan motor memasuki halaman sebuah bengkel besar. Namun, sepertinya akan segera tutup. Selain itu, “Wah, sini bukan bengkel motor Mas, jadi ndak punya spare part-nya,” ujar salah satu karyawan bengkel.
Kami kembali ke jalan raya Pasuruan-Probolinggo. Jalan yang beraspal mulus, lurus, khas jalur Pantura. Namun, dengan jalan yang mulus, justru rawan terjadi kecelakaan. Karenanya, markah garis lurus (terkadang dobel) akan kerap dijumpai. Kebanyakan yang merasa lebih cepat dari kendaraan (biasanya truk) yang berada di lajur kanan, akan mendahului dari lajur kiri. Perjalanan saat sore-malam lebih berbahaya dan menuntut fokus lebih dibandingkan saat pagi atau siang.
Karena lampu sein mati, saya menginstruksikan Rizky untuk menjadi ‘tukang sein dadakan’. Dengan kedua tangannya, ia siap melambai-lambai memberikan kode bagi kendaraan di belakang kami.
Setelah kurang lebih 3 jam perjalanan, kami memasuki kota Probolinggo. Di pertigaan pertama sebelum menuju pusat kota, kami belok kanan. Melewati terminal bus Bayu Angga. Kami memilih jalur selatan, melintasi Lumajang-Jember untuk menuju Banyuwangi. Menghindari jalur Pantura (selepas kota) Situbondo yang rawan kriminal saat perjalanan malam.
Selepas kota Probolinggo, kami berhenti di sebuah minimarket daerah Leces. Yang terkenal karena keberadaan pabrik kertasnya. Niat saya mencari senter, namun sang kasir berkata dalam logat Madura, “Kalau senter kami ndak punya, Mas.”
Sedikit berdiskusi sejenak, kami sepakat untuk meneruskan perjalanan. “Besok saja servis di Denpasar,” kata Mumu. Kami kembali ke jalan, menggeber gas sekencang-kencangnya.
Sepanjang jalan raya setelah terminal bus Lumajang hingga pabrik gula Djatiroto, lengang menemani laju kami. Kami hanya berhenti mengisi penuh bahan bakar di SPBU Sumberbaru. Persis setelah perbatasan Lumajang-Jember. Sebagai antisipasi dan cadangan, kami sengaja menyediakan botol 1,5 liter untuk diisi bensin.
Kami melanjutkan perjalanan. Masih sekitar 30 km lagi menuju pusat kota Jember. Jarak segitu, membutuhkan kurang lebih setengah jam perjalanan dengan kecepatan stabil.
Sekitar pukul 22.30, kami tiba di kawasan terminal bus Tawang Alun, Rambipuji, Jember. Melihat gerobak nasi goreng dengan bau dan asap yang khas, perut menjadi lapar. Sudah waktunya makan malam memang. “Makan dulu, yuk,” usul saya. Kopi susu menjadi minuman penutup malam itu.
Angin jalanan malam hari semakin terasa dingin. Namun penjual nasi goreng tetap gesit meracik pesanan kami. Menunggu pesanan matang, saya menerawang jalan raya ke arah pusat kota.
Saya menggumam, Bali masih jauh ya…
Foto sampul:
Di atas feri, dalam penyeberangan Ketapang-Gilimanuk. Dari kiri: Mas Kur, Mumu, dan Rizky.
Tinggalkan Balasan