Saya menuruni tebing sebentar, menghampiri ketiga rekan perjalanan saya, yang masih asyik berfoto ria. “Eh, kalian nggak ke atas kah? Ke Coban Papat?” Ketiganya menoleh. Eko, menyahut pertanyaan saya, “Awakmu wes merono ta?” Saya mengangguk, tadi sudah menyempatkan pergi terlebih dahulu ke Coban Papat sendiri.
Mereka bertiga lalu berjalan naik, mengikuti langkah saya. Trek yang ada -meskipun pendek- masih cukup curam dan licin, meskipun sudah dikepras warga setempat membentuk anak tangga. Saya bisa membayangkan dulunya saat masih alami, masih sangat curam dan berbahaya.
Setibanya di atas pinggiran tebing, saya mempersilakan mereka bertiga pergi melihat Coban Papat. “Aku tunggu di sini saja yo, nanti sebelum turun kita foto bareng.” Mereka mengangguk, kemudian berjalan meninggalkan saya sendirian untuk sebentar. Saya memilih duduk di atas kursi kayu yang disusun apa adanya. Meletakkan tripod dan tas kamera untuk sejenak.
Di hadapan saya terhampar beberapa aliran air terjun yang mengucur dari lubang tebing yang cukup tinggi. Terjun bebas di sela-sela tetumbuhan hijau yang melekat di dinding tebing. Sela-sela yang kecoklatan dan basah. Berulang kali saya menatapnya dari atas ke bawah, dari bawah ke atas; lalu meratapi awan tipis yang sedikit kelabu, menyembunyikan langit biru yang tadi menemani selama perjalanan ke tempat ini.
Dalam ratapan itu saya merenung, mencoba meresapi hakikat keberadaan tempat yang sejuk ini. Ada sejumlah pertanyaan besar yang sebenarnya tak memerlukan jawaban. Salah satunya, bagaimana tempat ini bisa tercipta dan ada?
* * *
Jalan setapak mulai siap dipijak selepas tempat parkir motor. Pepohonan masih berdiri menjulang walau tidak terlalu rapat, cukup menaungi kami dari sengatan matahari. Setidaknya untuk sementara, karena beberapa ratus meter di depan sepertinya vegetasi mulai terbuka. Kami sudah siap-siap menghalau teriknya matahari, dan debu-debu tebal beterbangan. Begitu kering, Pujon Kidul sudah lama tidak hujan.
Trek berdebu yang terus-menerus menanjak harus sudi dihadapi. Fia dan Deby berada di depan, memimpin perjalanan atau “semi-pendakian” ini. Saya dan Eko cukup di belakang sebagai kaum sweeper, posisi favorit saya saat dulu masih sering mendaki gunung. Tapi setelah lama rehat mendaki gunung, terasa juga tanjakan ini menguras tenaga. Saya dan Eko bercanda, “Maklum, dengkul tuwek (lutut tua).”

Pepohonan tinggi itu mulai tumbuh jarang, kala tanjakan berdebu sedikit mengurangi derajat kemiringannya. Berbelok sedikit ke kiri lalu naik sedikit ke arah kanan. Saya mendongakkan kepala, langit biru mulai tersingkap.
Kami terus mendaki, mendekati sepetak ladang sayuran warga. Sekilas melihat sekitar tampak kering dan panas. Namun melihat hijaunya sekitar, nyata bahwa di atas tempat kami berada ada sumber air yang melimpah. Yang dulu tersembunyi, hingga kini mulai digandrungi. Karenanya saya yakin, ketika ditanya Fia menawarkan bekal minumannya, “Mau minum dulu ta? Tadi lupa mampir toko beli air minum.” Tenang, nanti di sumber kita isi ulang dan minum sepuas-puasnya!

Saya kembali berhenti, begitupun dengan yang lain. Mumpung cerah, sayang untuk melewatkan pemandangan sekitar. Saya sepakat, ini adalah alasan terselubung supaya tubuh mendapat kesempatan beristirahat sejenak. Ketika keringat mulai deras bercucuran dan napas mulai tersengal.
Tak jauh dari tempat sejumlah motor pretelan -milik warga setempat- terparkir, kami kembali disuguhi tanjakan. Namun, kali ini dibantu dengan keberadaan papan kayu yang ditopang dua atau lebih potongan batang pohon. Membentuk anak tangga, sebagai antisipasi saat musim penghujan kembali tiba dan membuat jalur menjadi licin.

“Wenak nek dolan saiki Mas, sepi. Nek kolowingi Minggu wah ruame tenan, Mas,” jawab petani sayur itu sambil terkekeh. Ia sedang menyirami lahan sayurnya yang terletak di sisi kanan jalur. Kami bersua dengannya ketika baru menapaki separuh anak tangga. Saya sepakat dengannya, berwisata saat hari Senin seperti ini lebih nyaman dan sepi dibandingkan hari Minggu kemarin. Riuh dan pasti debu lebih banyak beterbangan.
Selanjutnya kami terus menyusuri punggungan bukit. Selepas ladang sayur tadi, sisi kanan dan kiri sudah terhampar jurang. Meskipun, masih cukup aman karena trek cukup lebar dan dilindungi semak-semak dan pepohonan rendah.

Tapi saya masih terpukau dengan langit biru itu. Kontras dengan hijau dan lebatnya hutan tropis jauh di seberang kiri sana. Sebelah timur dari tempat kami berjalan. “Potretlah! Beri ruang lebih untuk langit dalam bingkai fotomu,” ujar saya sok tahu kepada Deby. Ia juga berulang kali berhenti untuk mengabadikan sekitar dengan kameranya.
“Gimana caranya supaya langitnya bisa lebih biru gitu?” Tanyanya lagi.
“Pake fiter CPL yang bagian gelapnya di atas bisa membantu. Atau simpan foto dalam format mentah -RAW (Canon) / NEF (Nikon)-, sehingga bisa diedit saturasinya pake Photoshop atau Lightroom,” lagi-lagi saya bertutur sok tahu.

Bisa dibilang kami berempat sangat santai dalam berjalan. Terlebih, kursi-kursi sederhana dari potongan batang pohon, menggoda kami untuk merebahkan (maaf) pantat sejenak. Semilir angin yang menyelip di antara dedaunan dan ranting pohon, malah mendukung kami segera memejamkan mata. Bahaya! Suasanya terlalu enak, sementara perjalanan belum purna.
Vegetasi mulai kembali merapat, perjalanan mulai kembali teduh. Setelah berjalan datar melipir punggungan yang sebenarnya rawan longsor, trek mulai menurun. Batang pohon hingga akar menjadi pegangan agar tidak sampai terjerembab. Samar-samar, suara air terdengar bergemuruh.
Coban Tunggal

“Yang pertama terlihat nanti di bawah itu Coban Tunggal, Mas,” ujar sekelompok warga setempat yang baru pulang dari pekerjaan menata dan membersihkan jalan setapak. Kami bertemu dan bertegur sapa di tengah jalan.
“Kalau Sumber Pitu di sebelah mana, Pak?” tanya saya.
“Sumber Pitu iku belok kiri teko Coban Tunggal, Mas. Munggah maneh, wes tekan Sumber Pitu.” Saya mengangguk, lalu ia melanjutkan, “Soko Sumber Pitu, belok kanan munggah dilut ono Coban Papat, Mas.” Berarti ada tiga coban (air terjun) yang berdekatan dalam kawasan ini. Semakin menguatkan dugaan saya, jika sumber air di atas desa Pujon Kidul ini sangat melimpah.

Wujud pemilik suara air bergemuruh itu mulai terlihat. Kami terus berjalan menuruni jalan setapak yang cukup sempit. Suasana mendadak teduh dan sejuk, matahari seperti tertahan bersinar di atas hutan ini.
Suara gemuruh Coban Tunggal semakin terdengar jelas. Beradu dengan gemericik aliran air sungai limpahan dari Coban Sumber Pitu di sisi kiri. Kedua aliran itu menyatu pada satu titik, lalu mengalir beriring terus ke bawah.

Coban Tunggal ini seperti selasar teras rumah. Air terjun utama mengucur deras menghunjam dasar, membentuk kolam dangkal dan mengalir pelan dibendung oleh barisan bebatuan yang berbeda ukuran. Lalu terus turun mengalir melewati sela-sela bebatuan teguh, setelah menyatu dengan aliran air sungai dari Coban Sumber Pitu.
Ada yang lebih menggoda selain bermain air dan membekukan air terjun ini dalam memori kamera: keberadaan tanah datar di seberang kanan. Di sana ada bekas api unggun. Di sana sepertinya menjadi tempat yang enak untuk berkemah. Sumber air melimpah, walau tetap dirundung waspada jika sewaktu-waktu longsor datang.
Merapat ke Coban Papat

Dari Coban Tunggal, kami belok ke kiri. Menapaki anak tangga yang berundak-undak dan cukup terjal. Sejumlah pekerja masih membenahi jalur tersebut agar tetap kuat dilewati wisatawan. Kami melangkah dengan penuh kehati-hatian. Hanya bertopang pada keseimbangan kaki, berpegangan pada dinding tebing di sisi kanan, dan tali di sisi kiri untuk pembatas. Di luar jalur di sisi kiri, mengalir sungai kecil yang cukup deras. Limpahan dari guyuran Coban Sumber Pitu yang mulai menampakkan diri.
Namun, ketika mereka bertiga memilih istirahat sejenak di bawah Coban Sumber Pitu, saya memilih meneruskan langkah ke Coban Papat terlebih dahulu. Menapaki tanjakan pendek namun cukup licin. Beruntung terdapat batu-batu kecil mencuat dari balik tanah, memudahkan saya berpegangan saat merangkak naik. Tak sampai 100 meter, dengan trek yang agak memutar, tibalah saya di Coban Papat.
Tipikal air terjunnya mirip dengan Coban Sumber Pitu, namun lebih jarang dijamah oleh wisatawan. Alirannya sepertinya menurun hingga ke Coban Tunggal tadi. Paling hanya warga setempat saja, yang meletakkan sesaji berupa kemenyan, kopi, dan puntung rokok di atas sebuah makam di muka air terjun ini. Entah ini makam siapa, dan terkesan penghuninya dikeramatkan. Karena tak ada warga di tempat itu, saya tak berani mengambil foto makam tersebut. Makam itu ditutupi gundukan batu sungai dengan dua buah nisan dari batu juga. Di atas gundukan batu tersebut, terserak puntung rokok -ada yang utuh dan sisa separuh-, secangkir kopi yang tinggal separuh isi, dan kemenyan.

Saat pulang saya sempat ditanya Deby dan yang lain, “Kok ada rokok dan kopi yang masih utuh, ya?”
“Mungkin, warga setempat percaya, sesaji seperti itu akan “dikonsumsi” oleh penghuninya pada saat-saat tertentu. Tujuannya, tentu meminta supaya tetap menjaga keselamatan di tempat ini. Atau bisa juga memohon izin kepada leluhur sebelum bekerja.”
“Atau mungkin warga pekerja tadi ke makam atas tadi untuk minum dan ngerokok?” timpal mereka.
“Ah, masa’ harus susah payah naik ke atas dulu kalau hanya sekadar ngopi dan ngerokok?” Kami terdiam. Entahlah. Seiring saya meninggalkan Coban Papat, secepat itu pula saya melupakan hal tersebut. Saya tidak berani berprasangka lebih jauh, biarlah seperti itu adanya.
Saya memilih kembali ke Sumber Pitu, bermaksud memanggil teman-teman supaya menyempatkan mampir ke Coban Papat.
* * *
Hampir tiga puluh menit berlalu, saya masih tenggelam dalam perenungan. Di atas kursi kayu, berpijak pada tanah berdebu. Sesekali kaki kanan saya terpangku di atas kaki kiri, sambil termangu bertopang dagu. Riuh rendah suara wisatawan lain yang asyik bercengkerama di bawah, samar-samar saja terdengar. Masih kalah dengan suara guyuran Gerojokan Sumber Pitu, begitu orang setempat menyebutnya.
Pertanyaan dalam renungan saya sebenarnya tak perlu pula dipertanyakan. Karena ini sama dengan mempertanyakan hati dan keyakinan. Namun, pikiran saya melesat jauh, membayangkan bagaimana Allah, menciptakan bumi dan seisinya ini begitu indah. Rapi, tertata, dan sesuai pada tempat dan waktunya. Termasuk, membuat tujuh atau lebih aliran air keluar dari lubang tebing cadas menjulang seperti tersaji pada Coban Sumber Pitu ini. Dan kemudian bagaimana Dia menjadikannya bermanfaat, berguna bagi warga setempat yang tentu tak bisa lepas dari air. Sumber yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, bertani, dan akhirnya kini menjadi andalan pariwisata desa Pujon Kidul nan permai. Kontribusi wisatawan sebesar Rp 10.000 dan parkir Rp 5.000 rasanya sepadan untuk menjadikan desa ini lebih berdaya.
Semoga seimbang. Bukan hanya kesungguhan upaya warga desa yang mencoba mempromosikan tempat ini untuk pemasukan kas desa, dan menjaga kebersihan lingkungan agar senantiasa lestari. Melainkan juga para tamu (wisatawan) supaya memahami hakikat tempat ini. Sungguh, tempat ini akan damai dan bukan menjadi gengsi semata bagi kita yang mau berpikir. Kita yakin, kita tidak buta dengan peringatan dilarang membuang sampah sembarangan yang terpampang jelas. Kita percaya, kita tidak tuli dengan suara-suara alam dan lingkungan sekitar yang menjadikan tempat ini begitu alami dan sejuk.

Tempat ini ada, juga untuk kehidupan seluruh semesta. Manusia seperti kita, hanya bagian kecil dari sistem semesta. Buktinya sudah jelas, bukankah betapa kecilnya kita, jika berdiri di atas bongkahan batu berlatar dinding tebing menjulang dan berlimpah air jernih ini?
Pikiran bercabang-cabang saya buyar ketika terdengar derap langkah kaki dari sebelah kiri saya terduduk. Mereka bertiga sudah kembali dari Coban Papat, dibarengi dengan pertanyaan seputar kopi dan rokok di atas makam di Coban Papat tadi. Saya menyambut mereka, “Foto bareng dulu, yuk! Terus turun dan pulang.” (*)
Foto sampul:
Teman seperjalanan sedang asyik berswafoto
Tinggalkan Balasan