Ini hari kedua gelaran TravelNBlog 3 di Kota Semarang.
Alarm ponsel berdering kencang, cukup sekali bunyi langsung membuat terbangun. Awalnya bangun agak gontai, karena kantuk dan gatal-gatal akibat gigitan nyamuk masih terasa. Ketika keluar kamar, saya tergesa menuju kamar mandi dan membilas tubuh secepat mungkin. Berkemas dengan terburu-buru, dan agak berlarian menuju resepsionis untuk menyerahkan kunci dan mengambil kartu identitas.
Seberkas langit jingga yang terlihat saat berjalan dari kasur ke kamar mandi, adalah alasan mengapa saya check out lebih awal.
Selamat Pagi, Kota Lama!
Seorang tukang becak dan kendaraan beroda tiganya, mengantarkan saya ke salah satu sisi Kota Lama Semarang yang mulai bergeliat: Gereja Blenduk. Bersisian dengan Taman Sri Gunting, gereja pertama dan tertua di Semarang (didirikan tahun 1753) yang berarsitektur Pantheon ini mulai ramai didatangi para jemaat setia. Gema nyanyian gereja seperti beradu harmoni dengan lalu-lalang beragam kendaraan dari timur yang bertalu-talu.

Namun, ada yang lebih menarik perhatian saya. Yang menjadi alasan saya meninggalkan losmen lebih cepat. Ya, si langit jingga itu.
Seulas tipis bagai beradu dengan pucuk atap Gereja Blenduk. Ada kesan magis, seakan menjadi penghantar doa dan alunan nada ke langit.

Sementara matahari semakin meninggi dari batas horizon, deru kendaraan dan beragam aktivitas semakin kencang. Mulai dari lini terkecil macam tukang becak, tukang sapu taman, pedagang kaki lima, tukang tambal ban, dan loper koran. Hingga komunitas pesepeda, mobil pribadi, taksi, bus Trans Semarang, truk ekspedisi, pengendara motor, dan angkutan kota. Hari Minggu dimaknai berbeda bagi setiap orang.
Sebagian menganggap hari yang tepat untuk berlibur dan melepaskan diri dari rutinitas, sebagian tetap menganggap Minggu adalah sama seperti hari-hari biasa. Tetap bekerja demi menjemput rezeki.

Begitu beragam orang-orang yang “menikmati” Kota Lama Semarang dengan caranya sendiri.
Sementara saya, asyik menyantap semangkuk mi instan goreng dan telur di bawah paparan hangat sang surya. Sembari menunggu Semar Jawi tiba.
Pluk!
Begitu suara bongkahan es batu yang terlempar dan jatuh ke tanah.
“Sudah tidak usah diambil, pakai yang ini saja,” ujar pedagang yang saya mintai es batu.
Saya tidak jadi minum teh panas, jadinya es teh saja. Tak ada alasan khusus, ya karena tak mau lama menunggu teh menjadi dingin.

“Sampai jam berapa berdagang di sini, Pak?” tanya saya.
“24 jam, Mas.”
Luar biasa. Pantaslah kiranya jika saya diperbolehkan menjulukinya sebagai penunggu Kota Lama.
Semar Jawi, Sebuah Mesin Waktu

Layar cakrawala sudah terkembang, waktu berganti peran. Kini giliran langit biru bersih membentang di atas Kota Lama.
Sebuah bus wisata berwarna merah mencolok mendekati Taman Sri Gunting. Di tubuhnya terpampang beragam pernik, seperti logo Pemkot Semarang dan iklan operator seluler plat merah nasional. Selamat datang, Semar Jawi.

Semar Jawi, yang merupakan akronim dari Semarang Jalan-Jalan Wisata kian menjadi primadona. Bus wisata yang memang merupakan hibah dari operator seluler plat merah itu menjadi jawaban yang pas, utamanya bagi pejalan yang ingin merasakan klasiknya Kota Lama tanpa kendaraan pribadi. Juga ingin memperluas wawasan sejarah Kota Semarang pada masa lalu.
Taman Sri Gunting yang dulunya merupakan lapangan para serdadu Belanda menjadi titik awal keberangkatan Semar Jawi. Masuk akal, karena di sekitar taman terdapat lokasi yang representatif dan cukup lapang untuk parkir bus.

Semar Jawi bergerak perlahan, sementara Nurul, sang pemandu dengan lancar menjelaskan sejarah singkat beberapa bangunan yang terserak di Kota Lama.
Semar Jawi bagi saya adalah mesin waktu. Sehingga, berada di atas Semar Jawi membuat saya seakan “berjalan” menyusuri lorong waktu.

Dimulai dari Gereja Blenduk yang berkubah heksagonal itu, meniti ,Jembatan Berok, Tugu Nol Kilometer, Kantor Pos Indonesia, hingga Gedung Bank Jateng Pasar Johar yang berarsitektur art deco.
Selepas Pasar Johar, Semar Jawi menyusuri Jalan Pemuda. Untuk sesaat, lorong waktu memasuki zaman modern, Crowne Plaza (Mal Paragon) menjadi gedung yang paling menarik perhatian, sekaligus bangunan tertinggi di sepanjang jalan Pemuda.
Jalan Pemuda yang cukup rapi dan teratur ini, berujung pada penanda masa lalu yang sudah dikelilingi dengan modernisasi: Tugu Muda dan Lawang Sewu.

Melipir bundaran Tugu Muda, Semar Jawi putar balik dengan anggun, saya pun tak perlu berpegangan erat agar tidak terhentak.
Kembali memasuki Kota Lama, melewati muka Stasiun Semarang Tawang dan penampungan air bernama Polder seluas 1 ha. Fungsinya untuk menadah air hujan agar tidak terjadi banjir. Lorong waktu kemudian bergeser di ruas Jalan Ronggowarsito, di mana terdapat Katedral IHS dan sekolah pastoral St. Fransiskus.

Beriring dengan cucuran keringat yang sudah membulir, Semar Jawi kembali ke titik awal. Berhenti rapi di sisi timur Taman Sri Gunting.
Mesin waktu berwujud bus wisata merah merona itu pun tuntas menunaikan tugasnya. Maka perjalanan saya menyusuri lorong waktu bersamanya di Kota Lama pun usai.
Salam pelangi. (*)
Foto sampul:
Seberkas cahaya pagi di langit Kota Lama
Tinggalkan Balasan