Mbak Donna beserta suami melepas kepergian saya di stasiun KRL Universitas Indonesia. Tak lupa salam pamit dan harapan agar kembali bersua di lain hari. Entah itu saya yang kembali ke Depok, atau mereka yang akan ke timur, tempat saya lebih banyak menghabiskan awal usia. Gerbong KRL menuju Bogor pagi itu tak terlalu ramai. Saya dapat menemukan beberapa tempat yang kosong untuk diduduki.
Baru kemarin menginjakkan kaki pertama kali di Bogor, hari ini saya kembali. Cuaca tak secerah kemarin, Gunung Halimun dan Gunung Salak masih tertutup kabut. Segera saya melangkah keluar dari stasiun, menuju sisi bawah jembatan penyeberangan. Laladon, itu tujuan saya yang pertama.
“Ladon! Ladon! Ladon! Ayo, yang Laladon!” pekik suara para calo angkot. Suaranya seolah tak mau kalah dengan deru mesin atau klakson angkot itu sendiri. Selembar uang 5.000 rupiah berpindah dari tangan sopir ke calo tersebut. Sebagai upah, karena dia telah “berjasa” memasukkan penumpang ke angkotnya.
Setibanya di Laladon-yang ternyata merupakan sebuah terminal angkutan perkotaan-, saya memilih berjalan menjauhi terminal yang ruwet tersebut. Ketika menjumpai sebuah minimarket, saya memutuskan masuk dan membeli beberapa bekal untuk sarapan ringan. Ini adalah semacam kebiasaan saya ketika baru tiba di tempat yang masih asing. Istirahat terlebih dahulu barang sejenak, membaca situasi sekitar, bertanya kepada penjaga kasir atau warga setempat, lalu mengambil keputusan. Tak lama, ada satu angkot lewat perlahan dengan trayek yang akan saya tuju: Kampus IPB Dramaga. Tanpa ragu, saya naik. Tak sampai 15 menit kemudian saya tiba di salah satu perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia tersebut.
Di dalam kompleks kampus, tepatnya di depan Fakultas Pertanian, saya kembali bertemu dengan Deby yang datang dengan motor matik sewaan. Setelah basa-basi singkat, saya mengambil alih kemudi dan meluncur keluar dari kampus. Meraba-raba medan ke salah satu gerbang Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yang menjadi tujuan.
Karena kami tidak lewat jalur utama, maka fitur GPS (Gunakan Penduduk Sekitar) menjadi senjata ampuh. Mungkin ada sekitar 2-3 kali kami bertanya kepada penduduk setempat. Hingga akhirnya perasaan lega campur tanda tanya hinggap. Lega, karena kami telah tiba di gerbang Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Tanda tanya, mengapa kami harus membayar dua kali di dua loket yang berbeda dan letaknya tak terpaut jauh. Dalam hati saya bertanya dan berharap pengelola TNGHS membaca tulisan ini: MENGAPA KALIAN SANGAT TIDAK EFISIEN SEKALI? APA KALIAN SEDANG TIDAK AKUR HINGGA BIKIN DUA LOKET YANG BERDEKATAN?
Di tempat parkir pun tanda tanya masih mengambang di pikiran. Sangat jelas tukang parkirnya bukanlah petugas resmi TNGHS. Dan tentu ongkos parkirnya pun terpisah, tidak termasuk karcis masuk TNGHS. Ah, selalu hanya bisa menyuarakan pemakluman terhadap masalah-masalah di seputaran taman nasional di Indonesia, tanpa dapat berkeluh kesah di tempat. Masih jauh lebih mendingan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dan Taman Nasional Baluran menurut saya, atau Taman Nasional Komodo. Selalu ada masalah inefisiensi di setiap nadi taman nasional, atau mungkin di seluruh sendi pariwisata di Indonesia.
Tiba-tiba udara yang sejuk terasa ketika berjalan menjauhi tempat parkir. Seolah alam sedang melipur kekecewaan saya. Okelah, lupakan sejenak masalah, nikmati alam yang penuh berkah. Lagi-lagi pemakluman.
Di sebuah pertigaan, ketiga curug diberi arah dalam sebuah plang. Dua curug, Curug Daun dan Kawung berada pada jalur yang sama, sementara Curug Nangka menempati posisi terbawah dan lokasi yang berbeda. Saya dan Deby sepakat untuk menuju ke curug yang terletak paling jauh terlebih dahulu: Curug Kawung, yang ditempuh tak sampai 30 menit.

Penamaan curug di sini rupanya tak jauh beda dengan coban (air terjun) yang ada di Malang. Dinamai berdasarkan legenda atau cerita rakyat setempat. Atau, didasarkan pada keadaan alam sekitar. Seperti Curug Kawung. Kawung, yang dalam bahasa Sunda berarti pohon aren, yang dulunya berukuran besar dan tidak pernah ada yang berani mengusiknya (menebang).

Melihat kerumunan pengunjung di kolam tempat Curug Kawung terhempas, saya malas mendekatinya. Saya memilih menempatkan diri di sebuah tanah datar namun sempit, yang dari sini kami masih dapat melihat Curug Kawung secara utuh. Debitnya tak terlalu deras, namun airnya sangat jernih.
Cukup puas mengambil foto, kami bergerak turun. Kembali ke arah bawah. Aliran Curug Kawung mengucur ke bawah, menciptakan curug-curug dan kolam kecil. Sebagian dangkal, sebagian cukup dalam. Yang dangkal menjadi tempat mandi dan bermain bagi pengunjung. Tak apalah, yang penting tidak mandi menggunakan sabun atau bahan kimia lainnya.
Saya dan Deby sempat berhenti dan mampir sejenak di sebuah kolam kecil dengan dua aliran kecil. Sangat jernih dan menyegarkan. Dingin, tentu saja.

Ketika kami kembali beranjak pergi, datang sekelompok pengunjung yang langsung terjun ke kolam ramai-ramai. Untung saja saya masih sempat memotret kolam tersebut saat masih sepi.

Kondisi medannya nyaris mirip saat saya trekking ke Coban Glotak di Wagir, Malang. Alirannya mengular di sungai-sungai kecil dan kadang terpecah oleh bebatuan. Bagi pencinta fotografi slow speed, tentu kesempatan memotret aliran air lebih halus tak boleh dilewatkan.

Curug Daun kembali kami jumpai saat turun, namun tak menarik minat saya mengambil foto di sana. Penyebabnya adalah berjubelnya pengunjung yang sedang mandi di atas kolamnya yang juga jernih.
Canda ria dan gelak tawa mengemuka, seolah mengaburkan latar belakang penamaan curug tersebut. Konon katanya, dulu orang pernah melihat daun sebesar pintu, sehingga dinamakan Curug Daun. Saya malah berceloteh sendiri, atau mungkin pintunya yang sebesar daun?
Di bawah Curug Daun, terdapat pagar dari kawat berduri. Tentu tujuannya sangat penting, mencegah pengunjung melakukan aksi konyol dengan melompat ke Curug Nangka yang tepat berada di bawahnya. Pikiran nakal saya kembali bergelayut, semoga tak ada pakaian renang atau celana dalam yang terbawa arus ke Curug Nangka, lalu mengenai pengunjung di bawahnya.
Deby sempat terlihat agak ketakutan saat menuju Curug Nangka. Itu karena gerombolan monyet tiba-tiba turun dan keluar dari huniannya, dan berjalan ke keramaian.
“Tenang, mereka tak segiras monyet di Gunung Panderman atau Rinjani,” tukas saya sambil terkekeh.

Curug Nangka, yang dulu katanya pernah terlihat pohon nangka yang buahnya sebesar gulungan kasur, dicapai dengan menyusuri aliran air terlebih dahulu (melawan arus). Alirannya diapit tebing cukup tinggi dan rerimbunan vegetasi menyebabkan agak remang. Baru mendekati curugnya agak terbuka. Tentu akan sangat berbahaya jika hujan deras turun sehingga terjadi banjir.
Kami segera berjalan cepat, berfoto cepat, karena rintik gerimis mulai terasa. Walau ternyata saat balik, tak jadi hujan. Hanya sekadar hujan lokal mungkin, sebagai peringatan.

Saya cukup puas di kawasan ketiga curug ini. Cukup banyak titik sepi untuk melakukan pemotretan long exposure, ketika areal curugnya dikerumuni wisatawan yang mandi. Semakin siang, pengunjung semakin banyak yang datang. Tak acuh dengan awan kelabu yang sepertinya siap untuk menurunkan hujan beberapa jam lagi.
Kawasan Gunung Bunder
Dari kawasan ini, saya dan Deby sepakat untuk melanjutkan perjalanan menuju kawasan Gunung Bunder, pintu gerbang TNGHS di sisi barat. Buta medan bukan halangan, karena informasi dari penduduk setempat menjadi pegangan.
Tak ada target khusus ke curug manakah yang akan dikunjungi selepas gerbang Gunung Bunder. Selain waktu yang terbatas, cuaca mulai kurang bersahabat. Hujan deras pun mengguyur ketika kami tiba persis di depan gerbang wisata Curug Ngumpet I. Melihat angka di belakangnya, berarti ada lebih dari satu Curug Ngumpet di kawasan ini.
Ketika hujan mereda menyisakan gerimis, kami segera berjalan menuju Curug Ngumpet I. Sudah kadung memakai raincoat untuk jaga-jaga jika kehujanan di jalan, ternyata tak sampai lima menit berjalan Curug Ngumpet I sudah di depan mata! Sayang, karena pengunjung terlanjur banyak dan hujan kembali mengguyur, kami tak berlama-lama di sana.

Dari Curug Ngumpet I, kami mencoba berjalan terus ke barat. Melewati gerbang Curug Pangeran, Curug Ngumpet II, dan Curug Seribu. Niat hati ingin menuju ke Curug Seribu, namun karena hujan cukup deras, sudah pasti akses ke Curug Seribu ditutup karena berbahaya. Mencoba berjalan lebih jauh ke barat, kabut tebal tiba-tiba menyergap, membatasi pandangan. Karena kondisi tidak memungkinkan, kami memilih balik arah. Curug Ciherang menjadi tujuan kami yang terakhir, karena waktu siang telah habis.
Sayang, hujan yang sempat reda kembali deras mengguyur kawasan Curug Ciherang. Mengubah air curug yang semula cukup bening menjadi keruh bagaikan susu coklat. Bisa dibilang, di Curug Ciherang saya tak berhasil mendapatkan foto yang bagus karena hujan deras dan warna air yang coklat. Jadinya, hanya Deby saja yang cukup berhasil mendapatkan pose dan momen yang pas untuk berfoto.
Hujan yang kembali menyisakan gerimis, mengantarkan kepergian kami meninggalkan Curug Ciherang. Tadi kami sempat melewati gerbang pendakian menuju Kawah Ratu, Gunung Salak. Kabut di atas kanopi pepohonan menyiratkan nuansa mistis. Ah, kabut memang terkadang menyampaikan pesan. Cukup sampai di sini dulu untuk mengukir petualangan, masih banyak waktu.
Saya pernah mengatakan saat harus meninggalkan Teluk Hijau di Banyuwangi, bahwa waktu adalah penguasa momentum. Waktu selalu membatasi keinginan-keinginan lahiriah manusia. Memang sudah saatnya kami pulang, kelak kapan-kapan saya akan kembali lagi.
Kembali Ke Jakarta
Di seberang Stasiun Bogor, saya berpamitan dengan Deby. Jelas saya menyampaikan terima kasih dan permohonan maaf karena telah merepotkannya. Sudah lepas Isya, ia harus kembali ke kosnya di Dramaga, melanjutkan perjuangannya studi di strata dua.
Sementara saya, perjalanan saya di sini belum usai. Saya masih harus berganti pakaian yang sempat basah saat jalan-jalan di TNGHS. Masih harus menaiki KRL ke Pasar Minggu, lalu kembali ke kos Muchlis di Ragunan, Jakarta.
Masih harus berkemas dan segera beristirahat, karena besok pagi saya mengajak Muchlis pergi semakin ke barat. Di sana, di sebuah kota yang terik, telah menunggu keluarga kecil yang siap menyambut kami berdua. Saya pun tak sabar untuk segera terlelap, bermimpi, lalu terbangun lagi.
Foto sampul:
Stasiun Bogor dan latar Gunung Halimun-Salak
Tinggalkan Balasan