Tulisan dan foto oleh:
Dini Muktiani
Kata orang-orang, Gunung Cikuray itu menakutkan! Aku juga berpikir begitu awalnya. Saat kubaca beberapa artikel yang ada di internet, dan dengar cerita orang (baik orang yang sudah pernah mendaki atau belum) tentang Gunung Cikuray.
Penjelasan menurut versiku, Cikuray adalah satu gunung di daerah Garut yang bisa terlihat dari Gunung Papandayan. Terkenal memiliki jalur pendakian yang mana: lutut ketemu dada. Kalau menurut Bang Ateng -pendaki senior yang bertemu dengan kelompokku di kereta Matarmaja menuju Jakarta-, Cikuray sama seperti gunung lain di Jawa Barat: bernuansa mistis.
“Lo mau ikut ke Ciremai nggak Din?”
“Kapan?”
“Tanggal 3 April.”
“Nanti deh gue liat jadwal.”
Begitulah obrolan singkatku dengan Hanum via Whatsapp. Hanum itu temanku sewaktu kuliah. Sekarang beda kantor, tapi tetap terhubung karena hobi kami berdua sama. Berantem dan main ledek-ledekan kalau lagi ketemu di acara kampus. Ditambah aku pernah gagal ikut Hanum ke Gunung Merbabu, Jawa Tengah.
Ajakan yang heboh itu berubah menjadi galau. Tadinya mau ke Gunung Ciremai, lalu berubah ke Cikuray. Karena Bang Ummay mau mengajak istri tercintanya jalan-jalan, yang pada akhirnya aku tahu bahwa istrinya lagi hamil muda.
Dari rapat antara Hanum dan gengnya itu, diputuskan bahwa kami akan pergi ke Gunung Cikuray tanggal 3 April pukul 3 sore. Deal! Anggota pendakian terdiri dari 12 orang, yaitu Bang Ummay, Bang Lingga, Bang Ubay, Kageng, Pras, Kodel, Ipul, Ndut, Aziz, Hanum, Endah, dan aku sendiri. Di antara mereka, yang belum kenal ya cuma aku. Dan jangan harap mereka akan bersikap baik setelah kenal aku lebih dari satu jam! Kalem saja tidak. Yang ada mereka semua langsung pada nge-bully. Iya, nasib tukang nebeng memang begitu.
* * *
Siang itu, kami berkumpul di markas besar geng Pache (Pasukan Keche) di daerah Kalideres. Persiapan semuanya dicek lagi. Tas carrier dikemas ulang, barang yang sekiranya tidak akan terpakai ditinggal. Dan waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Kalau bukan karena anak baru di geng itu, mungkin aku udah protes habis-habisan karena sudah terbiasa on time. Namun, enaknya ikut jalan sama geng Pache, para perempuan yang ikut tidak perlu membawa carrier. Jadi tinggal membawa diri masing-masing saja, dan tas selempang kecil untuk benda berharga.
Begitu sampai di terminal Kampung Rambutan, ramainya sudah kayak pasar malam. Dari mbak-mbak dan mas-mas keren yang memanggul carrier, atau mas dan mbak yang lagi duduk berduaan tapi di sebelahnya ada carrier juga. Malam itu kami naik bus terakhir jurusan Garut. Setelah menunggu hampir sejam karena bus penuh, harga yang meningkat tajam karena long weekend, dan tanggal awal dibukanya pendakian gunung.
“Eh Din, di mana-mana orang mah kalau naik gunung tanyanya Bang di sana ada air enggak? Lah elu malah nanya, di sana ada edelweiss enggak? Emang kalau haus lu mau makan edelweiss!” protes Kageng waktu kami semua sudah duduk manis di dalam bus. Aku hanya bisa nyengir lebar.
Iya… Posisi duduk waktu itu, aku di pinggir jendela, Hanum di tengah, dan Kageng di pinggir (baca: nemenin orang pacaran). Ya mau bagaimana lagi, yang kukenal cuma Hanum. Mau sok akrab dengan yang lain juga sungkan.
Yang jelas, perjalanan ke Garut memakan waktu lama di Jakarta. Sebabnya apa lagi jika bukan karena macet parah dan ngetem di pinggir jalan, padahal belum lama keluar dari terminal. Tak ada yang bisa dilakukan selain tidur, menghabiskan kopi moccaccino, dan bangun-bangun… sudah sampai di jalur Nagreg yang tumben sepi. Malam itu, Garut terlihat gelap. Sampai ada bayangan megah Gunung Guntur di sebelah kanan. Gunung yang belum kujamah itu terlihat cantik sekali walau gelap. Dan kecantikan Garut akan terlihat selama beberapa jam ke depan.
* * *
Sesampainya di terminal Guntur, Garut, kami berjalan ke belakang pasar. Untuk bertemu dengan angkot yang biasa Kodel sewa kalau ke Garut. Mobil angkotnya sih tidak sempit banget, cuma penuhnya carrier bikin kaki saling berimpitan. Belum lagi jalur menuju Pos Pemancar yang luar biasa.
Fakta pertama tentang pendakian Gunung Cikuray pun terungkap!
Bahwa banyak angkot yang menelantarkan penumpangnya. Para laki-laki terpaksa jalan kaki dari pos tempat angkot laporan. Angkot masih terus jalan dengan penumpang yang sedikit karena yang laki-laki jalan kaki. Bahkan kami semua nyaris diminta turun dengan alasan angkot tidak kuat nanjak. Dengan muka sadis para laki-laki mengangkat carrier, dan memaksa sopir angkot untuk mengantar para perempuan beserta tujuh botol air mineral besar ke Pos Pemancar.
Pendakian belum juga dimulai, tapi sudah ada insiden seperti itu. Oh, Cikuray. Mendadak perutku bergejolak karena membayangkan kejadian selanjutnya. Beruntung rasa kesal terobati dengan pemandangan lampu-lampu kota dari Pos Pemancar. Sepertinya, makan bakwan sambil ngopi itu sudah yang paling keren sambil nunggu matahari menampakkan diri.
* * *
Tepat pukul 6 pagi, kami memulai pendakian. Awalnya masih semangat biar pun saat lihat trek di tengah kebun teh dari jauh sudah bikin pusing. Trek kebun teh tersebut berakhir di pos pendaftaran pendakian. Dari situ juga terlihat Tanjakan Cihuy Huy yang menjulang meski sudah dibuat berupa undakan tangga. Sepuluh menit kemudian akan ada peringatan bahwa kami akan memasuki kawasan hutan.
Fakta kedua tentang pendakian Gunung Cikuray.
Jalurnya sih cuma satu, dari bawah sampai atas itu saja tidak ada cabangnya. Jadi, dari bawah sampai atas itu isinya berupa tanjakan. Dari mulai pegangan akar pohon, manjat batu, atau manjat pohon tumbang. Belum lagi trek menjadi sempit kalau berpapasan dengan pendaki yang turun. Naik gunung pun ada kalanya mengantri.

Tapi, buat aku yang sering ditakut-takuti perihal Gunung Cikuray, ini bisa menjadin semacam penyemangat dan terbukti ampuh. Hasilnya, perjalanan kami yang tergolong santai tidak terasa semenakutkan itu. Aku masih asyik saja loncat sana sini. Masih happy. Entah karena tidak membawa tas atau aku yang sudah pasrah sama treknya.
Beranjak siang -entah di Pos 3 atau 4-, kabut perlahan turun. Diam sejenak di pinggir trek dan merasakan yang namanya dilalui kabut itu indah banget. Mirip film horor, cuma indah. Ini kali kedua aku “menembus” kabut selain di Gunung Papandayan. Sesudah kabut turun, langsung saja kami diguyur hujan dari Pos 4 sampai ke Pos 7. Pakaian sudah tak berbentuk, sepatu apa lagi. Perjalanan normal yang biasanya ditempuh dalam waktu 7-8 jam, ini berubah menjadi 12 jam. Termasuk istirahat agak lama di pos bayangan.
* * *
Apa yang kamu harapkan setelah seharian diguyur hujan? Golden sunrise yang wow? Lautan awan?

Bisa bangun di pagi hari dalam keadaan tubuh menggigil -karena tidur tanpa sleeping bag– dan pegal saja aku udah bersyukur. Masih bisa lihat segaris matahari terbit saja sudah senangnya bukan main! Pagi itu, aku angkat dua jempol untuk Cikuray. Dari mulai kecantikan alamnya, serta para pendaki yang pastinya merasakan juga terpaan hujan kemarin.
Meskipun pemandangan dari atas sangat indah, tapi kalau melirik ke tanah, ada banyak sampah yang berserakan. Sungguh, salah siapa kalau begini?
Bagian yang menyenangkan dari Gunung Cikuray adalah sewaktu pulang. Kalau saat naik kemarin menghabiskan waktu 12 jam, turun hanya 3,5 jam. Itu sudah termasuk istirahat beberapa kali dan foto-foto. Jalur turun terasa menyenangkan karena aku bisa lari-lari kecil, meloncati batu dan akar pohon.
Ada yang paling kuingat saat perjalanan turun. Jadi, karena terlalu asyik lari-lari kecil, aku sempat kesandung dan terpeleset beberapa kali. Dengan muka seolah menahan puasa 20 hari lamanya, Hanum bilang, “Aduh, Din! Lu mendingan jalan di depan gue deh, jangan di belakang! Nanti kalau lu jatuh atau ketinggalan gimana?”
Aku hanya ketawa polos minta ditabok, tapi aku senang! Kadang perhatian itu tidak selalu dengan muka atau perkataan manis bukan? Ya, Hanum itu contohnya.

Setelah sampai di Pos 3, muncullah fakta ketiga tentang Gunung Cikuray.
Tidak ada sumber air di gunung ini. Normalnya setiap pendaki membawa dua botol air mineral ukuran 1,5 liter. Jangan seperti kami, 12 orang hanya membawa tujuh botol air. Jadilah ketika berteduh kemarin kami menampung air hujan. Beruntung, teman sekampus Ipul mau berbagi dua botol air karena mereka memutuskan untuk kembali turun.
Saat turun, kami dibagi menjadi tiga kelompok. Yang membawa carrier besar sudah turun terlebih dahulu. Di kelompok tengah ada aku, Hanum dan Kageng. Air minum entah dibawa kelompok yang mana. Jadilah kami bertiga duduk di pinggir trek. Dari pagi kami sudah diwanti-wanti untuk irit air minum, sampai diminta makan buah melon untuk menunda haus. Turun gunung pun kami agak kekurangan air. Beruntung ada sekelompok pendaki laki-laki lewat dan berbagi sebotol air minum untuk kami.
* * *
Kalau kamu percaya tidak ada hal yang benar-benar menakutkan di bumi ini, kamu harus mencoba mendaki Gunung Cikuray sekali seumur hidup. Persiapan adalah hal terpenting. Minimal membawa jas hujan, sleeping bag, pakai sepatu trekking dan bawa air yang cukup adalah modal utama untuk mendaki gunung ini. Dan jangan sampai terpisah dari rombongan seperti kasus pada kelompok lain. Beruntung, satu orang anggota dari kelompok tersebut ditemukan oleh Ranger. Kemudian dikawal sampai ke Pos Pemancar hingga bertemu kembali dengan kelompoknya.
Yang harus diingat, bahwa perjalanan kita kadang tidak seberuntung perjalanan orang lain. Jadi siapkanlah segalanya sebelum memulai pendakian. Juga jangan lupa berdoa. Di tempat biasa saja kita jangan sampai melupakan doa. Apalagi di gunung. Pada akhirnya aku hanya mau bilang, percayalah, Gunung Cikuray tidak menakutkan.
Jadi, sudah yakin masih mau berkunjung ke Gunung Cikuray? (*)
Dini Muktiani dapat dihubungi lewat social media di Instagram, Google+ atau Facebook.
Foto sampul:
Gumpalan awan di sekitar Gunung Cikuray
Tinggalkan Balasan