Dalam prasasti Mula Malurung yang ditulis tahun 1255, disebutkan bahwa pada 1254, Wisnuwardhana mengangkat anaknya, Kertanagara sebagai yuwaraja (putra mahkota). Dan seolah sudah mengetahui kapan kematian menjemputnya (Wisnuwardhana wafat tahun 1270 dan didharmakan di Candi Jago, Tumpang), singgasana maharaja diberikan kepada Kertanagara pada tahun 1268. Perlahan-lahan, di bawah kendalinya, Kerajaan Singhasari mencapai puncak kejayaan.
Ada satu kisah singkat yang paling saya ingat tentang raja keempat Singhasari tersebut. Sebuah kisah yang menggambarkan Kertanagara sebagai raja yang berwibawa dan gagah berani.
Kertanagara, yang dalam kitab Negarakretagama dianggap sebagai raja yang menguasai semua ajaran Hindu dan Buddha, pernah mengadakan ekspedisi Pamalayu. Tujuan utama ekspedisi ini adalah untuk memperkuat pengaruh Singhasari hingga Selat Malaka, dengan cara menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatra. Ekspedisi ini juga untuk menghadang Dinasti Mongol pimpinan Kubilai Khan, yang berusaha memperluas pengaruh kekuasaan hingga ke Jepang dan Jawa. Bisa dibilang, ekspedisi tersebut dianggap sebagai ambisi Kertanagara sebagai raja Jawa pertama yang memiliki keinginan menyatukan nusantara. Jauh sebelum Sumpah Palapa didengungkan Mahapatih Gajah Mada.
Suatu ketika di tahun 1289, datanglah utusan Kubilai Khan, Meng Khi ke Singhasari. Ia menghantarkan perintah dari Kubilai Khan agar Kertanagara tunduk pada Mongol. Dinasti Mongol yang memiliki bentangan wilayah kekuasaan yang sangat luas pada masanya dan terkenal kejam, ternyata tak membuat silau Kertanagara. Dengan lantang ia menolak permintaan lancang tersebut. Bahkan, sang raja melukai wajah Meng Khi. Dalam sebuah riwayat bahkan merinci kalau Kertanagara sampai memotong salah satu telinga Meng Khi. Utusan Mongol tersebut pun disuruh pulang, menyampaikan pesan balasan bahwa Singhasari tak akan tunduk pada Mongol.

* * *
Simbol kebesaran Kertanagara hingga kini terkenang melalui Candi Singhasari. Tempat pendharmaan raja yang bergelar Sri Maharajadhiraja Krtanagara Wikrama Dharmmottunggadewa itu berdiri kokoh layaknya kegagahan Kertanagara pada masanya.
Sekilas, jika diamati, pada bagian atap candi terkesan berantakan. Ibarat atap rumah, ada bagian genteng yang terlepas. Kondisi tersebut menimbulkan dugaan bukan karena faktor alam. Melainkan karena candi tersebut belum selesai dibangun, ketika Kertanagara wafat pada 1292 akibat serbuan pemberontak Jayakatwang, bupati dari Gelang-gelang.

Bangunan candi yang dibuat dari batu andesit tersebut, semakin menegaskan bahwa candi-candi peninggalan Singhasari lainnya terbuat dari bahan yang sama. Seperti pada Candi Kidal, candi ini juga kaya akan koleksi arca dan pahatan relief. Di dalamnya, ada liang atau ruangan yang terdapat lingga dan yoni. Orientasinya menghadap ke barat dan menghadap ke Gunung Arjuno. Kemungkinan besar kedua objek tersebut memiliki keterkaitan mengenai penggunaan untuk pertapaan pada masanya.
Di halaman candi, terdapat cukup banyak arca yang berjejer rapi. Namun, sebagian ada yang sudah hilang bagian kepalanya. Bahkan, arca Durga dan arca Ganesha yang harusnya ada dalam setiap bilik candi juga hilang tak diketahui rimbanya. Sebagian reruntuhan dan arca yang pernah ditemukan seperti arca Prajnaparamita, disimpan di Museum Nasional Jakarta. Sebagian lagi disimpan di Museum Leiden, Belanda.

Yang menarik lagi adalah adanya dua arca Dwarapala berukuran raksasa dan saling berhadapan, yang diyakini sebagai yang terbesar di Pulau Jawa. Lokasinya terletak tak sampai 100 meter di sebelah barat candi. Kedua arca di atas tanah lapang tersebut menguatkan dugaan, bahwa lokasi tempat berdirinya Candi Singhasari saat ini dulunya merupakan pusat kerajaan. Sekilas, tampang arca Dwarapala memang terkesan angker karena sosoknya yang besar dan menampakkan taring. Namun, sebenarnya Dwarapala merupakan sosok penjaga gerbang kerajaan yang penuh kasih sayang kepada semua makhluk hidup. Posisi senjata gada yang menghadap ke bawah, juga menunjukkan ungkapan selamat datang bagi para tamu kerajaan.
* * *
Atas jasa dan kebesarannya, Kertanagara bersama raja-raja Tumapel dan Singhasari sebelumnya, namanya diabadikan dalam jalan-jalan yang membelah perkampungan kawasan purbakala Candi Renggo, Kecamatan Singosari. Jika saya berada dan berkeliling di Candi Renggo, bagaikan menjadi seorang tamu kerajaan. Membalas sapa arca Dwarapala dan bersimpuh di selasar Candi Singhasari. Mengelus-elus pahatan relief dan membelai arcanya. Salah satu bentuk kekaguman saya akan kebudayaan pada masa lampau.
Singosari pun, kini telah tumbuh menjadi salah satu kecamatan yang berkembang pesat di bawah naungan Kabupaten Malang. Walaupun, terkadang keberadaan kawasan purbakala Candi Renggo kerap terabaikan dengan lalu lalang modernisasi. Tidak dengan saya, yang kadang justru mengabaikan kesibukan para pembuat lalu lalang. Saat berkunjung ke sana, saya seperti mendapat semangat baru untuk menumbuhkan kembali kebanggaan pada nusantara. Tanah air yang dulu pernah jaya dan disegani dunia.

Jadi, sudahkah kita berada pada kesimpulan, bahwa mengunjungi situs purbakala lebih dari sekadar berfoto ria? Jika iya, maka kita berhasil dengan tepat untuk memahami dan memaknai peninggalan kerajaan besar terdahulu. (*)
Foto sampul:
Candi Singhasari, Malang
Tinggalkan Balasan