Sungguh bisa dibilang saya sama sekali nyaris tidak terkesima. Apalagi terkesan. Mungkin lebih patut dibilang terpana dan terperangah. Namun, terpana dan terperangah yang malah berujung empati. Saya terkejut. Saya tak akan panjang lebar bertutur, demikianlah ini apa yang terlihat.
Hanya langit biru yang menghibur.
“Langitnya lagi bagus, Om,” kata saya kepada Om Tio. Bersama Abyan, kami bertiga menyusuri Banten Lama dengan perasan keringat. Cerah, namun terik.

Benteng Surosowan
Benteng ini dulunya mengelilingi areal 3 hektar istana keraton Surosowan. Dibangun dalam kurun waktu antara tahun 1552 hingga 1570 M, pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin. Keraton lalu mengalami beberapa kali penghancuran. Pertama pada tahun 1680, dan kedua pada tahun 1813. Penghancuran kali kedua adalah yang terparah, dihancurkan total atas instruksi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Daendels (Kemdikbud).

Kini Surowosan hanya menyisakan benteng yang terkesan rapuh, sekarat. Diselimuti tanaman rambat dan rerumputan liar. “Dijaga” oleh gawang sepak bola dari bambu.
Tempat-tempat itu hanya dilindungi secarik kertas, bergores tinta hitam di atas putih. Bergores tanda tangan pejabat penting dan berstempel garuda. Undang-undang. Nyatanya, undang-undang tak mampu menjamin orang-orang di sekitarnya sesadar tulisan-tulisan hitam di atas putih tersebut.

Museum Kepurbakalaan Banten Lama
Ternyata hari Senin malah libur. Kami tidak bisa masuk museum. Anak-anak sekolah pun hanya menjalani pelajaran sejarah di salah satu sudut halaman museum. Guru-gurunya menerangkan lantang menantang panas yang berkesan kerontang.

Ada pepatah “Don’t judge the book from the cover”. Saya sebenarnya tak berani menilai lebih jauh bagaimana nasib artefak-artefak di dalam museum., melihat tampak luar museum yang mirip rumah dinas pemerintahan tersebut. Atau malah lebih mirip bangunan kepala SMA saya dulu. Persis! Saya justru membaca dari artikel-artikel teman-teman blogger, mayoritas mengatakan artefak-artefak di sana banyak yang berselimut debu.
Apalagi artefak-artefak yang terserak rapi di halaman museum. Selain berselimut debu, juga tergerus angin. Meskipun sebagian besar diberi naungan, namun pagar pembatasnya rendah. Hanya sebatas perut anak sekolah tersebut. Semoga aman-aman saja.

Masjid Agung Banten
Sepeda motor Om Tio dibiarkan terparkir di sudut halaman museum yang teduh. Selanjutnya kami berjalan menyusuri jalan sempit yang diimpit warung-warung. Om Tio mengajak saya melewati celah sempit untuk masuk kompleks halaman depan masjid. Untung kami sama-sama kurus. Hanya bawaan tripod dan tas kamera saya memang harus dibopong ke depan supaya bisa masuk. Jika menyamping, ternyata tidak muat.

Saya terkejut, masjid dengan gaya arsitektur yang cantik tersebut seperti terkurung. Kontras. Menara masjid yang kabarnya selalu disebut-sebut Belanda dalam berita karena kekhasannya. Kini seperti tubuh yang jelita namun berpakaian lusuh dan kumal ala gelandangan. Coba Anda berkunjung ke artikel Wikipedia berikut tentang Banten Lama. Di sana ada foto perbandingan rupa masjid di tahun yang berbeda. Sungguh, saya yakin dulunya masjid ini asri.
Masjid agung tersebut memang “menghidupkan” sendi perekonomian masyarakat sekitar. Juga “menghidupkan” denyut masjid itu sendiri, selain salat lima waktu dalam sehari. Di sana terdapat kompleks pemakaman sultan-sultan Banten dan keluarganya. Wisata andalan bagi pelaku religi. Namun berserakannya warung-warung bambu dan terpal berwarna-warni, bukan sesuatu yang bijak untuk “menghidupkan” masjid bersejarah ini.

Benteng Spellwijk
Kami kembali ke halaman museum untuk mengambil motor Om Tio. Om Tio lalu melajukan motor menjauhi museum dan kompleks Masjid Agung Banten. Siang semakin terik. Lalu motor berbelok ke kanan, menyeberangi jembatan yang dibawahnya terdapat sungai yang airnya tak mengalir. Tapi memikat masyarakat sekitar untuk memancing. Motor Om Tio terhenti di dalam kompleks Benteng Spellwijk.
Kesan pertama di sini, saya pikir memang ini dulunya benteng. Namun karena hamparan rumput hijaunya cukup luas, saya malah berpikir seperti masuk ke dalam stadion sepak bola. Dinding-dinding benteng tegak tanpa tribun. Penonton mungkin harus berdiri jika ada pertandingan sepak bola di sini. Sementara, sampah-sampah berserakan di setiap sudut benteng jelas bukan peninggalan bersejarah. Mungkin seperti Benteng Surosowan, saat malam bisa saja berubah “fungsi”. Bedanya, di Benteng Spellwijk tidak terdapat pagar dan gembok yang melintang.

Saya mencoba naik ke salah satu sudut benteng. Di depan saya terlihat pucuk gerbang Vihara Avalokitesvara. Di sektar tempat saya berdiri, semak belukar, rerumputan tumbuh liar. Menyegarkan, namun liar. Kontras dengan bangunan benteng yang kusam. Jangan-jangan di sini bisa jadi tempat bercocok tanam? Entahlah.
Ketika kami beranjak pergi dari benteng ini, beberapa anak muda mendekati benteng. Hanya bermotor, muda-mudi. Tanpa ada guna sepertinya selain menghabiskan waktu siang di sisi luar benteng yang teduh. Ah, saya berpikir positif saja. Mungkin mereka sedang belajar tentang sejarah benteng ini. Atau barangkali memikirkan nasib perawatan benteng ini ke depannya. Tertawa getir.

Vihara Avalokitesvara
Berjarak sepelemparan batu dari Benteng Spellwijk, kami menyeberang ke Vihara Avalokitesvara. Bangunan vihara ini sangat cantik. Warnanya khas, mencolok mata. Terkesan berapi-api, beriring dengan teriknya siang yang memanggang Banten Lama. Suasana tenang dan damai begitu khas saat masuk ke dalamnya. Melewati gerbang dengan dua patung naga yang beradu di atasnya.

Hanya terdapat beberapa pekerja di bagian sayap kiri vihara. Saya agak sungkan memasuki kawasan vihara lebih jauh. Selain karena waktu yang terbatas. Hanya saja, saya memiliki kesan positif tentang salah satu vihara tertua di Indonesia ini: bersih. Ya, bersih dan rapi. Setiap benda atau ukiran di seluruh penjuru vihara memang seperti diletakkan sesuai porsinya. Nilai estetikanya dijunjung amat tinggi.
Sekilas, memang hanya bangunan vihara ini yang rapi di kawasan Banten Lama. Tak seperti di sekitarnya yang (maaf) berantakan.

Menara Masjid Pacinan Tinggi
Gerbong kereta api melaju dengan kecepatan sedang, membelah Banten Lama. Perlintasan tersebut tanpa palang pintu, hanya sesekali dijaga sukarelawan setempat. Yang berharap recehan dari pengendara yang lewat. Tak sampai 50 meter dari perlintasan tersebut, Om Tio menghentikan motornya. Di seberang kami, berdiri sebuah bangunan (yang disebut) mesjid.

Mesjid Pacinan Tinggi. Saya tak mendapat informasi yang jelas tentang masjid ini. Namun, menurut info yang tertera dalam artikel Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang, dulunya merupakan masjid di kawasan pemukiman Cina. Dibangun oleh Sunan Gunung Jati pertama kalinya, lalu diteruskan Maulana Hasanuddin. Masjid ini dulunya dibangun karena banyak pedagang Cina yang bermukim di sekitar tempat tersebut.
Namun nasibnya tak seberuntung Masjid Agung Banten yang tetap utuh. Pacinan Tinggi hanya menyisakan menara, mihrab, serta sisa pondasi bangunan induk yang terbuat dari batu bata dan batu karang. Statusnya pun seperti kabur. Itu yang saya tangkap melihat tulisan “Benda Cagar Budaya” pada papan terpotong.

Istana Keraton Kaibon
Om Tio kembali melajukan motornya. Menyusuri jalanan Banten Lama yang berdebu dan gersang. Saya diajak Om Tio mengunjungi destinasi terakhir. Reruntuhan Istana Keraton Kaibon.
Penduduk setempat bersaksi, Kaibon dulunya merupakan istana keraton yang megah. Dibangun untuk tempat tinggal Ratu Aisyah, sang ibunda dari Sultan Syafiudin. Lalu Belanda, lewat perintah Gubernur Jenderal Herman Daendels menghancurkannya sekitar tahun 1832 (Antara).

Kemegahan itu kini lenyap. Hanya reruntuhan yang tersisa. Tanahnya yang agak lembek, menandakan kalau hujan turun dengan deras, tempat ini akan tergenang banjir. Belum lagi, kaum-kaum pendatang yang mungkin saja ingin menyerobot sebagian lahan istana untuk pemukiman. Istana Keraton Kaibon pun semakin terdesak. Serupa dengan jejak reruntuhan Banten Lama lainnya. Bayangan “terancam punah” pun seperti sudah menunggu di depan mata.
* * *

Saat pulang dari Banten, saya bilang ke Mbak Noe, istri Om Tio begini, “Mbak, jujur saya hampir tidak mendapatkan impresi positif saat berkunjung ke Banten Lama. Bolehkah saya menuangkan tulisan apa adanya sesuai yang saya lihat di blog nanti?”
Mbak Noe mengiyakan. Sebagai warga Serang pun, ia juga sedih melihat Banten Lama yang (semakin lama) semakin merana. Seakan Banten Lama tak bisa menjual diri sebagai objek wisata yang menarik, kecuali wisata religi. Orang-orang yang haus wisata sejarah kejayaan Banten Lama akan tak terpuaskan. Akan tetap dahaga batin. Kecuali meneguk minuman es di tengah siang yang terik, menghapuskan dahaga jasmani.

Ini memang Banten Lama. Kota kuno. Namun, semoga pemikiran kita tak sekuno waktu. Pemikiran kini harus global, namun bertindak sesuai kearifan lokal. Karena Kesultanan Banten pernah berjaya, sebelum digerogoti Belanda. Harusnya, ada kebanggaan untuk mengembalikan romansa kejayaan masa lampau. Ibarat pisau tumpul yang akan tajam jika diasah kembali. Ibarat bunga layu yang mekar dan segar ketika disiram air.
Banten Lama seperti taman bermain yang dulunya cantik. Namun karena pemiliknya (pemangku kebijakan) memilih abai, perlahan taman bermain itu mulai tak terurus. Wahana-wahana bermainnya mulai mengelupas, kusam, dan kehilangan nilai jual. Pikiran negatif saya menubruk dinding kepala begitu keras, seperti inikah rupa peninggalan kepemimpinan sang ratu dinasti Banten itu?
Saya pun hanya mengelus dada selepas berpamitan dengan Om Tio dan Mbak Noe sekeluarga. Berdiri di dalam bis ekonomi non AC menuju Tangerang. Pikiran saya jauh menerawang di luar tol Serang Timur. Ayolah Banten, bangkitkan dirimu wahai kota intan yang kini tenggelam. Bangkitlah!
Foto sampul:
Langit biru pelipur lara di Banten Lama
Tinggalkan Balasan