Tampak dari luar sejumlahĀ kamar berukuranĀ besar berderet, bertingkat dengan berbagai macam corak. Jendelanya berdimensi lebar, memanjakan penghuni kamar untuk leluasa melihat pemandangan di luar. Isi kamarnya pastilah lapang, diisi antara 4-8 orang dalam berbagai varian bergantung kapasitas. Khusus untuk keluarga, baik kecil maupun besar.
Saya sendiri belum berkeluarga. Jadi kalaulah hari itu harus menginap, saya memilih tidur di dalam tenda saja diĀ camping groundĀ yang disediakan. Melihat Gunung Ungaran yang berperawakan lebar dan nampak dekat, saya jadi rindu berkelana di alam bebas. Tidur beralas matras dan berselimutĀ sleeping bag.Ā
Tapi, kerinduan itu harus dipendam. Sama halnya memendam keinginan lain, untuk merasakanĀ family roomĀ yang berjejer di dalam kawasan Pondok Wisata tersebut. Kapan-kapan sajalah, saat sudah berumah tangga dan memiliki anak.
“Umbulnya sebelah mana, Pak?” tanya Mas Ari tiba-tiba. Saya juga penasaran, wujud yang disebut ‘umbul’ belum juga tampak. Pak Pranoto hanya menjawab dengan gerik tubuh yang bermaksud mengajak. Terus melangkah, menuruni jalan berbahan batu kali yang tertata rapi.
* * *
“Itu gunung apa, Pak?” tanya saya, sambil menunjuk sosok gunung yang terlihat dekat setelah memasuki kawasanĀ Kabupaten Semarang yang terik. Sudah hampir 45 menit kami meninggalkan kantor Dinbudpar di Kota Semarang.
“Itu Gunung Ungaran,” jawab Pak Pranoto lugas,Ā “Mas Rifqy sudah pernah ke Gedong Songo atau Umbul Sidomukti?”Ā lanjutnya di tengah fokus mengemudi mobil. Dua-duanya saya belum pernah ke sana. Dan kami menuju ke arah dua tempat wisata tersebut.
“Kalau Gedong Songo kami sudah pernah,” sahut Mas Ari dan istrinya, Mbak Nenny yang duduk di jok tengah. Bara, anak laki-laki mereka yang baru berusia 8 bulan, tampaknya hanya menyimak obrolan kami. dengan polahnya yang menggemaskan. Mbak Ratri yang duduk paling belakang, pegawai Dinbudpar Jateng sekaligus salah satu panitia lomba blog, tentu sudah tak asing dengan kedua tempat tersebut.

“Ya sudah ke Umbul Sidomukti saja, Pak,” cetusku.Ā Semoga Mbak RatriĀ dan Pak Pranoto tidak bosan memenuhi rasa penasaran kami.
Ke arah Bandungan, mobil tetap melaju menyusuri jalanan yang cukup berliku dan menanjak. Lalu memasuki gapura Desa Sidomukti di kanan jalan, yang setelahnya berupa jalan kampung semakin menanjak dan sempit.
“Dulu jalan ini sempit banget. Jadi, repot juga kalau bawa rombongan banyak dalam satu minibus, lalu berpapasan dari arah berlawanan,” jelas Pak Pranoto mengomentari sempitnya jalan. Di beberapa ruas saya lihat sudah diperlebar, lalu sebagian dibuat satu arah. Kendaraan yang pulang diarahkan ke jalan baru membelah ladang warga. Namun tetap saja terasa cukup sempit.

Laiknya mengendarai mobil atau motor di tanjakan, kampas kopling dan rem akan diuji. Bau kampas menyengat begitu mobil berhenti di tempat parkir. Ada waktu cukup untuk mendinginkan mesin sejenak. Setelah dari tadi mengerang menapaki tanjakan.
* * *
Setelah cukup puas hanya memandangĀ family roomĀ dari luar, tanpa berhasrat memasuki bagian dalamnya, di hadapan kamiĀ berdiri sebuah kafeĀ berkanopi tembus cahaya. Rumput sintetis dipasang berselang-seling di antara alas ubin. Tanpa jendela, tanpa pintu. Hanya pagar yang mengitari kafe sebagai pengaman. Kursi dan mejanya serba putih.Ā Tak banyak orang yang duduk bercengkerama di sana. Hanya segelintir orang, termasuk kami. Di salah satu meja, terdapat anak-anak muda sedang bersenda gurau. Tampaknya mereka adalah kru operator wahanaĀ outdoor (pacu adrenalin)Ā yangĀ berada di lokasi yang sama.
Kami mendekat ke pagar, semakin merasakan angin khas pegunungan yang semilir. Meski matahari bersinar terik, namun tak terasa karena angin berembus meredam panas. Persis di bawah kami,Ā kolam pemandian terbesar berair jernih merentang. Di salah satu sudut kolam, terdapat air mancur yang terus memancar keluar. Itulah yang disebut ‘umbul’, karena air itu memang seakan terbang. Prinsip gaya gravitasi.

Air tersebut terus memancar dan mengalir sepanjang musim. Berasal dariĀ tukĀ (mata air) Ngetihan dan Watu Payung. Duhai, beruntungnya lereng Gunung Ungaran ini bergelimang air.
“Dulu pernah saya bawa tamu mahasiswa dari Bandung ke sini. Banyak yang jengkel karena jalannya susah, sempit, dan lama. Tapi begitu nyebur ke kolam, gak mau pulangĀ sampai jam 11 malam di kolam terus saking betahnya!” ujar Pak Pranoto. Saya tergelak. Ketua ASPPI DPD Jawa Tengah ini tentu sudah memiliki banyak pengalaman dengan membawa bermacam-macam tamu. Termasuk kami, yang malah tak menyempatkan untuk berenang. Tapi mungkin suatu saat kembali ke sini, berendam seharian, sembari menikmati pendar cahaya matahari yang terbit.
Sayup-sayup, suara azan berkumandang. Kami yang laki-laki, kecuali Bara, bergegas menuju masjid terdekat di kampung untuk salat Jumat.
“Nanti ketemu di Pondok Kopi ya,” usul Pak Pranoto kepadaĀ yang lain,Ā kaum putri yang tidak ikut salat Jumat.
* * *

Salat Jumat berlangsung cepat namun khidmat di Masjid Baitul Muttaqin, dusun Tegalsari. Masih di lereng Gunung Ungaran, diapit rumah-rumah penduduk yang dibelah jalan kampung yang menanjak. Kami bertiga bergegas kembali ke mobil, lalu menuju Pondok Kopi untuk menikmati sajian makan siang.
Mobil kembali digeber menapaki tanjakan menuju Pondok Kopi. Membelah perkampungan yang kemudian berganti dengan ladang warga berundak-undak.

Belum sampai di lokasi makan siang ternyata sudah tersaji deretan villla dengan nama-nama bunga. Dahlia, Cempaka, dan yang lain. Dari sini, tentu menjanjikan pemandangan yang lebih leluasa karena lokasinya yang lebih tinggi.
Walau tentu, cukup terengah berjalan menapaki anak tangga menuju Pondok Kopi di siang hari. Mbak Ratri tertinggal di belakang, berjalan perlahan. Layaknya pendaki yang sudah tiba duluan di puncak, kami memberi semangat padanya agar segera sampai di Pondok Kopi.

Suasana yang nyaman untuk makan siang, angin semilir, dan menu yang lezat, nyaris membuat kami lupa jika waktu terus berjalan. Destinasi utama hari ini masih jauh, sementara perjalanan belum separuhnya. Kalau saja waktu tak terbatas, kalau saja Pak Pranoto tak mengingatkan untuk segera beranjak, mungkin saya segera memanggulĀ carrierĀ dan mendaki Gunung Ungaran siang itu juga!
* * *
Ternyata saya sempat tertidur di antara jalur Bandungan-Temanggung. Setelahnya terjaga, termasuk saat menyempatkan istirahat sekaligus salat Asar di sebuah masjid, di tepian Jalan Raya Banyumas, Wonosobo. Usai salat, Pak Pranoto yang masih tampak prima melajukan mobil lebih cepat. Memburu waktu, mengejar tujuan utama di hari ini.

Langit senja mulai gelap ketika melalui wilayah Kabupaten Banjarnegara. Semakin meninggalkan petang ketika melintasi Purbalingga. Kota Purwokerto semakin dekat untuk kami capai. Kami mungkin tidak datang tepat waktu, namun setidaknya kami masih sempatĀ merasakan gebyar Parade Seni Jawa Tengah 2015 yang kali ini digelar di sana.
Foto sampul:
Sudut salat satu family room dalam area Pondok Wisata, Umbul Sidomukti
Tinggalkan Balasan