Tubuhnya begitu lebar, kakinya mencengkeram kokoh ke bumi. Berbalut hutan khas tropis yang rimbun, lalu menyisakan tanah kering, berbatu, dan padas di bagian kepalanya. Membelah lima kabupaten. Banyumas, Purbalingga, Brebes, Tegal, dan Pemalang mendapat bagian yang meskipun tak sama rata. Jika cuaca bersahabat, jika kabut dan mendung tak menghalangi. Kita bisa melihatnya berdiri menjulang, seolah mencakar langit. Anggap saja tinggi badan kita sama rata, sekitar 1,6 meter. Jika dihitung mulai dari titik nol dari permukaan laut, maka perlu kurang lebih 2.143 orang untuk saling berdiri di atas kepala satu sama lain; menyamai ketinggiannya.
Ia yang dinamakan ‘Gunung Agung’ dalam 29 lembar daun nipah naskah kuno Bujangga Manik. Seorang resi Hindu sekaligus kesatria dari Keraton Pakuan Pajajaran, Kerajaan Sunda. Pengelana tanah Jawa dan Bali. Lalu ia ‘ditirakati’ dan disebut ‘Gunung Slamet’ saat Islam masuk ke Pulau Jawa. Nama yang berarti doa, gunung yang dipercaya memberikan rasa aman bagi kehidupan di kaki gunungnya. Gunung yang diyakini tak akan meletus besar, yang bisa membelah Pulau Jawa menjadi dua bagian. Gunung yang dihormati karena telah menghidupkan.
Sayang, saat itu langit pagi seperti murung. Matahari dihalangi meneruskan sinarnya ke bumi. “Kalau cerah, dari sini agak serong ke kanan sedikit, kelihatan Gunung Slamet,” jelas Mas Hery, anggota DPD ASPPI Jawa Tengah yang saat itu ikut menemani kami keliling Baturraden. Kami saat itu masih berdiri di depan pintu masuk Lokawisata Baturraden.
* * *
Baturraden, saya sudah mengenal legendanya saat sekolah dasar dulu. Kisah cinta dua orang berbeda kasta, yang terpaksa kandas karena tak direstui. “Mitosnya, kalau orang lagi pacaran main ke sini, setelah pulang biasanya langsung putus,” tambah Mas Hery tergelak. “Untung saya masih sendiri, Mas, jadi jangan khawatir, hehehe,” cetus saya.
Tak jauh dari pintu masuk, sejumlah fotografer dengan seperangkat kamera dan lensa standar, sedang duduk santai di pelataran kolam berpagar. Di tengahnya terdapat dua patung sosok ‘Batur’ dan ‘Raden’ berdiri berhadapan. Sebagai pengingat tentang legenda yang membumbui tempat ini. Sempat mereka hendak menawarkan jasanya, namun urung dilakukan, ketika saya menata tripod dan menancapkan kameranya Mbak Ratri. Kami berfoto dengan perlengkapan yang dibawa sendiri.
Tapi, kalau tak sempat membawa kamera dan tak ingin memaksakan diri menggunakan kamera handphone atau smartphone, menggunakan jasa fotografer itu cukuplah bijak. Mereka adalah satu dari sekian yang ada karena Baturraden.

Tak jauh dari kolam berisi sosok ‘mantan’ dua sejoli tersebut, terlihat air mancur yang memancar cukup kencang. Melawan gravitasi sejenak, lalu terjun kembali. Pengelola menamakannya ‘Cascade Alam Baturraden’. Konsep yang cerdas. Melalui rekayasa teknologi, aliran air terjun kecil yang berderet dan menyatu di Sendhang Mulya tersebut ditata menjadi riam. Sayang, saat itu kami tak melihat ritus tradisional Sendhang Mulya, yang sudah dilakukan masyarakat setempat secara turun-temurun. Tentu menarik jika suatu saat dapat melihat langsung di Sendhang Mulya, yang mengalirkan air ke Sungai Gumawang di bawahnya.
Melihat riam ini, saya teringat geyser di Taman Nasional Yellostone, Amerika Serikat. Hanya saja, ia muncrat secara alami dari perut bumi. Bedanya, geyser merupakan mata air yang panas, sedangkan riam Baturraden ini saya menyebutnya sebagai air mancur tunggal. Dingin, segar dan basah tentu saja. Sampai pakaian dan kamera saya terpercik cipratannya saat berada di dekatnya.
Riam ini juga merupakan sebuah wahana, tontonan menarik bagi pengunjung. Namun, jangan membayangkan berlebihan untuk menjadikannya sebagai wahana semacam ‘kursi lontar’. Pengunjung duduk di atas lubang airnya, lalu terlontar ke langit.
* * *
Ada satu tempat lagi yang kami capai di dalam lokawisata Baturraden ini. Saya kira waktu itu kami akan menuju jembatan besar yang terletak lebih tinggi. Namun, kami hanya cukup mampir di sebuah objek jauh di bawahnya. Sebuah air terjun yang meluncur di antara cerukan tebing kecil. Belum sempat mengedarkan pandangan mata ke setiap bagian air terjun, tiba-tiba muncul dua sosok yang menarik perhatian.

Dua bocah seusia SD yang berdiri di bagian atas air terjun. Dengan agak berteriak, mereka akan terjun ke kolam apabila ada yang memberikannya uang. Sebuah pertunjukan akrobat. Mirip dengan yang kerap terlihat di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Mereka dengan bebas terjun dari dermaga ke laut, dengan imbalan seperlunya dari penumpang kapal ferry.
Tapi ini di air terjun. Sebenarnya agak ngeri melihatnya, karena saya pikir kolamnya dangkal dengan dasar tanah dan bebatuan. Byur! Satu bocah itu telanjur terjun saat saya masih khawatir. Tak jauh dari tempat saya berdiri, ada seorang perempuan berjilbab melambai-lambaikan selembar uang kertas kepada mereka. Deal, byur! Satu lagi terjun ke kolam yang jernih dan berwarna kehijauan itu.
Tak tampak raut ketakutan di wajahnya, sama seperti bocah ‘penerjun’ di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Justru raut gembira, sekaligus senang karena mendapatkan uang saku yang lumayan untuk jajan.
* * *
“Sudah cukup? Kalau sudah, kita langsung ke Pancuran Pitu, tapi mampir dulu di BAF nanti.” Pak Pranoto menjelaskan destinasi berikutnya.
Di tengah berjalan menuju pintu keluar, saya banyak menemui para pedagang makanan dan minuman. Baik yang memiliki stan maupun asongan. Sate kelinci, mi instan, gorengan mendoan, es krim, dan lain-lain. Seperti pengelola Baturraden ini sendiri, fotografer keliling, penjaga toilet umum, mereka juga bagian dari yang ada karena Baturraden.
Air terjun, cascade, Sendhang Mulya, adalah bagian alam Gunung Slamet yang menghidupkan Baturraden. Rezeki berusaha dijemput dari sana. Meskipun saya belum paham BAF dan Pancuran Pitu seperti apa rupanya; saya yakin kami akan berkunjung ke sejumlah tempat yang tak jauh dari bagian sumber air yang lain. Air yang menghidupkan Baturraden dan sekitarnya.
Foto sampul:
Salah satu sudut di dalam kawasan wisata Baturraden
Tinggalkan Balasan