Sementara Pak Pranoto dan Mas Ari berbalut selimut, saya malah meringkuk dalam sarung. Kehangatan yang beradu dengan dinginnya udara Subuh di tepi Kali Serayu. Pondok penginapan yang berdinding kayu tampak malah mempersilakan angin masuk di antara celahnya.
Saya bergegas menuju kamar mandi yang bersisian dengan tempat tidur. Berwudu antara agak tergesa dan menikmati. Air dari balik kerannya dingin sekaligus menyegarkan.
Sempat berhasrat ingin mengabadikan pagi di ujung timur kawasan The PIKAS (Pinggir Kali Serayu) seluas 3,5 hektar ini. Kawasan yang memadukan antara resort dan Bannyuwoong selaku operator rafting. Namun kabut pagi itu seakan ‘berdinding’ berlapis-lapis. Sinar matahari nyaris tak menemui celah.
Saya beringsut. Memilih putar arah ke ujung barat kawasan The PIKAS. Pagi masih berkabut kala saya tepat berdiri di tepi Bendungan Singomerto. Kali Serayu sepanjang 181 km yang berhulu di Wonosobo ini, nampak tetap mengalir walau tak deras. Namun musim kemarau tak sungguh-sungguh menguras debitnya.

Karenanya, sungai di sisi The PIKAS dianggap layak menjadi tuan rumah gelaran cabang arung jeram Porwil Dulongmas (karesidenan Kedu-Pekalongan-Banyumas) III. Sebagai pengganti Kali Progo di Magelang -yang sedianya jadi tuan rumah- yang debitnya berkurang drastis.
* * *

Setelah sarapan pagi berupa nasi goreng khas The PIKAS, saya mohon izin ke Pak Pranoto untuk menuju jembatan baja yang merentang di atas Kali Serayu. Ingin melihat dari atas perlombaan arung jeram nomor slalom, yang katanya paling seru.
Saya yang awam tentang arung jeram, mulai memahami mengapa slalom ini sangat seru. Mendadak saya ikut bersemangat.

Dari sisi timur, salah satu tim FAJI (Federasi Arung Jeram Indonesia) Banjarnegara terlihat meluncur cukup kencang. Empat orang mengayuh perahu karet dengan dayungnya masing-masing. Meliuk, mencoba melalui celah gawang ke gawang lainnya dengan mulus, sembari memastikan tak satupun anggota badan yang menyentuh gawang.
Teriakan penyemangat dan sorak sorai memuncak, kala mereka tiba di muka gawang yang terletak persis di atas jeram kecil yang cukup deras. Dari atas jembatan, saya melihat tim berompi biru bertuliskan FAJI di punggung tersebut mengayuh dengan cepat.

Mereka menuruni jeram tersebut untuk sejenak, lalu mengayuh keras berbalik arah melawan arus sungai. Dengan sepenuh kekuatannya, mereka berhasil menaiki jeram dan kembali melewati celah gawang.
Garis finish tak jauh lagi, sementara waktu terus berjalan.

Teriakan penyemangat yang keluar dari mulut keempat orang tersebut semakin memekik. Terdengar sangat jelas dari atas jembatan. Teriakan lenguhan dan kelegaan terdengar, saat garis finish berhasil mereka lewati. Performa yang cukup bagus dan mulus.
Saat mereka berjalan melintasi jembatan dan kembali menuju arena start, saya masih melihat semangat mereka. Berdiskusi saling mengevaluasi satu sama lain. Melihat ada atlet perempuan, saya malu. Karena belum tentu saya sekuat dirinya.

Bahkan, otot lengan saya tampaknya tak segarang miliknya.
* * *
Ketika hari mulai beranjak terik, saya memutuskan kembali ke resto. Di sana kami mulai berkumpul di bawah gazebo yang teduh. Meja kayu yang lebar menjadi pemisah antara kami dengan Pak Fajar, owner The PIKAS. Di sebelahnya duduk Pak Pranoto.

Seperti saat ke Purbalingga, di sini kami kembali mendengar cerita kesuksesan. Penuturan Pak Fajar begitu sarat perjuangan. Ada canda, semangat, juga getir. Sempat diremehkan pada awalnya, hingga akhirnya Dinas Pariwisata Banjarnegara memberinya izin penyelenggara sport tourism pada 2 Juli 2004. Izin tersebut tentu sekaligus dukungan, beriring harapan agar turut memajukan pariwisata kabupaten Banjarnegara yang selama ini terkenal dengan Dataran Tinggi Dieng.
Dua tahun berselang, pihaknya mulai resmi beroperasi menerima tamu wisata. Dalam pengakuannya, saat awal-awal beroperasi, dalam sebulan mendapat lima orang tamu sudah sangat disyukuri. Kini? 1500 orang dalam sebulan datang hanya untuk merasakan rafting. Belum termasuk menikmati fasilitas resto, wahana paintball, outbond dan penginapan yang baru berdiri tiga tahun lalu.

Sekalipun sudah sukses seperti sekarang ini, ia masih tak kenal lelah untuk terus berpromosi. Tak cukup hanya melalui internet, “Saya selalu minta dinas pariwisata supaya diikutkan dalam event-event baik skala kabupaten hingga internasional,” tegasnya.
Tak heran, ia berencana menambah fasilitas rumah penginapan -yang sampai saat ini masih berjumlah 10 buah- dan tenda-tenda. Juga berencana menambah program agrowisata-metropolitan, mengajarkan konsep entrepreneur di bidang pertanian, perkebunan dan perikanan, dengan segmentasi pasar korporasi.
* * *

Saya terkesan dengan paparan pengalaman sang owner. Kali Serayu, layaknya mata air di lereng Gunung Slamet, begitu memberinya inspirasi. Alam memberinya dorongan untuk memperbaiki ekonomi. Bukan untuk dirinya semata, namun juga untuk Banjarnegara pada umumnya.
Di hari itu, di pinggir Kali Serayu, saya bertemu dengan para juara dari berbagai dimensi. Mulai dari juara dengan kekuatan fisik yang melekat pada atlet arung jeram, hingga juara dengan kecerdasan menangkap peluang dan potensi Kali Serayu itu sendiri.
Sepertinya, para juara tersebut telah fasih memahami filosofi kehidupan dalam semboyan abadi tanah kelahirannya: Banjarnegara Gilar-gilar.
Foto sampul:
Kabut masih melayang di atas Kali Serayu
Tinggalkan Balasan