“Jawa Tengah kuwi apik!”
“Ndhak iya? Ojo nggedebus kowe!”
“Blaik, tenanan, ‘og!”
“Piye jal, apike?”
Obrolan imajiner yang kadang kerap terngiang di kepala, saat saya dan orang tua mudik ke Pati, Jawa Tengah. Saat belum terlalu mengenal Jawa Tengah seisinya. Ketika hanya mengerti Pati, tanah kelahiran Bapak saya. Atau mengenal Surakarta, yang kadang disinggahi setelah mudik ke Pacitan, tanah kelahiran saya dan Ibu. Kala saya belum mampu memperluas sudut pandang dan memaknai perjalanan. Sungguh, jalur pantai utara dari Gresik ke Pati begitu membosankan. Hanya laut Jawa yang menghibur, selain itu tambak dan bukit kapur yang kerontang. Dulu saya meremehkan Jawa Tengah (khususnya sepanjang jalur pantura), yang perjalanannya tak seindah dan tak semembosankan melintasi Ponorogo-Pacitan.
Semakin beranjak usia, begitu banyak peluang untuk melebarkan sayap perjalanan. Semakin mata saya terbuka dan tak henti terpesona dengan provinsi Jawa Tengah dan seisinya. Kian nyata, saya mengagumi keindahan bentang alamnya, kekayaan sejarahnya, keragaman budaya dan seni batiknya, dan keramahan pribuminya. Ah, saya ingin mengenang sejenak jejak-jejak kaki yang sudah terpatri di beberapa tempat. Kawan, saya ingin berbagi pengalaman “per-JawaTengah-an” denganmu saat ini. Semoga nyaman menyimak sekelumit kisah singkat perjalanan saya dalam nuansa nostalgia. Namun sebelumnya, saya hendak menawarkan sesuatu. Untuk teman bercerita, Kawan mau teh atau kopi?
* * *
Gunung Merbabu
Pertama-tama, saya ingin tanya. Pernahkah kawan mendaki Gunung Merbabu? Sudah atau belum? Ah, sudahlah. Merbabu itu gunung berapi yang sudah lama diam. Gunung yang hijau hingga puncak-puncaknya. Saat pertama mendakinya bersama komunitas Gamananta dari jalur Tekelan, Kopeng, belum ada kesan apa-apa karena siang hingga sore itu turun kabut. Biasa saja, tapi jalur pendakiannya cukup nyaman dan ramah buat lutut dan kaki.
Namun begitu waktu senja tiba kala mendekati puncak pertama, Merbabu memberikan kesan pertama yang tak disangka-sangka. Pertama kalinya saya melihat gumpalan awan bergulung, seolah berada di bawah tempat kami berdiri. Segaris langit kekuningan hendak tenggelam dari balik cakrawala. Saat hendak tidur di tenda kami yang berdiri di puncak dua Pemancar, lautan awan senja tadi masih terbayang-bayang. Kesan apalagi yang diberikan di hari esoknya?

Cuaca cerah dan pemandangan eksotis adalah hadiah terindah yang diberikan Merbabu kepada kami. Terlebih saat berdiri di puncak ketujuh Triangulasi (3.145 mdpl). Di puncak terakhir sebelum kami turun melalui jalur Selo yang panjang, saya menyaksikan Gunung Merapi begitu gagah walau dikerubungi awan-awan. Punggungan-punggungan bukit begitu hijau dan menyegarkan mata. Sangat segar, kontras namun serasi dengan langit yang biru.
Satu lagi pemandangan tak disangka-sangka. Saat itu saya dan seorang teman sedang mengendarai motor dari arah Magelang, hendak ke Solo. Untuk memangkas waktu, kami memotong jalur dengan naik menyusuri Kopeng. Nantinya akan tembus ke Boyolali lalu kota Solo hanya dalam waktu tempuh 3 jam. Di tengah perjalanan setelah turun dari Kopeng, langit mulai beranjak gelap tapi menyisakan warna keunguan. Dan sesosok ancala berdiri begitu gagah membentang. Saat itu kami berhenti sejenak dan terpana dengan pemandangan tersebut. Saya seperti melihat sisi lain dari Gunung Merbabu.

Setelah jatuh cinta saat pendakian pertama, saya semakin kesengsem dengan gunung yang memiliki tujuh puncak itu. Ya, keberadaan tujuh puncak tertingginya -biasa disebut seven summits Merbabu– adalah alasan mengapa saya ingin mendakinya kembali suatu saat nanti.
Gunung Merapi
Inilah gunung yang legendaris. Banyak pendaki yang mendakinya sepaket dengan Merbabu. Memiliki huruf pertama yang sama dengan Merbabu, kedua gunung ini biasa disebut “2M”. Bukan saudara sekandung layaknya Gunung Sindoro dan Sumbing, melainkah lebih kepada dua tetangga dekat yang berbeda watak. Merbabu begitu kalem, Merapi begitu aktif.

Saat pendakian kedua ke Merapi lewat jalur Selo, Boyolali, saya dan kedua teman dari kampus negeri ternama di Solo saat itu hanya sampai Pasar Bubrah saja. Trek ke puncaknya yang cukup terjal membuat nyali saya ciut. Selain keterbatasan waktu, cuaca pagi itu sempat tak mendukung. Semalam kami meringkuk dalam tenda kecil menahan dingin. Sementara dinding tenda “bersusah payah” menahan tetesan air hujan yang malam itu mengguyur Pasar Bubrah.

Cukuplah kala paginya memandang panorama dari Pasar Bubrah. Semburat langit pagi keemasan yang tipis sempat terlihat di antara awan-awan kelabu. Sang tetangga dekat yang kalem, begitu jelas terhampar di depan mata. Sulit menebak cuaca di gunung ini. Memang, Merapi tak pernah ingkar janji. Seisi alamnya memang berjalan sebagaimana mestinya. Jika saatnya cerah, dia akan cerah. Begitu pula sebaliknya. Saya bersyukur, saat itu Merapi dalam keadaan “tenang” meskipun sempat terbatuk.
Dusun Bambangan, Kabupaten Purbalingga

Desa di atas awan, begitu saya menyebutnya. Pemandangan cantik saat pagi hari menjadi energi tambahan sebelum menembus hutan rimba Gunung Slamet. Dari teras rumah warga yang terletak di seberang basecamp pendakian, saya dapat melihat matahari terbit dan gulungan awan di bawahnya. Langit yang keemasan di ufuk timur menambah semarak pagi.

Sementara memutar badan, saya melihat Gunung Slamet begitu gagah dengan hutannya yang cukup lebat. Saat pagi di kaki gunung ini, warga dusun begitu gesit beraktivitas. Mayoritas adalah petani sayur. Ladang sayur begitu melimpah tak jauh dari gapura awal pendakian. Udara pagi yang masih dingin tak menghalangi warga beraktivitas.
Gunung Slamet
Dari sekian gunung yang pernah saya daki, pendakian Gunung Slamet bisa dibilang yang paling berkesan. Betapa tidak, naik dan turun pun memakan waktu yang sama: 11 jam! Trek lembab yang menanjak, menjadi berlumpur kala hujan deras turun. Di gunung ini saya banyak belajar tentang kesabaran, kekuatan tekad dan mental.

Tetapi, perjuangan selama perjalanan terbayarkan saat saya berdiri di puncak tertingginya yang bertanah merah (3.428 mdpl). Dari puncak gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa ini, lagi-lagi saya melihat gumpalan awan layaknya lautan. Sementara Gunung Sindoro dan Sumbing terlihat menyembul di antaranya. Agak tak menyangka sebenarnya saya setinggi itu berdiri di puncak Gunung Slamet.

Sampai sekarang saya benar-benar merenungi pendakian ke gunung yang kakinya menancap di lima kabupaten itu (Purbalingga, Banyumas, Tegal, Brebes, dan Pemalang). Dan merasa beruntung sempat mendakinya, karena semenjak saat itu hingga kini sudah lama gunung itu ditutup akibat aktivitas kawahnya yang masih membahayakan untuk pendakian.
Dataran Tinggi Dieng
Akhirnya bumi Sang Hyang saya pijak juga setelah hanya mendengar kemasyhurannya dari orang-orang. Kabar kemolekan Negeri Para Dewa itu sudah bukan rahasia lagi. Meskipun dulu hanya sempat dua hari semalam singgah, tetapi pengalamannya begitu membekas di hati. Mengapa begitu membekas?

Lelah usai mengendarai motor dari Jogja tiba-tiba hilang ketika saya dan Uki, teman perjalanan dari Malang, berhenti di tepi sebuah telaga. Telaga yang sunyi, hanya ada orang memancing selain kami. Rona warnanya mulai cerah seiring tersingkapnya langit usai gerimis. Di Telaga Dringo -masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara-, kami berkemah semalam. Dan keesokan paginya, telaga yang airnya untuk keperluan irigasi itu memantulkan cahaya pagi. Sunrise! Ini adalah kejutan yang diharapkan. Momen seperti ini nyaris serupa saat menyaksikan matahari terbit di Ranu Kumbolo, Gunung Semeru.

Setelah meninggalkan Telaga Dringo, kami mendapatkan kejutan lagi yang tak disangka-sangka. Mas Muhajir, seorang warga setempat yang baru saya kenal lewat Facebook, mengundang kami singgah ke rumahnya. Meskipun baru pertama kali pertama bertemu, kami sudah seperti saudara akrab. Keramahannya benar-benar tanpa pamrih, sebagai wujud kebahagiaannya akan tempat kelahirannya yang ramai dikunjungi wisatawan, termasuk kami.

Tidak hanya Dringo, dalam waktu yang terbatas kami menyempatkan mampir ke kompleks Candi Arjuna, Telaga Warna, dan Kawah Sikidang. Kelak jika saya diberi waktu yang cukup lagi, saya akan menuntaskan rasa penasaran akan anak rambut gimbal, mendaki Gunung Prau dan Pakuwaja, serta menyaksikan matahari terbit dari Bukit Sikunir yang populer itu.
Kota Semarang

Setelah sekian lama, akhirnya saya kembali menginjakkan kaki di ibukota provinsi Jawa Tengah. Di Kota Semarang. Kota ini selalu saya identikkan dengan panas dan terik. Namun, ada jejak-jejak sejarah yang sangat patut dikunjungi. Saya terkesan dengan penataan kotanya yang cukup rapi. Dan juga upaya serius dari pemerintah kotanya untuk menjaga bangunan-bangunan cagar budaya.

Selain Lawang Sewu dan Tugu Muda, daya tarik utama saat berada di kota ini adalah keberadaan Kota Lama. Pada kesempatan mengikuti workshop TravelNBlog ketiga di Semarang, Kota Lama menjadi salah satu destinasi utama. Semenjak pagi kala langit masih belum membiru, saya sudah berada di tempat ini. Seturunnya dari becak, saya mulai menyusuri sudut-sudutnya. Mengamati lekuk-lekuk bangunan peninggalan kolonial yang cantik.

Niat awal ingin berjalan kaki, tetapi saya sadar bahwa ada fasilitas berupa bis terbuka bernama Semar Jawi. Ternyata sangat menarik menyusuri kawasan Kota Lama dari atap bis. Percayalah Kawan, rasanya seperti berada di Eropa saja ketika melintas di tengah-tengah bangunan kuno. Teriknya siang tak saya hiraukan, karena sibuk merekam bangunan-bangunan kuno yang sudah lama menjadi saksi bisu perubahan zaman.
* * *
Mungkin cerita nostalgia ini dirasa panjang ya, Kawan? Sebenarnya masih ada lagi cerita tetapi kapan-kapan saja saya tuturkan kepadamu. Lagipula, saya lihat minumanmu sudah hampir habis untuk menemani obrolan kita.

Saya memang bukan orang Jawa Tengah seperti Bapak saya. Saya akan memahami jika kawan mungkin bertanya kepada saya, “Cuma segitu pengalaman jalan-jalan di Jawa Tengah?”. Dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah, yang disambangi cuma segitu? Memang, saya mengakui itu. Tetapi harap dimaklumi, kawan. Jawa Timur saja belum seluruhnya saya singgahi-saya kelahiran Pacitan-, apalagi provinsi tetangga. Tapi, saya merasa sedikit banyaknya pengalaman berwisata tak ada hubungannya dengan kesan. Dari sekelumit perjalanan saya ke Jawa Tengah, harus diakui bahwa Jawa Tengah lebih dari sekadar indah. Terlepas dari segala kekurangan yang ada, dari sedikit tempat tersebut telah berulang kali hati dan cinta saya dicuri.

Saya ini sudah telanjur jatuh cinta sama Jawa Tengah, Kawan. Jadi ketika hati sudah siap, tinggal langkah kaki saja yang melangkah. Saya sungguh-sungguh berharap jika ada waktu yang bersahabat, ingin rasanya menelusuri Jawa Tengah dari ujung ke ujung. Memang, tak akan cukup waktu yang tersedia untuk seluruhnya. Namun setidaknya, kawan, saya telah berkeinginan kuat. Segala daya tarik wisata alam, budaya, sejarah, kuliner akan saya cecap.

Maka, pernah saat saya berkesempatan meninggalkan Jawa Tengah setelah sempat singgah sebentar di Cemoro Kandang -basecamp pendakian Gunung Lawu di Karanganyar-, saya seolah kembali terlibat dalam obrolan imajiner di pikiran. Saat melintasi gapura perbatasan provinsi itu, seakan ada pertanyaan tanpa rupa. Seperti meminta penegasan terhadap pertanyaan remeh saya dulu tentang Jawa Tengah. Tetapi, ini bukanlah pertanyaan perpisahan.
“Yaopo Jawa Tengah, Nda? Apik?”
Saya tersenyum. Lalu menjawab lantang dalam hati,
“He’eh! Apik, ‘ik!” (*)
Foto sampul:
Siluet Gunung Muria dan sunset terlihat dari ladang tebu Wedarijaksa, Kabupaten Pati
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Utama Blog Visit Jawa Tengah 2015 Periode : 1 Juni – 4 Juli 2015
Tinggalkan Balasan