Mas Ari, saya sudah di depan BSD Plaza. Begitu isi SMS-nya. Yang saya ketik dan kirimkan seturun dari angkutan kota berwarna biru langit. Kemudian, saya melipir ke sayap kanan plaza. Duduk manis menunggu Mas Ari menjemput di depan pagar menjulang kantor GraPARI Telkomsel BSD (Bumi Seprong Damai) City. Ya, ini adalah yang disebut kota di dalam kota. Di mana belasan mal berdiri menutupi resapan air. Ini memang masih di provinsi Banten, namun nuansa khas Jakarta begitu kentara. Sisi Banten Lama yang terik, kumuh dan berantakan; langsung berubah drastis dengan sisi Banten di tempat saya duduk menunggu.
Hampir 15 menit kemudian, datanglah Mas Ari dengan motor matiknya. Kami putar balik, lalu melaju dengan kecepatan sedang ke Pondok Aren. Kediaman Mas Ari dan keluarga kecilnya.

Assalamu ‘alaikum…
Mbak Nenny dan Keenan menyambut kedatangan kami dengan senyum. Keenan tampak tenang dan nyaman di gendongan ibunya. Saya jelas langsung gemas melihatnya. Percayalah, waktu bayi saya dulu tidak segemuk itu.
Baru saja meletakkan barang dan mendudukkan diri, Mas Ari langsung mengajak makan. Ah, saya merasa sungkan. Baru saja datang, menyeka keringat sudah diajak makan. Bentuk penghormatan Mas Ari kepada tamunya. Karenanya, sebagai bentuk penghormatan saya pula, saya mengiyakan ajakannya. Lagipula, menu sore itu hasil masakan Mbak Nenny. Kali ini saya mendapatkan kesempatan mencicipi masakannya yang terkenal lezat. Ah, dasar anak kuliahan! Dasar anak kos! Ada makanan langsung saja rasa kantuk dan lelah hilang. Maafkan saya, Mas Ari, Mbak Nenny…
Obrolan kecil sesekali menyela lahapnya makan saya dan Mas Ari. Saya berusaha bercakap gado-gado. Kadang-kadang berbahasa Indonesia, kadang-kadang menggunakan bahasa Jawa krama alus. Meskipun ini kali pertama kami bertemu, namun saya merasakan kedekatan. Lebih dari sekadar faktor pertemanan. Mereka berdua sama-sama dari Pati. Pati, kabupaten kecil di pantai utara Jawa Tengah, juga merupakan tanah kelahiran Bapak saya.
“Nanti kalau pas mudik lebaran semoga bisa ketemu di Pati,” kata Mas Ari. Semoga kami bisa bertemu lagi di Pati.
Syukurlah, perut kembali terisi dengan santapan lezat ala Mbak Nenny. Memori serasa kembali ke Pati, dengan rasa kulinernya yang khas. Usai makan, saya izin untuk mandi lalu salat.
Sungguh, saya sebenarnya masih ingin ngobrol lebih banyak dengan blogger yang beralamat di buzzerbeezz.com ini. Blogger yang sudah banyak menorehkan prestasi. Silakan simak saja laman blognya, kita akan menemukan banyak pengalaman yang telah dia peroleh dari menulis. Mas Ari merupakan salah satu orang yang tepat jika ingin mengenal dunia blogging dan keuntungan-keuntungannya. Juga keasyikan-keasyikannya.
Atau, mampir ke blognya Mbak Nenny untuk mencoba resep masakannya? Ah, mereka berdua serasi sekali. Memiliki kegemaran yang sama. Kehadiran Keenan adalah mutiara pemanis keluarga kecil mereka. Doa saya, Keenan akan mewarisi kecerdasan dan kehebatan kedua orang tuanya.
“Kamu jadi ketemu sama Cumi jam berapa, Qy?” tanya Mas Ari memastikan.
“Sekitar jam 19.00, Mas.”
Arloji saya menunjukkan waktu pukul lima sore kurang sedikit.
“Kalau begitu berangkat sekarang saja. Naik KRL saja, aku antar ke stasiun Sudimara.”
Benar juga, sore-sore begini adalah waktu pulang kerja. Terbayang di benak saya stasiun dan gerbong KRL yang sesak.
Maka, segera saya berkemas, memasukkan peralatan mandi ke dalam ransel. Sementara kamera dan tripod, masih saya pergunaka untuk foto bersama. Dan saya memegang gemas jemari Keenan yang mungil saat berfoto.
“Mbak Nenny, Keenan, kulo pamit rumiyin. Ngapunten ngrepoti. Semoga bisa bertemu lagi di lain kesempatan, syukur-syukur saat lebaran di Pati.” Salam saya takzim. Saya pamit, meninggalkan Pondok Aren menuju stasiun Sudimara.
Langit sore gelap lebih awal. Karena mendung.
* * *
“Mas Cumi, saya sudah di dalam KRL menuju Tanah Abang.” Begitu isi pesan dalam Whatsapp saya. Senin Malam ini, ada satu pertemuan lagi sebelum besok Selasa sore saya kembali ke Malang.
Saya beruntung masih mendapatkan tempat duduk dari Sudimara ke Tanah Abang. Namun berdiri untuk sejenak ketika ganti KRL ke Sudirman yang tidak terlalu memakan waktu lama. Tepat pukul 18.50 saya tiba di Sudirman.
Pikir saya, Grand Indonesia yang menjadi tempat pertemuan kami akan langsung di depan mata begitu saya keluar stasiun. Ternyata, masih harus berjalan kurang lebih 10 menit.
Memasuki lobi bawah Grand Indonesia, petugas keamanan menghentikan langkah kaki saya dan meminta membongkar ransel saya untuk sejenak.
“Habis dari mana bawa carrier begini?”
“Biasa, Pak. Saya habis main ke Taman Nasional Gunung Halimun Salak beberapa hari lalu.”
“Oke, silakan.” Syukurlah dia tersenyum ramah.
Lalu saya celingukan mencari petunjuk lokasi food court. Ada di lantai tiga. Tapi, mal ini luas sekali. Walau, masih lebih melelahkan berjalan kaki di dalam Tunjungan Plaza 1-3 di Surabaya.
Akhirnya, pertemuan Senin malam ini pun terwujud.
Di sebuah meja makan dalam food court tersebut, duduklah Mas Cumi yang tenar dengan cumilebay.com-nya, Mbak Dita dengan malesmandi.com-nya, dan Mbak Winny dengan winnyradc.wordpress.com-nya. Kesemuanya heran dan dengan bawaan saya yang mungkin “tak seharusnya” digotong ke dalam mal.
Obrolan malam itu, di food court Grand Indonesia, sangat ramai. Mas Cumi selayaknya pembawa acara sebuah talkshow, ada saja topik yang dilempar dan dibahas. Pengalaman perjalanannya luar biasa, begitu pula ke-istiqomah-annya untuk menampilkan ciri khasnya di setiap perjalanannya. Meluncur saja ke blog warna-warninya, kelak Anda akan tahu apa ciri khas itu.
Sajian makan malam menjadi penyegar, sesekali kami lahap. Saya bersyukur dan sangat berterima kasih sudah ditraktir oleh Mas Cumi yang baik hati.

Termasuk Mbak Dita dan Mbak Winny, mereka bertiga sudah lama berkecimpung di dunia blogging, khususnya terkait perjalanan (traveling) dan segala macam isinya. Dan kami berempat di sini, adalah wajah-wajah yang haus liburan. Haus rasa penasaran tentang tempat-tempat untuk melepas rutinitas.
Setiap dari kami saling berbagi cerita dan pengalaman. Tanpa terasa, ternyata dua jam pertemuan kiranya kurang cukup. Aduhai, waktu memang berkuasa. Tiba-tiba saya sudah rindu saja untuk melanjutkan obrolan di lain waktu.
Tapi kami (harus) berpisah sementara. Di luar Grand Indonesia, kami berpencar. Sendiri-sendiri, kecuali saya dan Mbak Dita. Kami berdua menumpang busway menuju shelter Monas. Di sanalah kami berpisah.
Saya menaiki busway yang lengang. Selengang jalanan menuju Ragunan yang sisi-sisinya perlahan mulai terlelap. Hanya derit badan dan kursi bus ini saja yang bersuara nyaring di setiap gelombang jalan.
Ini malam terakhir saya di Jakarta.
Tinggalkan Balasan