Tak bisa dipungkiri, Gunung Semeru dengan puncaknya yang bernama Mahameru merupakan gunung idaman bagi mayoritas pendaki Indonesia. Statusnya sebagai tanah tertinggi di Pulau Jawa menjadikannya ramai dikunjungi para pendaki demi kebanggaan individu maupun golongan. Dalam pendakian untuk yang keempat kalinya ini, saya membawa misi lebih dari sekadar gengsi. Menyaksikan matahari terbit dari Mahameru untuk yang pertama kalinya adalah hadiah terindah yang tak akan pernah saya lupakan.
Gunung Semeru terlihat melambai-lambai di kejauhan saat saya berdiri di salah satu puncak bukit tertinggi B29, Probolinggo. Pagi kala itu berselaput langit jingga keunguan. Guratan-guratan pasir dan bebatuan di tubuh Semeru menggoda saya untuk mencumbunya kembali dengan segera. Bersama Tomi, salah satu rekan yang ikut di B29, saya kembali mendaki gunung tertinggi di Pulau Jawa itu selang dua minggu kemudian. Mustofa dan Figur menambah komposisi pendakian menjadi genap empat orang. Misi kali ini adalah: menyambut matahari terbit dari Mahameru.

Wujud Gunung Semeru yang terlihat dari B29 kini terlihat dekat dari pondok pendaki Ranu Pani. Kami sudah berada di desa berketinggian 2.200 meter dari permukaan laut (mdpl) ini sejak kemarin siang. Selain untuk memesan kuota pendakian langsung di tempat, kami juga ingin memulai pendakian pada pagi hari. Sesegera mungkin tancap gas setelah proses administrasi beres. Dengan program pendakian 3 hari 2 malam, target hari pertama adalah langsung menuju shelter Kalimati (2.700 mdpl).
Sebelum berangkat, kami melewati proses administrasi yang agak rumit mulai dari check-list perlengkapan hingga membayar tiket masuk. Selembar SIMAKSI resmi distempel dan kami pegang sebagai bukti. Berlembar-lembar tiket masuk berwarna kuning turut terkait di atas SIMAKSI itu. Tepat pukul 09.30, kami mulai berjalan agak cepat. Saya menargetkan maksimal 6 jam perjalanan sudah harus sampai di Kalimati.
Setelah agak tersendat karena adanya rombongan yang berjalan agak lambat di trek awal selepas gapura selamat datang, langkah kaki kami melaju semakin cepat. Landengan Dowo, Pos I, Pos II, Watu Rejeng, dan Pos III kami lewati begitu saja tanpa menyempatkan istirahat sejenak saja. Kami baru benar-benar istirahat sekitar 10 menit di ujung tanjakan setan di atas Pos III. Trek selanjutnya yang datar dan berputar-putar menuju Pos IV kembali kami lalui dengan berjalan cepat, sesekali setengah berlari. Bahkan Pos IV pun kami lalui begitu saja dan setengah berlari menyusuri turunan berdebu hingga tiba di areal camp di sisi utara Ranu Kumbolo. Di sinilah tempat pertemuan jalur dari Ayek-Ayek dan Watu Rejeng.

Merasa kepalang tanggung, kami terus berjalan dan sepakat untuk beristirahat di ujung Tanjakan Cinta. Fisik saya mulai agak terkuras ketika menapak Tanjakan Cinta yang berdebu. Saya menghela napas lega ketika duduk nyaman di ujung tanjakan ini, menghadap savana Oro-oro Ombo.
“Sudah berapa jam kita berjalan, Tom?” tanya saya ke Tomi.
“Baru 3 jam 15 menit.”
Puas mengisi perut dengan biskuit dan meneguk air mineral, kami kembali melanjutkan perjalanan. Otot kaki dan lutut yang sempat melemas kembali dibuat tegang menyusuri turunan curam dan berdebu untuk menuju Oro-oro Ombo dengan cepat. Bunga berwarna ungu di tengah-tengah ilalang masih tumbuh dan terlihat mempercantik Oro-oro Ombo.
Karena berjalan terus nyaris tanpa istirahat cukup, fisik saya kembali terkuras ketika berada di tengah-tengah Cemoro Kandang. Tak pelak, saya sering meminta break untuk mengatur napas. Akhirnya, setelah berjalan 2 kilometer melewati Jambangan yang mana kami sudah melihat Semeru dengan jelas dan bunga edelweiss mulai sering terlihat, kami tiba di shelter Kalimati. Total perjalanan yang telah ditempuh adalah 5,5 jam. Lebih cepat 30 menit dari target kami. Mengambil air di Sumber Mani, masak, makan, menyiapkan perlengkapan tempur untuk ke puncak, dan tidur adalah aktivitas wajib sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak malam nanti.

Menuju 3.676 mdpl
Pukul 22.15, kami berempat mulai berjalan meninggalkan Kalimati. Kami sengaja berjalan lebih awal agar tidak berjumpa dengan kepadatan pendaki di tengah jalan. Karena jalur lama telah longsor, kami melewati jalur baru yang sudah diberi petunjuk cukup jelas.
Trek awal berupa kerikil yang cukup landai lalu berbelok ke kiri menanjak cukup terjal. Debu-debu pun rajin beterbangan. Sayup-sayup Semeru yang tadi masih terlihat jauh, kini terhalang dengan lebatnya hutan Arcopodo di atas jalur lama. Baru berjalan 1 jam, pintu perbatasan vegetasi yang dikenal dengan sebutan Kelik sudah di depan mata. Igir-igir tipis namun tidak terlalu panjang yang biasa saya sebut igir-igir sirathal mustaqim menjadi jembatan penghubung dari vegetasi hutan menuju hamparan pasir yang penuh bebatuan labil. Pendakian yang sesungguhnya baru dimulai setelah dimanjakan banyak bonus trek dari Ranu Pani hingga Kalimati.
Menyusuri trek barpasir menuju Mahameru bukan persoalan mudah dan selalu menyulitkan bagi siapa pun. Naik tiga langkah, turun merosot dua langkah. Seolah-olah langkah kaki sia-sia saja. Seolah-olah tetap tak beranjak dari tempat. Udara dingin, angin yang berhembus cukup kencang, dan debu-debu beterbangan menjadi penghalang ampuh yang bisa membuat pendaki frustasi. Tak hanya itu, karena tanpa naungan pepohonan satu pun, ancaman hujan badai, petir, dan hembusan asap beracun dari kawah Jonggring Saloka bisa datang setiap saat tanpa diduga. Saya pikir, rasanya fisik sebenarnya sudah berada pada titik batas akhir. Hanya mental berbalut tekad dan semangat yang menutupi kelemahan fisik itu. Ya, ketangguhan mental adalah senjata terampuh menghadapi trek seperti ini.
Waktu sudah menunjukkan pukul 02.30, kami istirahat sejenak di antara cerukan miring. Melihat ke bawah, berasa sudah tinggi sekali. Kerlip sorot headlamp pendaki terlihat menyemut dan tersebar di tiga tempat, di Kalimati, di tengah hutan Arcopodo dan di Kelik. Kami bersyukur bisa berjalan lebih dulu daripada mereka. Tiba-tiba terdengar suara berdebum dari arah puncak. Asap beracun dari kawah Jonggring Saloka kembali membumbung ke angkasa. Arah angin sepertinya belum menyapu dataran puncak.
Sejam kemudian, kami menyusuri beberapa cerukan berkelak-kelok. Saya merasa puncak tinggal sedikit lagi. Benar saja, setelah 5,5 jam berjalan santai dari Kalimati, kami akhirnya tiba di puncak Mahameru. Sudah ada satu pendaki asal Batu yang tiba di puncak setengah jam yang lalu. Karena sekeliling masih gelap dan kami mulai menggigil kedinginan, kami kembali ke cerukan tadi untuk tidur sejenak.
Selamat Pagi, Mahameru!
Suara Figur membangunkan saya. Sudah satu jam rupanya kami tertidur. Ketika mata membuka, semburat jingga mulai muncul di atas garis cakrawala. Kami segera bergegas bangkit dari tidur dan kembali berjalan ke puncak. Tak ingin melewatkan momen menakjubkan itu, kami segera menunaikan salat Subuh terlebih dahulu dengan sedikit menggigil kedinginan.
Sembari mempersiapkan kamera dan tripod yang saya bawa, saya sempatkan melihat ke arah jalur pulang. Satu per satu pendaki mulai bermunculan tiba di Mahameru. Sama seperti mereka, saya pun ikut berlomba mengabadikan pemandangan yang tersaji begitu luar biasa pagi ini. Di tengah menggigil menahan dingin, saya berusaha fokus memotret rupa-rupa pagi ini. Saya benar-benar bersyukur misi menyambut matahari terbit dari Mahameru telah tercapai. Rasa kantuk dan lelah terbayar lunas sudah ketika berdiri di sini.

Objek utama kala pagi itu hanya satu, dari arah timur. Garis panjang jingga bagai lukisan yang dipancarkan matahari. Saya berulang kali mengubah posisi tripod dan kamera demi mencari komposisi yang pas. Saat asyik memotret, terdengar suara berdebum lagi dari kawah. Asap beracun itu kembali membumbung tinggi ke angkasa. Semua pendaki bersorak dan berhamburan menuju ke arah letusan rutin itu demi mendapatkan foto yang bagus. Saya tak munafik, sekalipun berbahaya, pemandangan seperti itu benar-benar langka dan sangat eksotis.
Beberapa menit kemudian, matahari mulai menampakkan diri dari balik awan mendung. Langit pagi itu memang tidak terlalu bersih. Tapi, adanya pola awan mendung dan semburat cahaya pagi kombinasi ungu-jingga-kuning justru menambah semarak pagi dan unik.
Di kejauhan, Gunung Argopuro yang panjang dan Gunung Raung di belakangnya mulai terlihat berselimut gulungan awan. Ya, lautan awan yang bergulung di sisi timur Mahameru melebihi ekspektasi saya. Pengalaman serupa seperti saat pendakian ke Gunung Arjuno sebelumnya. Saya tidak menyangka ternyata pagi itu Allah memberikan hadiah lautan awan untuk disaksikan dan dinikmati keindahannya. Bergulung-gulung bagaikan kapas. Ketika menengok ke arah barat daya, Gunung Arjuno dan Welirang juga terlihat terselimuti awan. Pegunungan Kawi di selatannya terlihat memanjang.
Di sebelah utara, asap masih rajin mengepul dari kawah Bromo. Lebih jauh lagi terlihat kecil pemancar-pemancar di Pananjakan 1. Melihat ke bawah, savana Kalimati, Jambangan dan Oro-oro Ombo terlihat begitu kecil. Di sebelah selatan, garis pantai selatan Malang-Lumajang terlihat cukup jelas. Semuanya benar-benar berada di bawah tempat kami berdiri.

Puas menikmati Mahameru, kami segera turun ke Kalimati. Sempat pula kami tertidur di dalam tenda karena saking lelahnya. Begitu terbangun, kami segera beringsut mengemas kembali semua perlengkapan (repacking). Malam ini kami akan singgah semalam di Ranu Kumbolo sebelum pulang keesokan harinya. Di Ranu Kumbolo, kami akan makan besar. Kami memanjakan diri saat tidur dengan berselimutkan sleeping bag yang hangat. Ingin rasanya memotret bintang gemerlap di langit Ranu Kumbolo, namun sayang ketika menengok keluar tenda, mendung masih setia menutup langit. Tak apalah, bisa berkesempatan melihat matahari terbit dari Mahameru sudah lebih dari cukup bagi kami. Sebuah pengalaman yang tak akan terlupakan.

Foto sampul:
Lautan awan puncak Mahameru
(Tulisan ini dimuat dalam Rubrik Journey, Sriwijaya Inflight Magazine Edisi Juni 2015)
Tinggalkan Balasan