Bis dengan warna kebesaran dominan kuning dan merah kami naiki agak tergesa. Bis berpendingin udara tersebut nyaris penuh. Beruntung, saya, Mbak Noe dan kedua anaknya (Daffa-Abyan) mendapatkan tempat duduk. Setidaknya, kami mendapatkan “angin” segar yang kontras dengan hawa di luar bis yang sangat terik. Menyengat.
Lalu di mana Om Tio dan Muchlis? Mereka berdua kembali ke rumah Mbak Noe, mengambil bekal piknik. Jadi, mereka akan menunggang motor bebek kesayangan Om Tio ke Merak. Setibanya di sebuah warung dekat Polsek Pulomerak, saya kaget ketika Mbak Noe menyampaikan pesan dari Om Tio.
“Di rumah hujan.”
Cuaca begitu cepat berubah. Serang yang tadi terik saat kami naik bis, mendadak basah karena hujan. Tapi memang, saya melihat gumpalan awan kelabu-hitam ke arah timur. Semoga mendung yang hendak menghasilkan hujan itu tak cepat bergeser ke Merak. Atau biarlah tertahan di Serang sana. Seperti kami yang tertahan sejenak di depan warung yang tutup ini. Menunggu peserta piknik bermunculan satu per satu.
Orang pertama yang menyusul kami adalah Mas Agung. Penggemar touring ini datang dengan motor berkopling 150cc kesayangannya. Berikutnya Mas Ihwan dengan motor bebek 110cc-nya. Seiring kedatangan Mas Ihwan di seberang jalan-tepatnya di gang masuk dermaga-, kami menghampirinya. Sebelum menuju dermaga, Mbak Noe menyempatkan mampir ke minimarket untuk belanja tambahan bekal.
Karena Om Tio dan Muchlis tak kunjung datang-mungkin terjebak hujan-, kami berenam memutuskan menyeberang dulu ke Pulau Merak Kecil. Sembari menitipkan kabar terlebih dahulu kepada Om Tio, agar menyusul sesampainya di dermaga nanti.
* * *
Perahu bermesin satu melaju sedang meninggalkan dermaga. Suaranya tak terdengar terengah-engah, layaknya ojek kapal yang membawa saya ke Kampung Komodo. Maklum, penyeberangan ke Pulau Merak Kecil tak memakan waktu lama, tak sampai 15 menit. Sepuluh menit mungkin, bahkan bisa jadi kurang dari itu. Yang agak lama adalah proses naik dan turun. Basah tak masalah, namun perlu kehati-hatian supaya tidak terpeleset di antara karang-karang.
Setibanya di tepi pulau, kami segera mencari tempat yang pas untuk bersantai. Rupanya tak hanya kami saja yang menikmati pulau, cukup banyak para kawula muda-tua di sana. Sementara, mendung yang mendekati Pulomerak sepertinya segera berlalu. Di balik kelabu itu, saya melihat langit biru yang menanti muncul. Saya yakin, tak lama lagi cuaca akan kembali cerah, terang, dan terik pula pastinya.

Akhirnya kami menemukan titik paling nyaman untuk berpiknik. Agak masuk sedikit sehingga terlindung di bawah naungan pepohonan. Walaupun, keberadaan sampah yang cukup banyak berserakan di pulau ini kurang sedap dipandang. Yang jelas, sampah-sampah tersebut ulah manusia. Sangat disayangkan, mungkin dikarenakan lokasinya yang gampang dijangkau dari Pulomerak. Sehingga banyak pengunjung, berimbas pada banyaknya sampah. Saat itu, kami baru sanggup bertanggungjawab terhadap sampah kami sendiri.
Tak sampai sejam kemudian, terdengar derap kaki mendekat. Dari arah penurunan penumpang, terlihat dua sosok berjalan ke tempat kami. Om Tio dan Muchlis sudah tiba dan segera bergabung dengan kami. Hujan deras di Serang agak menghambat langkah mereka ke sini.
Sebelum menceburkan kaki ke air laut, saatnya untuk makan siang terlebih dahulu. Menu siang itu sederhana namun istimewa. Nasi putih ditemani dengan Sate Bandeng yang menggoda lidah. Kuliner tersebut menurut Mbak Noe merupakan resep legendaris dari zaman Kerajaan Banten. Saya sangat menikmatinya. Saya sangat kenyang, karena kami makan bersama-sama. Saya sangat kenyang, karena pemandangan ke segala penjuru cukup memanjakan mata.
* * *

Usai makan, kami bersama-sama beranjak menuju tepi laut. Tas, pakaian, atau barang yang tidak perlu dibawa digantung di batang pohon. Sampah-sampah dikumpulkan, dijadikan satu dalam plastik besar. Sebagian di antara kami sudah siap membawa kamera. Ya, mengabadikan momen adalah semacam ritual khusus menjurus wajib saat berkelana. Khususnya di tempat yang baru, seperti pengalaman saya dan Muchlis di Pulau Merak Kecil ini.
Muchlis bahkan mencoba kamera underwater terbarunya. Walaupun, hasilnya kurang menggembirakan. Ya, selain karena terlalu dangkal, Muchlis juga kurang mahir berenang lebih jauh. Dia pun hanya mengambil foto di sekitar kubangan di antara karang-karang yang mencuat.

Air laut masih surut siang itu. Ah, sudah beranjak sore sih sebenarnya. Langit biru seperti memenuhi janji. Mengabulkan harapan saya tentang cuaca yang cerah kembali.
Sebagian besar karang di sekitar Pulau Merak Kecil sudah rusak, sebagian masih utuh. Saya harus berhati-hati dalam melangkah supaya tidak merusak karang yang masih utuh. Persis seperti di Pantai Kondang Merak, Malang Selatan. Pantai yang dulunya sering disebut-sebut sebagai lokasi snorkling terbaik se-Malang Raya, kini karangnya sudah banyak yang rusak. Sebagian dicuri. Tak heran, sebuah komunitas bernama Sahabat Alam merelakan diri terjun ke sana. Menjadi relawan transplantasi karang Pantai Kondang Merak. Mencoba memulihkannya kembali, walau masih perlu waktu dan dukungan lebih banyak.

Tak hanya kami yang asyik berjalan ke tepi laut. Pengunjung lainnya pun juga. Selain berfoto, sebagian dari mereka juga ada yang membawa botol kosong. Gunanya untuk menampung bongkahan karang atau cangkang kerang yang sudah tak “berpenghuni”. Namun ada juga yang bertindak melewati batas.
Mas Agung mengaku baru saja melihat ada seorang pengunjung yang “menculik” ikan badut (Nemo) dari habitatnya. Tak pelak, marahlah ia. Kesal. Namun hanya sebatas itu saja. Tak mampu menegur lebih jauh, mungkin mencegah terjadinya adu jotos jika sang penculik ikan tidak terima.
“Daripada aku dikeroyok,” cetusnya.

Kami juga ikut merasakan kesal akan kejadian tersebut, namun kami tidak bisa apa-apa. Sulit rasanya jika harus meluruskan pikiran orang yang berotak batu. Saat Mas Agung ngomel-ngomel di tempat kami makan tadi, kami memperhatikannya. Di tengah omelannya, dia sempat mengambil botol air mineral besar yang terisi air hingga tiga perempatnya. Dia jeda sejenak, hendak meminum air tersebut. Belum sempat meneguk, tiba-tiba muncratlah air tersebut dari mulutnya. Sssrooooott!!!
Sumpah serapah, semacam itulah yang juga turut terlontar dari mulut selain air tersebut.
“Kampret! Asin!” Jelas asin, kan air laut, Mas.

Kami yang tadi serius menyimak omelannya, mendadak langsung tertawa keras. Mungkin saking kesalnya, Mas Agung sampai tidak tahu apakah yang diminumnya itu air mineral atau air laut. Saya pun juga kaget, tidak tahu menahu. Saya tersentak ketika ada muncratan tetesan air ke tangan dan sebagian wajah saya.
Saya masih tertawa sendiri membayangkan ekspresi wajah Mas Agung yang terkejut tadi. Terbawa hingga saya hendak menunaikan salat Asar.
* * *

Setelah masing-masing menunaikan salat Asar beralas raincoat yang saya bawa, kami segera berkemas. Mas Agung memimpin rombongan kecil tapi bahagia ini. Bukan berjalan ke arah lokasi turun dari perahu. Melainkan melipir ke arah yang berlawanan. Memandang senja.
Di ujung pulau, di atas bebatuan, kami duduk dengan nyaman. Matahari yang sedari tadi menyinari langit Pulau Merak Kecil begitu terik, sepertinya sudah mulai lelah. Tak lama lagi ia akan kembali ke peraduan, mencium batas dan “tertidur” di bawah cakrawala. Kami sangat yakin, senja kali ini akan luar biasa.
Perlahan langit mulai memerah.

Beberapa pengunjung yang lain juga mencari tempat mendudukkan tubuh dengan nyaman. Semua jenis kamera menyorong ke arah langit.
Senja itu bergerak. Seperti kapal-kapal yang berlalu-lalang melintas Selat Sunda. Seperti kapal ferry dari Bakauheni, Lampung, yang tertib merapat di Pelabuhan Merak. Lampu-lampu mulai gemerlap. Baik itu lampu kapal maupun dari pemukiman. Kecil sekali bulatan lampu-lampu itu di kejauhan. Sementara lampu semesta masih agak enggan turun ke cakrawala.
Mas Agung seperti sedang mendata. Dia mengarahkan telunjuk ke arah matahari, tempat yang sangat jauh.

“Itu Pulau Sebesi. Itu Gunung Anak Krakatau, puncaknya tertutup kabut,” tukasnya.
Hmm, Krakatau. Tenar, mendunia karena letusannya di tahun 1883. Kota Merak, Banten luluh lantak. Guncangan tsunami menerjang kapal-kapal yang berlayar hingga Afrika Selatan. Pulau Sebesi? Penghuni pulau yang berjarak hanya 13 km dari Krakatau itu seluruhnya tak selamat (sumber: Wikipedia). Walaupun begitu, Krakatau masih harus “tunduk” pada gelegar letusan Gunung Tambora di tahun 1815 yang mengguncang dunia. Atau mungkin lebih “tunduk” lagi pada letusan Gunung Toba pada zaman purba. Ah, Tuhan Mahaberkuasa atas segala sesuatu. Diporak-porandakannya bumi, terciptalah pertanda kiamat skala kecil.
Langit senja semakin memerah.

Jelang gelap, kami segera bergegas. Meninggalkan kenikmatan memandang senja. Selalu teduh rasanya memandang senja, meresapi kehangatannya. Seperti kala memandang fajar, seperti itu teduhnya.
Saya terlalu terpesona dan terpana. Pulau Merak Kecil yang hanya berjarak sepelemparan batu dari Pulomerak-atau Pulau Jawa jika ingin berlebihan-, menyajikan sudut pandang terbaik memandang senja. Memandangnya seperti melipur segala lara yang mungkin sedang dirasakan Banten: terik, gersang, kesemrawutan, atau kemiskinan.

Senja selalu saja menjadi obat pelipur lara. Di manapun itu, saya selalu merasa demikianlah senja. Langit yang memerah menjadi penghibur segala suntuk dan lelah. Seperti semangat baru yang diberikan sang fajar kala memulai hari.
Hari yang melelahkan semenjak kedatangan saya dan Muchlis di tanah Banten. Namun, karena lelah tak boleh dikeluhkan, kami harus tetap mengulas senyum. Harus bersyukur atas segala yang telah dicapai hanya dalam satu hari ini. Senja mungkin menjadi pamungkas pada hari ini, namun bukanlah akhir perjalanan. Karena besok pagi, saya akan diajak berjalan menyusuri lorong waktu. Di lorong waktu, biasanya akan terdapat ironi, di situ pula akan muncul empati. Seberapa jauhkah empati saya besok pagi?
Tinggalkan Balasan