Saya memandang ke luar jendela kusam itu. Tak butuh waktu lama untuk terpesona dengan langit di luar sana. Saya beranjak dari duduk sembari membawa kamera.
Rasa penasaran dan keinginan untuk memotret, membuat saya terpaksa membuka pintu gerbong. Setelah memastikan tidak ada orang yang lewat, saya membuka dan segera mengabadikan senja. Goyangan begitu terasa karena kereta berjalan cukup cepat. Memaksa saya menancapkan kaki lebih kuat dan bersandar pada daun pintu.
Percayalah, agak gemetar rasanya memotret di tepi pintu gerbang. Tetapi keingintahuan manusia kadang selalu menjadi pemenang, mengalahkan rasa takut atau was-was. Bicara soal was-was, saya jadi teringat saat tiba di stasiun sore tadi.
* * *
Pukul 16.38.
Saya sudah berada di Stasiun Malang Kotabaru. Ketika tiba giliran diperiksa tiketnya, petugas itu melihat tiket saya cukup lama. Agak was-was, khawatir nama yang tertera di tekat tidak sesuai dengan KTP. Lebih was-was lagi jika saya datang ke stasiun pada hari yang salah. Dugaan yang nyaris benar, ketika terjadi percakapan antara dua petugas di pintu masuk keberangkatan.
“Ada apa?” tanya petugas keamanan.
“Tidak ada apa-apa. Saya kira ini angka 10, ternyata 18,” jawab petugas pemeriksa tiket.
Tuh kan. Tanggal hari ini, 18, sekilas terlihat seperti angka 10 di tiket. Mungkin saat mencetak tiket mandiri, tintanya sedang seret sehingga tak tercetak sempurna. Syukurlah saya juga dalam keadaan sadar, tidak datang di hari yang salah. Entah itu terlalu cepat atau terlalu lambat. Akan malu-maluin.
Saya menuju gerbong 7, gerbong ketiga dari belakang dalam rangkaian KA Matarmaja. Melangkah perlahan di dalamnya, celingukan mencari nomor kursi. 7C, itu nomor kursi saya.
Tepat pukul 17.00, kereta api mulai berjalan. Suara derit gesekan roda kereta dan rel seperti cicitan tikus. Lalu jes jes jes, semakin cepat ke arah selatan. Matarmaja semakin jauh meninggalkan kota Malang, tanah perantauan.
* * *
Saya kembali ke kursi. Di baris kursi ini, sementara baru ada tiga orang, termasuk saya. Kami sama-sama pergi ke tujuan akhir dari kereta ini: Stasiun Pasar Senen.
Di sebelah saya, ada seorang laki-laki berkaos kerah yang bergawai Blackberry, ia duduk di kursi nomor 7A. Ia sudah makan asam garam dengan KA Matarmaja. Mulai dari zaman ketika kereta api ekonomi masih awut-awutan hingga sekarang yang lebih manusiawi. Dalam sebulan, ia bisa 2-3 kali pulang-pergi Malang-Jakarta.
Di kursi nomor 8A, duduk seorang pria berkumis cukup tebal dan berjaket cokelat. Celana jinsnya berujung pada sepasang sepatu pantofel yang mengkilat. Ditambah topi hitam, ia tampak garang. Kegarangan yang agak luntur ketika ia membuka kotak makan bergambar kartun animasi. Kesannya semakin imut ketika saya sempatkan melihat menu makanan di dalamnya: nasi, mi goreng instan, dan telur mata sapi. Menu klasik. Saya sempat berpikir itu kotak makan milik anak atau cucunya, yang mungkin tadi ikut melepas keberangkatannya di stasiun.
Magrib sudah separuh waktu ketika kereta berhenti di stasiun Sumberpucung. Rombongan penumpang yang didominasi ibu-ibu masuk ke dalam gerong 7. Ternyata masih satu kerabat dengan rombongan penumpang yang naik dari stasiun Malang. Jadilah baris kursi nomor 9-12 dipesan seluruhnya untuk satu keluarga besar. Kompak sekali. Sejauh ini, merekalah penumpang yang paling meriah dan penuh canda tawa sepanjang perjalanan. Juga rombongan penumpang yang paling lengkap bekal makan-minumnya.
Perjalanan ke Jakarta masih panjang. Salat, membaca buku, ngobrol, buang air kecil, dan tidur. Lalu bangun, baca buku, ngobrol, buang air kecil, dan tidur lagi. Begitu aktivitas saya sepanjang perjalanan.
* * *

Stasiun Pasar Senen, 09.50. Telat 30 menit dari jadwal.
Saya bergegas keluar dari stasiun, berjalan menuju terminal bus Pasar Senen. Bus Kopaja AC hijau trayek Lebak Bulus-Ragunan menjadi pilihan.
Bus berjalan perlahan selepas terminal, Jakarta ternyata tetap tak berubah. Macet, padat merayap, dan suara klakson bertalu-talu. Di setiap sudut selalu ada kesan kusam, sampah masih mudah dijumpai. Baik itu tersembunyi di balik pagar atau dinding sehingga tak kasat mata. Kapan Jakarta layak menggenggam Adipura Kencana? Begitu tanya saya kepada puncak Tugu Monas yang berlapis emas.
Tapi bagaimanapun, Jakarta tetaplah Jakarta. Di sinilah lahan perjuangan yang tak henti berdetak cepat. Demi bersua sahabat, saya kembali ke ibukota. (*)
Foto sampul:
Senja di langit Kepanjen
Tinggalkan Balasan