Bee Jay Bakau Resort Probolinggo. Nama yang panjang tersebut mulanya saya dengar bukan begitu.
Tapi lewat singkatan.
BJBR. Singkatan itu jelas awalnya masih asing di telinga saya. Selama ini, yang familiar atau populer sebagai tempat wisata di Probolinggo antara lain: Gunung Bromo, air terjun Madakaripura, rafting Pekalen, Gili Ketapang, Gunung Argopuro, Pantai Bentar, Ranu Segaran, atau Ranu Agung.
Bagaimana BJBR itu?

Pertanyaan itulah yang terus menggema di pikiran sepanjang mengemudikan mobil dari Madakaripura. Terus membangkitkan rasa penasaran hingga makan siang di alun-alun kota Probolinggo. Tanda tanya yang akhirnya menemukan jawabannya ketika sudah memegang karcis masuk.
BJBR itu ternyata adalah Bee Jay Bakau Resort. Atau sekalian BJBRP: Bee Jay Bakau Resort Probolinggo
* * *
Terhormatlah tiga serangkai: Benjamin Mangitung, Justinus Tan dan Juda Mangitung, yang telah mengubah wajah hutan bakau Muara Kali Banger. Dari yang semula berbau busuk penuh sampah, diubah menjadi ladang “emas” yang bermanfaat bagi sekitarnya. Potret nyata bagaimana bisnis dapat berdampingan seiring dengan terjaganya ekosistem.

Memang BJBR baru sekitar hampir tiga tahun berdiri dan akan terus berkembang. Namun, tiga serangkai tadi mulai memetik hasilnya, BJBR pun perlahan tapi pasti akan menjadi primadona baru ecotourism di Jawa Timur. Seperti itulah kesan pertama yang tebersit dalam benak saya. Kesan positif yang beriring dengan harapan. Ongkos karcis masuk saya anggap sebagai salah satu bentuk kontribusi kecil mendukung perkembangan tempat wisata ini. Dukungan materi yang kasat mata, semata karena peduli dengan masa depan pesisir utara Kota Probolinggo
* * *
Jalan kayu tanpa pagar langsung bercabang dua setelah pemeriksaan karcis. Rambu mencolok bertuliskan “IN” sudah jelas mengarahkan pengunjung. Namun sebagian pengunjung juga ada yang menerjemahkan “IN” sebagai jalan keluar. Sementara rambu bertuliskan “OUT” tetap seperti arti harfiah, sebagai jalan keluar.
Saya melanjutkan berjalan pelan. Sembari kepala celingukan ke sana kemari.

Pohon bakau tumbuh hampir sejajar di sisi jalan kayu tersebut, kanan dan kiri. Sudah tumbuh cukup tinggi, berkisar antara 2-4 meter. Di beberapa titik malah sudah tumbuh rimbun, menimbulkan suasana teduh di pesisir pantai utara Probolinggo yang senantiasa terik dan gerah. Kata teman, jika sudah petang jelang malam akan terlihat cantik dengan kerlip lampu-lampu. Walau, harus sedikit berusaha menghalau lalu lalang nyamuk.
BJBR cukup ramai saat itu. Berbekal pinjaman dua kamera digital, saya justru tertarik memotret sudut-sudut sepi di sini. Mencoba mengurangi unsur manusia terlihat utuh di dalamnya. Entahlah, mungkin karena ingin suasana berbeda saja.
Saya melanjutkan berjalan pelan. Sembari kepala celingukan ke sana kemari.

Air laut saat itu sedang surut. Gurat akar pohon bakau terlihat cukup jelas. Menancap kokoh, terus tumbuh meninggi, melawan gravitasi bumi.
Dulu saat pertama kali mengenal dan melihat pohon bakau, yang saya tahu adalah pohon bakau bermanfaat untuk mencegah abrasi di tepi pantai. Ketika menelusuri kembali informasi sepulang dari sana, ternyata manfaat pohon bakau sangat banyak sekali dari berbagai segi. Antara lain fungsi dari segi fisik, kimia, biologi, ekonomi, dan wisata.

Beruntunglah pohon-pohon bakau di Muara Kali Banger ini terselamatkan dan terurus kembali setelah dibiarkan terserak. Ibarat penyelam yang suplai oksigen dalam tabungnya menipis, lalu kembali ke permukaan menyudahi penyelaman. Ia kembali bangkit dari dalam air, menghirup udara segar sepuasnya. Kini kaki-kaki (akar) pohon bakau pun semakin bebas dari balutan bakteri jahat yang ditularkan sampah-sampah atau limbah buangan manusia.
Saya melanjutkan berjalan pelan. Sembari kepala celingukan ke sana kemari.

Saya tertarik pada bangunan mungil yang berdiri sendiri di atas laut yang sedang surut. Sebuah bungalow atau kamar inap. Di dalamnya ada seseorang yang berbicara melalui telepon selulernya, dengan mondar-mandir di dalam kamar.
Konsep kamar yang asyik, pemandangan membentang ke segala penjuru dari balik jendela dan pintu. Dilengkapi berlembar-lembar kelambu sebagai senjata privasi. Kamar ini lokasinya berdekatan dengan sebuah kafe atau resto dengan bentuk unik, dibangun di atas perahu besar. Seolah-olah para pengunjung sedang menikmati sajian di atas kapal karam.

Saya dan teman-teman berhenti sejenak di sini. Duduk-duduk di tepi jalan kayu dan menggantungkan kaki. Mengayunkan kedua kaki untuk sekadar diregangkan.
Di sekitar kami, cukup banyak objek yang (menurut saya) menarik untuk dipotret.

Yang pasti menjadi objek utama adalah tulisan “BJBR” dalam huruf kecil yang berdiri teguh. Tak pernah sepi pengunjung menempel lekat pada keempat abjadnya. Tentu akan lebih gampang muat dalam frame kamera ketika dipotret, karena hanya terdiri dari empat huruf. Dengan kondisi tempat (angle) yang terbatas, akan sangat merepotkan jika tulisan “Bee Jay Bakau Resort” yang didirikan.
Saya melanjutkan berjalan pelan. Sembari kepala celingukan ke sana kemari.

Ketika melewati sebuah lapak kecil dengan deretan kursi kayu panjang di atasnya, ingin rasanya duduk-duduk lama di sana. Mendendangkan lagu sembari menyeduh kopi. Suasana yang akan semakin syahdu jika air laut sedang pasang dan bergemericik.
Sayang, selain waktu yang terbatas, tidak ada yang membawa gitar untuk dipetik. Jadi, terus berjalan memang merupakan pilihan terbaik saat itu.
* * *

Masih ada rasa-rasa penasaran tentang pengandaian jika berlama-lama di tengah pohon bakau tadi. Bagaimana rasanya menyantap sajian menu khas sari laut di atas kapal karam. Bagaimana rasanya jika menginap semalam di bungalow di atas air laut yang pasang-surut. Bagaimana rasanya jika menyambut matahari terbit dari depan kamar. Bagaimana rasanya menembang kidung-kidung cinta yang dapat berharmoni dengan alam sekitarnya.
Suatu saatlah, seperti pengalaman berkunjung ke sebuah tempat yang belum sempat. dinikmati seluruhnya. Kode atau tanda untuk kembali lagi ke tempat yang sama, begitu kata orang-orang.
Saya berjalan menjauh dari pohon bakau yang berjejal, menuju wahana yang cukup menarik di dekat tempat parkir.

Seperti pada foto pertama dalam tulisan ini, sebuah bola dunia disangga dan diguyur air mancur dari segala penjuru. Saya dan teman-teman nyaris serempak menyebut, jika pemandangan demikian nyaris menyerupai wahana Universal Studio di Singapura.
“Hore! Kita berada di Universal Studio Singapura…. versi ‘kawe 2′,” cetus saya.

Di bawahnya, terdapat kolam bundar berisi air laut. Pengunjung dilarang keras nyemplung, karena tertera jelas peringatan berhati-hati di tepinya. Ternyata ada ikan hiu di dalamnya, juga penyu berukuran cukup besar yang berjalan lambat.
Selain kolam penyangga bola dunia itu, masih ada wahana-wahana lain yang sebenarnya cukup menarik. Seperti wahana menaiki perahu kano, atau aktivitas memberi makan ikan. Namun ternyata saya tidak tertarik.

Ngantuk berat yang tiba-tiba menjadi alasan saya tidak tertarik mencoba semua wahana. Kelopak mata rasanya ingin segera menutup diri. Bagi seorang sopir seperti saya, ini sebuah kode keras. Memaksa saya menjauh dari kolam dan wahana lainnya. Berjalan menepi ke sisi bangunan yang berisi toilet umum dan musala.
Sementara yang lain masih duduk-duduk bercengkerama, saya memilih untuk merebahkan diri. Menciptakan sudut sepi sendiri dengan cara memejamkan mata, menghanyutkan diri dalam tidur selama beberapa menit.

Keputusan tidur yang cukup penting. Meskipun terbangun dengan mata masih terasa pedas, namun setengah jam terpejam sudah lebih dari cukup. Serasa tubuh kembali bugar. Ada energi baru untuk kembali melek dan fokus, melajukan mobil pulang ke lahan perantauan sekaligus perjuangan, Kota Malang. (*)
Foto sampul:
Ini di BJBR, bukan di Universal Studio Singapura
(Seluruh foto dalam tulisan ini diambil oleh saya sendiri, menggunakan dua buah kamera digital pinjaman)
Tinggalkan Balasan