Aku berhenti sejenak setelah berlari penuh ambisi dari Tanjakan Cinta. Tanah berdebu sabana Oro-oro Ombo sudah kujejak teguh. Aku ingin ngobrol sebentar dengannya,
Sebentar, kutata dulu napasku yang masih tersengal.
“Hei, gulma. Kamu memang mirip dengannya (lavender), tetapi nyatanya bukan. Kamu rupanya licik. Bertahun-tahun tumbuh semenjak masa kolonial, lalu memperindah diri sendiri demi dibelai para pendaki.
“Kamulah, si Verbena brasiliensis, anggota keluarga Verbenaceae si tumbuhan semak tahunan. Buahmu kecil, mudah terbawa angin pegunungan. Menempel di tubuh pendaki atau para satwa. Lalu seenaknya melepaskan diri demi bereproduksi kembali. Tak heran kamu ada di mana-mana. Bungamu yang berwarna ungu itu, ternyata penuh tipu daya.
“Keindahanmu melenakan. Kamu menumpang tenar di padang rumput Oro-oro Ombo yang hanya diam tak berani bersuara. Di balik topeng manismu, kamu mengancam keseimbangan ekosistem Gunung Semeru yang agung.
“Sungguh hidupmu begitu egois. Kamu serupa dengan Salvinia molesta yang melumuri tenangnya permukaan Ranu Pani, atau Acacia nilotica yang merenggut napas hara sabana Bekol di Baluran. Watakmu bagaikan si kolonial yang dulu pernah membawamu kemari. Menjajah perlahan. Menancapkan syahwat kekuasaan secara halus. Sudut-sudut Taman Nasional Bromo Tengger Semeru pun kau cengkeram. Sabana Bromo, Pananjakan, Ranu Regulo, Jambangan, Kalimati, dan Oro-oro Ombo yang (sejatinya) indah, kini terancam.
“Kamu si penipu ulung, kamu harus dimusnahkan, kamu harus diusir dari tanah para dewa!”
Hening. Hanya terdengar lalu lalang para pendaki yang berjalan cepat. Debu-debu beterbangan, mengusik percakapan kita. Para “kafilah” itu berlalu. Semakin menjauh. Aku kembali menatapnya.
Tiba-tiba sekuntum bunganya berkata kepadaku, “Apakah kamu menyalahkanku atau menuduh orang botani kolonial yang dulu membawaku berkembang biak di sini?”
Aku terkesiap! Tak menduga kamu menjawab seperti itu padaku. Aku memejamkan mata, berpikir sejenak. Kuambil napas panjang.
“Aku hanya marah. Aku menyalahkan apa yang bisa kulihat, karena aku tak mungkin menyalahkan-Nya. Aku hanya tak rela alam raya taman nasional yang kucintai sejak lama, terancam kelestariannya. Aku hanya tak ingin rumah bagi segala kehidupan ini tersenyum getir di balik rupa manismu,”
Hening lagi beberapa saat. Verbena brasiliensis! Dasar, ia diam saja? Hari akan beranjak petang. Baiklah, aku akan melanjutkan, sekaligus menutup percakapanku dengannya.
“Untuk saat ini, aku hanya bisa berharap kamu sadar diri. Aku percaya, Tuhan akan turun tangan pada waktunya.”
“Maaf, Kalimati dan Mahameru sudah menungguku.”
Aku berlalu, membelai sang gulma sejenak lalu mencerabut sekuntum bunganya yang ungu. Anggap ini peringatan dariku.
Salam. (*)
Foto sampul:
Tanaman parasit di sabana Oro-oro Ombo, Gunung Semeru
Tinggalkan Balasan