Sebuah majalah National Geographic edisi bahasa Indonesia tergeletak di atas meja kayu. Majalah bersampul garis tepi kuning tersebut terlihat lecek. Buku tamu tebal yang bersandingan di sebelahnya tak kalah kucel pula. Keempat sudutnya juga sudah tak ‘siku’ lagi. Salah satu halaman melipat tegas di tengah-tengahnya. Halaman tersebut mengulas laporan khusus dan cukup lengkap tentang sebuah situs: Liyangan.
“Mbak, pinjam sebentar ya. Mau saya foto tulisannya,” pinta saya kepada seorang perempuan berjilbab penjaga pos informasi. “Iya silakan, Mas.”
Pos berdinding kayu tersebut tak terlalu luas, namun cukup teduh. Walau tak cukup melindungi dari debu pasir yang beterbangan. Sifatnya hanya sementara, mungkin bisa dibongkar dan dipindah jika ingin suasana baru.
Dari tulisan berjudul Menjaga Liyangan dengan foto-foto khas fotografer Dwi Oblo tersebut, perlahan saya mulai mengerti mengapa Liyangan begitu menarik perhatian. Liyangan memang hanya nama sebuah dusun kecil di Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo. Salah satu wilayah administratif di Kabupaten Temanggung yang bersinggungan dengan Gunung Sindoro.
Namun, bukan rumah-rumah warga yang berdempet dibelah jalan makadam yang menarik perhatian. Melainkan apa yang tersingkap dari balik perkebunan tembakau di atas dusun. Keberadaan bukti-bukti peninggalan sejarah dari abad 8-10 Masehi yang sempat terpendam, lalu kini satu per satu muncul ke permukaan. Belasan abad kemudian, di zaman yang sudah maju seperti sekarang ini, situs Liyangan baru mulai ‘bangkit dari kubur’.
Karena ‘Jasa’ Penambang
“Selamat datang di situs Liyangan,” sesosok laki-laki bertopi menyambut kami ramah. Budiyono, pegawai Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah tersebut nampak bersahaja dalam balutan seragam dinas resmi. Bisa dibilang, saat ini dialah ‘juru kunci’ situs yang terletak di lereng Gunung Sindoro ini.

Tugasnya sebagai ‘juru kunci’ tentu tak bisa dibilang ringan. Ia menjaga, sekaligus memastikan kawasan ekskavasi terlindungi dari aktivitas yang membahayakan. Siang ini, menjadi tugas tambahannya untuk memandu kami. Secara tersirat, dari penuturannya akan mengajak kami untuk ikut peduli dan memberi atensi terhadap situs Liyangan.
Sementara Pak Pranoto memilih beristirahat di pos, sisanya mencoba melangkahkan kaki lebih jauh. Menjejakkan kaki di atas tanah berpasir dan berkerikil yang berasal dari material lahar sedalam 10 meter nan keras. Warisan dari Gunung Sindoro yang masih aktif.
Dengan dikepung perkebunan tembakau dan aktivitas penggalian pasir, siapa menyangka jika di dalamnya terdapat jejak peradaban. Berawal dari sekitar 15 tahun lalu, kala Balai Arkeologi Yogyakarta mendapatkan informasi tentang ditemukannya struktur batu di halaman rumah seorang warga. Pada ketinggian sekitar 1.100 meter dari permukaan laut (mdpl), struktur tersebut membentuk konstruksi yang cenderung memanjang dengan orientasi vertikal.

Timbul dugaan, jika struktur tersebut berasal dari peradaban Mataram Kuno. Namun, situs tersebut baru mendapatkan namanya pada delapan tahun kemudian. Kala seorang penambang menemukan struktur talud tebing, yoni dan beberapa komponen batu candi dan arca. Tahun 2009, ketika penambangan semakin meluas, ditemukan bagian candi yang tinggal kakinya dengan yoni tiga lubang di atasnya yang unik.
Hingga tahun-tahun berikutnya, kian signifikan temuan-temuan yang dihasilkan. Seperti pada bulan April tahun 2010, ditemukan dua unit rumah panggung dari kayu yang hangus terbakar dan masih tampak berdiri tegak. Satu unit rumah itu berdiri di atas talud dari batu putih setinggi 2,5 m. Satunya lagi tampak bagian atapnya saja.
Belum lagi dengan temuan-temuan mata tombak hingga guci dan 110 keramik dari Dinasti Tang di kawasan ini. Tak salah jika Liyangan disebut sebagai salah satu mutiara peradaban Mataram Kuno di Jawa Tengah, jejak dari abad ke-8 hingga ke-10 yang terserak di Temanggung.

Puncaknya, pada November 2014. Para peniliti gabungan dari Balai Arkeologi Yogyakarta menyingkap halaman keempat dari situs tersebut. Di sisi tenggara dan timur laut di halaman itu terdapat bangunan candi yang dilengkapi 10 jaladwara atau saluran air. Sebagian besar wujud struktur candi baru diungkap pada bulan Mei 2015.
Berarti, total sudah empat halaman yang ditemukan sejak penelitian tahun 2008. Sampai saat ini pun, masih ada dugaan kuat bahwa banyak halaman candi yang masih belum ditemukan. Padahal, sudah sekitar 3 Ha area ekskavasi.
“Terus ke atas, masih ada yoni-yoni dan struktur batu yang terpendam di balik perkebunan tembakau itu,” tukas Budiyono sembari menunjuk ke arah Gunung Sindoro yang puncaknya diselimuti awan.

Keberadaan penambang pasir ada untung ruginya juga. Penggalian yang meluas perlahan menyingkap temuan terbaru, sekaligus mengancam keutuhan peninggalan bersejarah tersebut. Bagaimana lagi, jika penambangan pasir menjadi pekerjaan utama bagi warga yang tidak memiliki ladang pertanian.
Pedusunan Klasik Nan Khas
Ada banyak alasan mengapa Situs Liyangan begitu memikat. Lebih dari lokasinya yang terletak di lereng Gunung Sindoro, situs pedusunan Hindu pada masa Mataram Kuno tersebut memiliki jejak peninggalan yang lengkap.
Telah ditemukan yoni, arca, mata tombak, keramik hingga guci dari Dinasti Tang. Telah tersingkap struktur candi, talud tebing, area pemujaan, pedusunan, dan pertanian kuno di Liyangan.

Maka kemudian Balai Arkeologi Yogyakarta mencoba memberikan gambaran rekonstruksi kompleksitas komponen pedusunan Liyangan tersebut:
- Area permukiman dengan rumah-rumah panggung berbahan kayu, bambu, dan ijuk;
- Area peribadatan berupa bangunan candi yang dikelilingi oleh pagar dan kemungkinan merupakan kompleks percandian;
- Bangunan candi lainnya dilindungi dengan talud, yaitu yang berada di sekitar talud;
- Bangunan candi kemungkinan masih akan ditemukan, khususnya di teras yang lebih tinggi dari talud, sebagaimana hasil survei menemukan komponen bangunan candi
- Area pertanian kemungkinan berada di sekitar permukiman dan di atas area talud
Kompleksitas komponen permukiman dan luasan situs tersebut, menunjukkan bahwa Liyangan merupakan satu-satunya situs permukiman masa klasik yang lengkap. Dan pada masanya merupakan wilayah yang penting dalam peradaban Mataram Kuno. Inilah satu-satunya situs yang mengandung data arkeologi berupa sisa rumah dari masa Mataram Kuno.

“Coba lihat candi ini, ukirannya cantik bukan? Zaman dulu dengan keterbatasan alat saja bisa buat candi kayak gini. Orang sekarang belum tentu bisa,” ujar Budiyono menutup ‘tur sejarah’ singkat siang itu.
* * *
Sebenarnya, saya bisa merasakan tekad para peneliti untuk menguak situs ini. Namun, perlu dimaklumi pula jika mereka menyuarakan keterbatasan-keterbatasan dalam melakukan penelitian. Keberadaan aktivitas tambang pasir (galian C) yang masih eksis, yang penambangnya boleh dibilang merupakan ‘penemu’ pertama benda-benda kuno yang terpendam seperti yoni, talud, dan arca.

Benda-benda bersejarah tersebut sejatinya memiliki suara dalam diamnya. Ekskavasi tahap awal menyingkapnya ke atas permukaan tanah. Terserak, sudah hampir 10 tahun menarik perhatian. Namun, sehubungan dengan munculnya pernyataan-pernyataan rekomendasi dari para peneliti, sudah layak bila Liyangan menuntut perhatian publik. Pengembangan situs, pemfokusan prioritas penelitian, pembebasan lahan, dan wacana konsep “Taman Konservasi Liyangan” harusnya diperhatikan lebih.
Sebelum benda-benda yang tak terhingga nilainya itu kembali hilang karena maling, atau tak sengaja terkeruk ke dalam gundukan pasir hasil tambang. Sebelum kebiasaan lama kita kembali muncul: baru bertindak saat sudah mendesak.
Foto sampul:
Situs Liyangan di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah
Referensi literatur:
arkeologijawa.com (1)
arkeologijawa.com (2)
antarajateng.com
nationalgeographic.co.id (1)
nationalgeographic.co.id (2)
Majalah National Geographic edisi Juni 2015
Tinggalkan Balasan