Saya melangkah keluar dari kompleks Istana Tamalate (Balla Lompoa). Berjalan dengan langkah agak tergesa di luar sisi sayap kanan istana. Tak ada niat dikejar waktu, tetapi panasnya siang di kota Gowa membuat tetesan keringat tak sepadan dengan jarak tempuh saya berjalan.
Kembali bertemu jalan raya tempat pete-pete (sejenis angkutan kota) yang saya tumpangi saat berangkat melintas. Lalu berbelok ke kiri, ke arah kota Makassar. Berjalan cepat di atas trotoar yang keras. Suara klakson bertalu-talu, tak peduli kendaraan apakah itu. Pete-pete merah pun dengan percaya diri membunyikan klakson dan musik sama lantangnya. Ada “panggung” berjalan, pikir saya.
Langkah kaki saya melambat ketika mata terpaku pada sebuah gerobak di seberang jalan. Tanpa pikir panjang, saya menyeberang. Setidaknya, saya bisa berteduh dan istirahat sejenak. Menebus buliran-buliran peluh yang terbuang dengan asupan energi.
Seiring langkah saya yang mendekati gerobak bernama Agung Rejeki itu, sesosok pria bertopi dan berkaus kerah putih menghampiri. Tak perlu curiga atau memandang penuh tanya, jelas dialah pemilik gerobak dan seisinya ini.
* * *
“Pak, baksonya satu porsi ya,” pinta saya kepada Bapak bertopi dan berkaus kerah putih itu. Saya lalu duduk di salah satu di antara tiga kursi plastik miliknya.
Tanpa waktu lama, tak perlu mencatat pesanan dalam kertas kosong layaknya di rumah makan, Bapak itu dengan gesit melayani pesanan saya.
Seporsi mangkuk berkuah panas itu berpindah dari tangannya ke tangan saya. Sudah pukul 11 siang, dan ini adalah sarapan saya hari ini. Bisa dibilang sebagai bagian dari penghematan anggaran perjalanan. Permulaan makan dimulai dengan menyeruput kuahnya yang panas.
“Rumahnya mana, Mas?” tanya penjual bakso itu memecah keheningan di antara keramaian jalan. Lalu ia duduk di sebelah saya.
“Saya dari Malang, Pak. Tapi lahir di Pacitan,” jawab saya santai. Raut mukanya berubah, mungkin agak terkejut.
“Oalah, wong Jowo, tho. Ada acara apa ke sini?” tanyanya lagi.
“Jalan-jalan pak, liburan. Mumpung ada tiket pesawat promo, hehehe,” ujar saya, “Asmanipun njenengan sinten Pak? Asli pundi?” Saya balik bertanya nama dan asalnya.
“Sugiyanto, Mas. Aku asli Sragen.”
Dugaan saya benar. Penjual bakso ini dari Jawa Tengah. Tak lama kemudian, muncul lalu lalang anak-anak sekolah berseragam putih biru. Di antara mereka, seorang siswi berjilbab menghampiri kami.
“Iki anakku, Mas. Lahir nang Makassar,” ujarnya. Sang anak lalu duduk di samping bapaknya. Kami saling berbalas senyum.
“Sudah berapa tahun Bapak merantau?”
“Ono paling 20 tahun.”
Saya hanya bisa membuka mulut lebar-lebar. Terperangah. Luar biasa. Pantas saja ketika melayani pembeli lain selagi saya makan, ia cukup fasih bercakap dengan logat Bugis. Dan sepertinya Pak Sugiyanto memiliki pelanggan setia, salah satunya seorang pemilik toko yang terasnya dipakai lapak berjualan bakso.

Anak perempuan Pak Sugiyanto beranjak dari tempat duduknya. Ia dipanggil teman-teman sekolahnya. Sepertinya bel masuk sekolah siang sudah berdentang. Sekolahnya persis di sebelah tempat kami duduk. Hanya dibatasi pagar sekolah. Dengan penuh takzim, sang anak mencium tangan bapaknya. Pamit sejenak untuk menuntut ilmu. Saya yakin dalam diamnya, sang bapak berharap anak perempuannya dapat sekolah setinggi mungkin. Tak lain, agar nasib hidupnya lebih baik dari bapaknya. Ini adalah sebuah kisah perantauan yang tak mudah. Perantauan saya menempuh studi sarjana di Malang masih belum layak disandingkan dengannya.
Sesaat setelah sang anak pergi, saya pun usai menyantap bakso yang segar ini. Sayang sekali saya harus segera bergegas kembali ke Kota Makassar. Selembar uang merah lima digit ditukar dengan tiga lembar uang bergambar sang kapten perang, Pattimura.
“Maturnuwun, Pak. Kulo nyuwun pamit, mau lanjut ke Losari,” tanganku menjabat erat tangannya. Kami berpamitan.
“Nggih, Mas, seng ngati-ati,” ucapnya.
* * *
Saya kembali berjalan menuju pertigaan di seberang sana. Masih terngiang pertemuan tak terduga tadi. Saat berjalan ke luar kota atau pulau, saya sangat menyukai bahkan mencari pertemuan dengan orang perantauan. Bukankah Imam Syafi’i menuliskan bait-bait syair yang indah tentang mulianya merantau di negeri orang? Dalam penutup syairnya, Imam Syafi’i berkata, “Jika engkau tinggalkan tempat kelahiranmu, engkau akan menemui derajat yang mulia di tempat yang baru, dan engkau bagaikan emas sudah terangkat dari tempatnya.”
Saya mencegat pete-pete merah di pertigaan besar itu. Saya kembali duduk di dalam sebuah transportasi publik yang pengap dan gerah. Ini sudah lewat tengah hari. Terik matahari selalu menemukan celah memanggang seisi pete-pete. Besi-besi yang membentuk bodi pete-pete ini jelas merupakan penghantar panas yang baik. Posisi saya di bangku depan sebelah sopir semakin menambah deras keringat yang bercucuran. Berjalan dan diam sama-sama menghasilkan keringat deras. Ini musim kemarau yang panas! Kemacetan yang sempat menghambat tak pelak membuat saya hanya bisa berpasrah diri menahan panas.
Pete-pete yang saya tumpangi berhenti di depan sebuah tugu yang tinggi. Monumen Mandala, sebuah saksi bisu mengenang pembebasan Irian Barat. Mengenang perjuangan melepaskan belenggu kolonial agar Irian Barat kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Dalam perjalanan negeri ini, terlihat nyata monumen itu masih bertahan. Kenangan dari perjuangan tersebut menyertai sejumput harapan saya agar Indonesia tetap menjaga tanah Papua.
* * *

Saya melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, usai membuang lelah di sebuah taman yang tak jauh dari Fort Rotterdam. Saya hanya mampir sebentar di benteng kura-kura itu.
Saya susuri kawasan pertokoan di sepanjang Jalan Somba Opu. Untuk sejenak, bangunan-bangunan toko melindungi saya dari teriknya matahari. Bangunan-bangunan toko yang berdempetan menciptakan suasana teduh. Setidaknya teduh, meskipun sebagian juragan dan karyawan toko tetap sibuk memainkan kipas.
Allahu akbar… Allahu akbar…
Allahu akbar… Allahu akbar…
Asyhadu alla ilaha illallah… Asyhadu alla ilaha illallah…
Asyhadu anna muhammadar rasulullah…. Asyhadu anna muhammadar rasulullah….
Ah! Sudah masuk waktu Asar rupanya. Saya mencari sumber suara azan itu. Ternyata berasal dari masjid kecil yang terimpit bangunan pertokoan. Saya bergegas masuk, menitipkan alas kaki pada seorang remaja tanggung. Ia bertugas menjaga barang titipan jamaah masjid.
Bilasan air wudu menjadi obat kesegaran setelah berpeluh melintasi kota Makassar. Sebuah kelegaan masih sempat bersimpuh dan menunaikan ibadah di atas karpet masjid yang empuk.
Sebelum terlena dan tertidur di dalam masjid, saya segera bangkit dari duduk dan melangkah keluar dari masjid. Tak lupa saya berikan uang infak sepantasnya ke dalam kotak amal, setelah saya mengambil kembali alas kaki yang dititipkan.
Angin pantai yang kering semakin terasa ketika saya meninggalkan masjid. Meninggalkan ruas jalan Somba Opu. Langkah kaki bergeser ke seberang, menginjakkan kaki di atas anjungan pantai yang agak kusam. Matahari kembali tanpa sungkan menyapa lapisan kulit sawo matang ini. Situasi yang membuat saya mempercepat langkah menuju seorang penjual es buah yang sedang mangkal. Persis di depan anjungan bertuliskan “PANTAI LOSARI”. Di bawah pohon yang rindang, saya segera duduk dan memesan seporsi es buah. Dengan cepat, semangkuk es buah sudah berpindah tangan.
“Rumahnya mana, Mas?” tanya penjual es buah itu tiba-tiba.
“Saya dari Malang, Pak. Tapi lahir di Pacitan,” jawab saya belepotan sembari menyeruput sesuap irisan alpukat.
“Oalah, wong Jowo pisan, tho! Aku yo Jowo, Mas.”
“Jowonipun pundi, Pak?”
“Tulungagung, Mas. Tapi bojoku wong kene.” jawabnya santai. Orang Jawa beristrikan orang Makassar.

Percakapan pun menjadi cair karena saya kembali bertemu dengan sesama orang Jawa. Selang beberapa menit kemudian, datang pedagang kripik umbi. Dia asli Benowo, Surabaya. Di belakang kami, ikut nimbrung seorang pedagang pentol dari Gresik. Jadilah, pertemuan ini semacam temu kangen walau saya tak pernah bersua dengan ketiganya. Mendadak siang jelang sore itu menghangat. Hangat karena tali persaudaraan sesama perantauan yang bersua bak kawan lama. Topik utama sore ini adalah pemilihan umum wali kota Makassar yang akan berlangsung.
“Yang ikut nyalon ada 10 pasangan, Mas. Akeh, tho?” sahut orang Tulungagung tadi, “Wakeh wong pede zaman saiki, Mas.” lanjutnya lagi sambil terkekeh.
Baru saja jadi rasan-rasan, iring-iringan konvoi salah satu calon wali kota berlalu di depan kami. Di tengah asyiknya ngobrol, penjual es buah asal Tulungagung itu tiba-tiba secara halus meminta mangkok kosong yang saya pegang.
“Sepurane, Mas, aku arep mlaku maneh. Arep ono razia satpol PP,” ujarnya halus sambil tersenyum.
“Oh, nggih, Pak”. Ah, singkat sekali pertemuan ini. Selembar uang Rp 10.000 saya serahkan padanya. Lalu ia pergi meninggalkan tempatnya dengan tergesa-gesa. Tapi saya percaya, Bapak penjual es buah yang tambun itu dapat segera menemukan lapak berjualan yang baru. Beberapa saat setelah ia meninggalkan lokasi, datang mobil Satpol PP berjalan perlahan. Sopir dan penumpang berseragam lengkap di dalamnya celingukan memantau situasi anjungan Pantai Losari.
* * *
Saya masih terduduk di tempat saya menikmati es buah tadi. Menerawang. Baru tahu ternyata sebenarnya kawasan anjungan Pantai Losari ini harus steril dari pedagang kaki lima. Cukup bagus, namun sebaiknya harus ada tempat khusus untuk menampung mereka. Lapak wisata kuliner di seberang anjungan tak akan cukup. Di anjungan masih cukup banyak anak jalanan dan pedagang asongan. Kadang-kadang mereka kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP.
Beruntung, saya menemukan penawar haus yang berasa di saat yang tepat. Sungguh meneguk air mineral tak cukup di siang yang terik ini.
Namun di samping itu, saya kembali bertemu dengan orang-orang rantau. Kisah-kisah mereka saat memulai perantauan begitu menggetarkan. Mencari kehidupan yang lebih baik walau hanya sesederhana itu. Meninggalkan tanah kelahiran, lalu menahan hasrat untuk pulang kampung bertahun-tahun karena belum cukupnya tabungan sebenarnya merupakan kisah yang getir. Namun, mereka berpikir setidaknya dapur masih mengepul untuk kebutuhan sehari-hari yang lebih layak disyukuri.

Saya berbalik badan. Mendekati tepi anjungan. Matahari masih saja bersinar terik. Saya datang terlalu awal di Pantai Losari, yang kabarnya merupakan salah satu lokasi terbaik untuk menyaksikan matahari terbenam.
Saya harus terus bergerak untuk memotret, sesekali mencari tempat berteduh. Keringat masih saja mengucur. Sepulang dari sini nanti saya harus mandi selama mungkin. Duh, senja, cepatlah datang! (*)
Foto sampul:
Sisi luar Istana Tamalate
Tinggalkan Balasan