Suara pintu kamar kos terbuka. Saya terbangun dari tidur siang yang cukup nyenyak. Seperti mendapatkan jam tidur pengganti, setelah perjalanan panjang dari Malang ke Jakarta dengan kereta api Matarmaja. Muchlis, sang penghuni yang asli membuka pintu kamarnya sendiri, yang sedari siang saya “jaga” dengan tidur.
“Tidur bro?” tanyanya.
“Iya Mu, ketiduran, hehehe.”
Dia baru pulang kerja dari Pusdiklat BRI Ragunan sore itu. Gedung kantor yang hanya berjarak 45 detik jalan kaki dari pintu utama kos, katanya.
“Jam berapa berangkat ke Margo City?” tanyanya lagi.
“Habis salat Magrib lah, biar enak.”
Margo City, satu dari sekian mal yang berdiri megah di bumi Depok. Bekal kami hanyalah GPS yang tersemat dalam gawai kami masing-masing. Mengendarai sepeda motor miliknya, kami menyusur ke arah luar Jakarta Selatan. Hampir mendekati Kota Depok, tiba-tiba hujan turun dengan sangat deras. Setelah menepi sejenak untuk mengenakan jas hujan, kami berjalan kembali. Angin yang berembus cukup kencang, membawa bulir-bulir hujan menerpa tubuh kami yang sesekali terhuyung. Air yang menggenang di beberapa titik membuat motor bebek kesayangannya tak berani melaju cepat.
Tetesan hujan yang deras lagi tersapu angin, membuat saya tak leluasa memandang sekitar. Membuka kaca helm sedikit saja membuat mata tak dapat terbuka seluruhnya. Samar-samar hanya terlihat deretan mal di seberang kanan jalan. ITC, Depok Town Square… Di mana Margo City?
Di sebuah perempatan lampu merah, saya bertanya pada pengendara motor di samping kami.
“Mas, maaf mau nanya, Margo City di sebelah mana ya?”
Dengan wajah agak terkejut dan dahi agak berkerut, dia menjawab seakan kami telah salah jauh. Dan memang demikian.
“Margo City mah udah kejauhan di belakang, Mas. Putar balik saja, nanti ada di kanan jalan.”
Pantas saja, kami seolah menjauh dari pusat keramaian Depok. Kami putar balik, tetap tak bisa melaju kencang. Cukup jauh berjalan, kami mulai ragu dan Muchlis kembali menepikan motor. Saya turun, berjalan di atas genangan semata kaki, mencari orang yang terlihat meyakinkan untuk ditanyai.
“Margo City? Lurus saja, setelah lampu merah depan itu, putar balik, deket sama jembatan penyeberangan,” ujar seorang pedagang jajanan.
Kami kembali menerjang hujan dan sesekali terhuyung (lagi-lagi). Satu-dua kali kesempatan kami terciprat air dari kendaraan yang melaju kencang di sisi kami. Ingin lisan mendamprat khas Suroboyoan tapi tak mungkin dilakukan. Bukan karena mereka tak paham bahasa Suroboyoan, tetapi kami bukan orang sini. Bisa-bisa Margo City tak akan kami temukan karena harus berurusan dengan warga setempat gara-gara perkara lisan.
Mendekati jembatan penyeberangan, saya memicingkan mata ke arah kanan jalan. Benar! Margo City terlihat nyempil di dalam. Bagi pendatang seperti kami, tentu tak terlihat dari jalan raya Margonda. Apalagi sepanjang perjalanan hujan deras dan sangat mungkin terlewat kala mata saya fokus mengamati deretan mal di kanan jalan saat berangkat.
* * *
Sesosok laki-laki berpayung mendekati kami berdua. Saya baru saja usai melipat jas hujan ke dalam tas kresek. Kami tadi memang berjalan dengan mengenakan jas hujan dari tempat parkir motor ke teras mal ini.
“Rifqy?”
“Eh, Mas, apa kabar?”
Kami bercakap ringan, saling berjabatan tangan erat. Langsung saja Bang Acen mengajak kami masuk.
“Mau makan apa, Ki?”
“Terserah Mas saja, saya ngikut.”
Di sebuah restoran, kami memilih meja makan yang terletak di luar. Obrolan ringan, lucu diselingi gelak tawa mengiringi sembari sibuk memilih menu makan malam. Hingga detik ini, saya nyaris tidak percaya saya dapat bertemu langsung dengannya: Acen Trisusanto, Bapaknya Jalan Pendaki.

Sebelumnya hanya saling berbalas komentar saat blogwalking ke blognya di jalanpendaki.com.
Lalu semakin erat saat saya mengikuti giveaway (lomba menulis) tentang Apa Katamu Soal Jalan Pendaki?
Dalam sebuah kesempatan, saya sempat bergurau padanya begini. “Saya jangan dijadikan pemenang, Mas. Repot nanti kalau saya harus ke Depok cuma ditraktir makan gratis.”
“Betul juga, hahaha,” balasnya.
Ketika diumumkan bahwa saya menjadi pemenang pertama giveaway tersebut, saya pun mendapatkan kontak Whatsapp-nya.
“Enaknya gimana ya, kamu kan tinggal di Malang,” katanya.
Benar juga, akan sangat tidak mungkin jika saya memaksanya pergi ke Malang hanya untuk mentraktir saya. Berangkat dari situ tercetuslah sebuah ide: Saya akan pergi ke Jakarta dalam waktu dekat!
Mumpung KA Matarmaja masih terkena subsidi, sangat terjangkau dengan Rp 65.000 sekali jalan.
Supaya tidak capek hanya bertandang ke Depok saja dalam waktu sehari, saya merancang sebuah perjalanan yang bisa dibilang bertemakan silaturahmi blogger. Inilah blogwalking yang sesungguhnya barangkali, karena saya benar-benar bersua dan berinteraksi langsung dengan para blogger yang bisa dijumpai dalam waktu singkat. Setelah selama ini hanya saling berbalas sapa lewat dunia maya.
Muchlis, kawan karib saya sekomunitas (Gamananta) dan seangkatan, beserta kosnya menjadi “basecamp” bagi saya selama di Jakarta hampir seminggu. Dan terwujudlah perjalanan ini, yang menciptakan pertemuan-pertemuan baru. Sekaligus bentuk rasa hormat saya khususnya kepada Mas Acen, salah satu penulis buku antologi Penunggu Puncak Ancala, yang sudah memberikan kesempatan makan malam bersamanya.
Satu per satu makanan dihidangkan begitu segar di hadapan kami. Menu mi goreng menjadi pilihan saya.
“Kamu angkatan berapa sih?”
“Angkatan 2009, Mas.”
“Wah berarti cuma beda setahun sama aku. Sudah lulus sekarang?”
“Masih skripsian, Mas, hehehe.”
“Wah lama juga ya, hahaha.” Tawa pun membahana.
Anda tahu bagaimana kesan saya ketika bertemu Bapaknya Jalan Pendaki? Orangnya sama kayak yang di foto profil di blognya! Definisi “orangnya sama” itu luas, ya wajahnya, ya fisiknya, ya gaya bicaranya. Lagi-lagi obrolan kami di tengah makan malam diselingi gelak tawa. Kesamaan hobi kami di dunia pendakian gunung sangat membantu menciptakan percakapan yang ringan dan nyambung. Beberapa foto menjadi bukti pertemuan ini. Dengan senyum dan tawa tanda bahagia bisa bersua teman baru.
Sungguh, seperti yang saya tuturkan pada artikel yang diikutkan dalam giveaway-nya, saya sangat salut dengan obsesinya, terlebih mimpi-mimpinya terhadap komunitas Jalan Pendaki. Sang Bapak seakan tak terlihat lelah membina dan menimang komunitasnya di sela-sela kewajibannya untuk kerja.
Dalam hati saya tak hanya mendoakannya sukses kerja dan eksistensi komunitasnya, tetapi juga mendoakan agar ada “orang baru” yang akan menemaninya memanggul tas carrier bersama, berjalan menyusuri jalan setapak bersama, melewati hari dengan hangatnya kopi bersama, melihat pemandangan dari dalam tenda bersama, berdiri di puncak bersama; mengukir kenangan perjalanan dari hutan dan gunung bersama, agar alam menjadi saksinya.
Amin, amin, amin, ucap saya dalam hati. Kalau Mas Acen ternyata di alam bawah sadarnya turut mengamini doa saya, berarti hati kita terpaut, eh…
* * *
Di teras mal Margo City, hujan rupanya sudah lama mereda.
“Oke, Qy, Muchlis, makasih banget sudah mau ke sini.”
“Sama-sama Mas, saya juga makasih banget sudah ditraktir makan, mohon maaf merepotkan.”
“Ah, santai saja. Sori ya kalau kalian sampai kehujanan. Sampai ketemu lagi kapan-kapan.”
“Siap, Mas. Semoga bisa nanjak bareng lah kapan-kapan”, pungkasku.
“Sip!” jempolnya dia acungkan. Tangan kami kembali menjabat erat. Sang Bapak Jalan Pendaki berjalan menjauhi kami, sembari memegang payungnya yang sudah terlipat.
Tak lama rasa kantuk mulai menerpa. Waktunya pulang, segera bertemu dengan kehangatan tidur dan mimpi. Perjalanan saya di sini masih baru mulai, esok hari pertemuan baru telah menanti.
Tinggalkan Balasan