Saya tak mengindahkan apapun yang dilakukan tubuh dalam lelap, setelah semalam mengabadikan gemerlapnya gemintang di langit Ranu Kumbolo. Telanjur dimanjakan hangatnya balutan sleeping bag berbahan dracon dan polar. Belum lagi kupluk dan jaket gunung yang ikut menghangatkan. Bergitulah nikmatnya melalui malam bersama dunia mimpi. Oh tunggu, bahkan saya yakin tidak bermimpi apa-apa.
Tahu-tahu sudah Subuh. Saya tahu saat itu sudah Subuh, karena langit gelap mulai pudar dan teman setim tuntas menunaikan salat dua rakaat.
Ah, berat rasanya membuka mata, jika memilih mengabaikan fakta indahnya sunrise di Ranu Kumbolo. Berkali-kali menyadari, bangun dari kehangatan tidur lalu beranjak pergi mengambil wudu itu merupakan perjuangan. Apalagi berwudu dengan bekunya air Ranu Kumbolo, yang saat itu masih dihiasi kabut tipis yang melayang di permukaannya.
“Pakdhe, tolong fotoin,” rajuk mereka. “Pakdhe” adalah sapaan lain terhadap saya.
Klik! Klik! Klik! Saya bersemangat memencet tombol shutter kamera. Lalu sejenak melihat hasilnya di layar display.

Tiba-tiba tebersit sebuah keinginan, sampai saya pun mengulum senyum simpul. Pasti menarik memotret wajah dan polah teman-teman menyambut pagi di Ranu Kumbolo, pikir saya begitu.
Puas menghasilkan beberapa bingkai foto matahari terbit, berikutnya saya berubah wujud dari pemburu landscape menjadi paparazzi.

Bersamaan dengan menghangatnya cahaya matahari pagi, pelan-pelan rona wajah mereka semakin jelas terlihat. Berburu potret mereka sebagai kegiatan pembunuh waktu, sebelum matahari menampar dengan cahaya keras jauh di atas batas horizon.
Jadinya, saya pun seolah mendapatkan bukti nyata. Bahwa polah seseorang akan terlihat lebih natural saat dipotret tanpa sepengetahuannya. Lebih khusus, di gunung memang orang-orang akan memperlihatkan sifat aslinya. Perilaku yang biasa dilakukan di kesehariannya.

Di antara 15 orang dalam tim pendakian, sekitar tiga orang di antaranya sudah pernah merasakan kedamaian Ranu Kumbolo, yaitu Rizky, Anggrek, dan saya sendiri. Sisanya, mengalami euforia serupa saat kami dulu pertama menginjakkan kaki di sini. Ada raut gembira, senang, atau apapun. Raut wajah dan polah yang jelas sekali lebih dari sekadar kata-kata untuk menunjukkan ekspresi kekaguman.
Saya sendiri pun, tak akan bisa berhenti mengakui jika Ranu Kumbolo adalah puing surga. Meskipun, akhir-akhir ini agak ternodai dengan ulah tamu-tamunya yang tak semuanya sadar. Nyaris mengubah wajah surgawinya seperti pasar.

Sampai matahari meninggi, meninggalkan celah dua bukit, sebagian dari mereka seperti belum mau berpaling dari arah timur. Sebagian lagi sibuk menyiapkan minuman penghangat tubuh. Mulai dari teh, susu, maupun kopi disediakan untuk mengganjal perut sementara sebelum memasak menu sarapan. Sarapan di hari terakhir kami di Ranu Kumbolo.
Semoga bukan sarapan terakhir untuk seterusnya. Momen kenikmatan menyantap sarapan pagi di tepi Ranu Kumbolo, tak akan tergantikan dengan sarapan di restoran dengan menu nan mewah.

Perlahan-lahan, langit biru bersih mulai menampakkan diri. Cahaya yang lembut menjadikannya terlihat segar. Pemandangan Tanjakan Cinta dan punggungan bukit di sebelahnya memang akan lebih sedap dipandang kala pagi. Saat terik matahari belum terlalu keras menerpa di siang bolong.
Hmm, Tanjakan Cinta. Terlepas dari mitos yang melekat padanya, Tanjakan Cinta selalu menjadi latar belakang favorit untuk berfoto ria. Orang-orang sekarang mungkin akan mengatakannya dengan sebutan photogenic, atau instagramable.

Saat hendak pulang pun kami sepakat, bahwa terlalu singkat untuk menikmati Gunung Semeru dan seisinya, terlebih Ranu Kumbolo. Keindahannya sepanjang hari sudah nyata terkadang mengalahkan pamor Mahameru itu sendiri. Tempat yang kenyamanannya mampu mengobati kekecewaan, yang mungkin terasa ketika impian menggapai puncak Mahameru tertunda.
Dulu pernah terjadi percakapan lucu dengan seorang kawan pendaki saat pertama kali ke Semeru. Saat itu kami terpaksa mengurungkan niat melanjutkan perjalanan ke Kalimati dan puncak Mahameru. Seorang rekan, Mas Kurniawan dalam kondisi fisik yang drop dan riskan melanjutkan perjalanan lebih jauh. Dengan nada bercanda dan mungkin untuk menghibur kami, kawan pendaki bernama Nita itu tiba-tiba nyeletuk memecah tenangnya riak Ranu Kumbolo di pagi hari.
“Kita memang batal ke Mahameru, tapi yang penting kita sudah berdiri di Mahambolo!” (*)
Foto sampul:
Matahari terbit di langit Ranu Kumbolo yang keemasan
Tinggalkan Balasan