Saya melihatnya sekilas memasuki lobi sebuah mal. Dia bersama dengan seorang teman yang saya juga tahu siapa. Saya membuntutinya, diikuti oleh Mbak Donna dan Mas Gio.
Dia mengangkat gawainya, mencoba menelpon ke gawai saya. Saya biarkan, sembari tertawa kecil. Sampai di depan sebuah kios, dia menutup teleponnya lalu menghentikan langkah. Saya mendekat.
“Halo, Deb! Apa kabar? Hehehe,” celetuk saya. Mereka berdua menoleh ke belakang dan agak terkejut. Sore itu Deby ditemani Happy. Kami dulu adalah teman seangkatan di kampus namun beda kelas. Mereka berdua sudah lulus sarjana dan kini mengenyam studi magister di Institut Pertanian Bogor. Saya? Masih meretas jalan.
Inilah pertemuan yang selanjutnya. Dari yang bertiga menjadi berlima. Tak perlu waktu lama untuk saling mengakrabkan diri. Obrolan sambil lalu berlanjut di dalam angkot hijau. Akhirnya saya merasakan juga naik satu di antara 1001 angkot di Kota Bogor. Kawasan Taman Kencana, itulah tujuan kami sore ini.
Ternyata cukup sulit juga menentukan menu kuliner sore ini. Ada yang ingin ini, ingin itu banyak sekali.
“Kamu mau makan apa, Qy?” tanya mereka.
“Terserah, aku ngikut saja. Apapun makanan dan apapun yang kulakukan akan menjadi serba pertama di kota ini,” jawabku diplomatis. Kuliner Bogor begitu kaya. Deretan warung berbagai macam rupa dan rasa terserak di sekitar Taman Kencana.
“Sop buah Pak Ewok, yuk?” ajak Heppy.
“Eh, bukannya udah tutup ya jam segini?” sahut yang lain, kecuali saya.
Satu cara untuk memastikan adalah terus berjalan menuju tempat Pak Ewok berada. Mendekati ke arahnya, perasaan sudah tidak enak. Kami berlima ditambah beberapa calon penikmat sop buah Pak Ewok harus meneguk kembali air liurnya. Bukan karena kesorean, melainkan karena memang hari Jumat tutup. Istirahat.
Kadung berjalan menjauhi Taman Kencana, kami memutuskan untuk salat Asar terlebih dahulu di sebuah masjid tak jauh dari Pak Ewok.
* * *
Mungkin karena suasana perut sudah lapar tapi hati masih ceria, kami pun akhirnya singgah di Warung Gumbira. Semacam food court dengan berbagai macam menu makanan dan minuman. Sayang, nyaris semua menu sudah pernah saya coba dan melimpah di kota Malang seperti: bakso, nasi goreng, lalapan. Ah, ini Bogor apa Malang, sih? Akhirnya karena masih penasaran dengan kuliner khas Bogor yang lain, saya menjatuhkan pilihan pada Soto Kuning. Ya, meskipun pagi setibanya di Bogor juga makan sejenis soto, namun ditambah mi.
Pilihan yang tak salah. Sajian daging dan jeroan sapi, dilumuri kuah santan kuning sangat sedap untuk disantap sore itu. Terlebih, jelang Magrib hujan mengguyur. Hangat, segar dan mengenyangkan.

“Kalian kenal dari mana?” tanya Heppy dan Deby. Pertanyaan menyiratkan rasa penasaran, mengapa saya, Mbak Donna dan Mas Gio dapat saling mengenal. Jawabannya cukup sederhana, karena bermula pada dua kegemaran: jalan-jalan dan menulis. Dari situ timbul interaksi erat meskipun tanpa pernah bertatap muka secara langsung. Saling berbalas komentar di blog maupun di media sosial seperti twitter, misalnya.
Obrolan ringan tentang pengalaman masing-masing dari kami ikut mewarnai santap petang. Mbak Donna dan Mas Gio yang selalu nyambung karena pernah mencicipi bumi Kerala di India. Ada kisah tentang toleransi dan menghargai keyakinan beragama. Seperti pada sebuah kesempatan acara tur dengan bus, Mbak Donna selalu yang terdepan sekaligus paling awal yang masuk bus. Tujuannya tak lain supaya mendapatkan tempat dan posisi yang nyaman untuk salat. Begitulah, asal saling terbuka, akan tercipta pemahaman dan toleransi antar umat beragama. Seperti saat saya menunaikan salat di dalam truk ekspedisi berawak orang Bajawa dari Sape, Nusa Tenggara Barat ke Gilimanuk, Bali.
“Kapan kamu ke Serang, Qy? Mau ke mana saja?” tanya Mbak Donna. Rupanya dia sudah tuntas bercerita tentang Kerala.
“Minggu, Mbak. Ketemu Mbak Noe, mau diajak ke Rumah Dunia dan ke pulau dekat Merak katanya.”
Rumah Dunia, sebuah wadah perjuangan literasi oleh Gol A Gong, sang pencipta masterpiece Balada Si Roy. Rupanya Heppy mengetahui Rumah Dunia, yang berawal dari kegemarannya membaca buku.
Kudapan kami masing-masing sudah habis. Magrib juga sudah berjalan sepertiga waktu. Kode untuk angkat kaki dan meninggalkan Warung Gumbira. Hujan berangsur reda, menyisakan rintik gerimis yang lalu berbekas pada jejak basah di tanah. Berjarak sepelemparan batu dari tempat kami makan, terjadi perpisahan awal. Mas Gio kembali ke kediamannya yang masih berjarak belasan kilometer dari kota Bogor, sementara saya bersama tiga perempuan menumpang angkot ke arah stasiun Bogor. Jalan raya dipadati kendaraan bermotor dan para polisi yang sibuk mengatur lalu lintas.
Tak sampai 10 menit, saya dan Mbak Donna turun di bawah jembatan penyeberangan, tepat di seberang stasiun. Di sini terjadi perpisahan selanjutnya. Saat kami harus kembali ke Depok, sedangkan Deby dan Heppy harus kembali ke Dramaga, meneruskan perjuangan studi magister mereka.
* * *
Derit gesekan antar gerbong KRL terdengar jelas. Bergoyang mengikuti lajur rel dan sesekali agak terhentak. Tak banyak penumpang malam ini. Suasana yang sangat disukai Mbak Donna, begitu pun saya. Sayup-sayup terdengar suara announcer, memberitahukan bahwa pemberhentian terakhir kereta ini adalah stasiun Depok. Ternyata kami salah masuk kereta.
Depok hujan deras, nanti turun di Pondok Cina ya; aku nunggu di pintu luar Gunadarma, mobil merah marun; tadi kelewatan soalnya, begitu isi pesan masuk di Whatsapp saya. Malam ini, ada satu pertemuan lagi dengan pengirim pesan tersebut.
Hujan deras benar-benar mengguyur Depok, disertai angin cukup kencang. Mengibaskan bulir-bulirnya ke segala penjuru. Ketika ada rangkaian KRL dari arah Bogor berhenti, kami segera masuk kereta. Kini penumpang jauh lebih padat dan kami kembali berdiri. Tak masalah, hanya melewati satu stasiun lagi, Depok Baru, untuk tiba di stasiun Pondok Cina.
Hujan belum benar-benar berhenti bahkan ketika kami sampai di stasiun Pondok Cina. Karena sang pengirim pesan sudah menunggu, kami harus terus bergerak. Mbak Donna mengeluarkan payungnya, sementara saya berjalan dengan balutan raincoat hijau gelap sembari memanggul carrier yang sudah saya tutupi dengan raincover. Jelas menjadi perhatian orang-orang Depok dan sekitarnya, melihat saya dengan kondisi demikian. Seperti inilah “kostum” saya ketika berjalan di tengah hujan saat mendaki gunung. Bedanya, malam ini saya berjalan menyusuri trotoar di tepi jalan Margonda Raya, sesekali menerabas genangan air yang tak mengalir.
“Itu kayaknya, Mbak,” sahut saya di antara riuh lalu-lalang kendaraan dan hujan, sembari menunjuk sebuah mobil berwarna merah marun persis yang disampaikan sang pengirim pesan. Kami mendekat, membuka pintu, lalu…
Haloooo….. Akhirnya bertemu juga dengan Mbak Indri Juwono, sang pengirim pesan tersebut.
* * *
Kami bertiga terlibat dalam sebuah pertemuan yang mengasyikkan, meskipun hujan masih mengguyur Depok. Kedai Sorabi Bandung Enhaii menjadi tempat singgah kami untuk “menjauhkan” diri sejenak dari hujan.
Sama seperti dengan Mas Gio dan Mbak Donna, saya mengenal Mbak Indri juga melalui dunia maya. Selain karena kesamaan hobi jalan-jalan dan menulis, saya mengenalnya karena Mbak Indri pernah cukup lama berdomisili di Sidoarjo, kota udang yang sangat terik. Tak kalah terik dengan tetangganya, Surabaya atau Gresik.
Sosok Mbak Indri, sang arsitek itu sama persis dengan yang saya lihat fotonya di blog atau di jejaring media sosialnya. Kurus, seperti saya, namun sangat energik ketika bercerita. Dia juga menuliskan beragam kisah perjalanannya dengan apik di blognya, tindaktandukarsitek.com. Sebuah blog yang berangkat dari pemikirannya bahwa arsitektur itu bersifat universal, tidak hanya mutlak tentang bangunan saja. Anda bisa menyimak beragam kisah perjalanan yang sudah dilakukannya di blog tersebut.

Pertemuan ini ditemani dengan beragam sajian kuliner yang kami pesan sesuai selera masing-masing. Bakso, surabi, kue cubit, dan batagor. Sajian yang cocok untuk menghangatkan tubuh yang dingin setelah berjalan di bawah guyuran hujan tadi.
Jika sesama pejalan sudah bertemu, maka topik yang dibahas tentu tak jauh dari pengalaman saat berkelana. Saya masih hijau di dunia perjalanan dibandingkan dengan mereka, baik itu pengalaman perjalanan maupun travel blogging. Dari mereka berdua, juga dari Mas Gio saat bersua di Bogor, saya belajar banyak. Mencecap suka duka mereka selama perjalanan dan menyerap intisari pelajaran yang mereka dapat dalam perjalanan.
* * *
Cara dan prinsip berjalan kami mungkin sebagian berbeda, namun saya tahu bahwa perjalanan itu juga proses belajar. Belajar pada alam, makhluk hidup yang lain, atau pada orang-orang yang ditemui dalam perjalanan. Perjalanan tak cukup disarikan dalam diktat buku tebal maupun silabus dalam ruang kelas. Seorang pejalan harus berani beranjak dari kursi, memanggul ransel, membuka pintu, lalu berjalan sejauh yang dia mampu. Tak heran seorang Agustinus Wibowo dalam bukunya Titik Nol, berujar bahwa manusia terobsesi dengan kata jauh. Kata “jauh” yang membuat Marco Polo melintasi perjalanan panjang dari Venesia hingga negeri Mongol, pengelana lautan mengarungi samudra luas, pendaki menyabung nyawa demi puncak gunung. Bahkan Agustinus Wibowo, sang musafir, menyelundup di tanah terlarang di Himalaya, mendiami Kashmir yang misterius, hingga menjadi saksi kemelut perang dan pembantaian. Semuanya demi mencari sebuah makna dalam kehidupan, melalui “jauhnya” perjalanan.
Tak terkecuali saya. Bertemu langsung dengan mereka menjadikan saya mampu membuka cakrawala lebih luas. Menjadikan saya tak perlu khawatir dan merasa lelah, dengan bentangan jarak ratusan kilometer dari Malang ke barat demi bertemu dengan orang-orang ini. Merantau sesaat demi mereguk makna dari sudut pandang mereka. Walau hanya dalam waktu yang singkat, tak layak menjadi permasalahan demi sebuah pengalaman.
Perjalanan ini memang untuk menciptakan pertemuan dan pengalaman baru. Saya tak akan pernah tahu bagaimana rupa perjalanan di tempat yang baru. Seperti besok pagi, pengalaman baru telah terbentang di depan mata.
Foto sampul:
Salah satu ruas jalan yang bersebelahan dengan Kebun Raya Bogor
Tinggalkan Balasan