Apa yang ada di pikiran Anda tentang makna definitif seorang pendaki gunung?
Keren? Kekar? Kebal badai? Rupawan? Berambut gondrong? Sabar? Perhatian? Dewasa? Atau apa?
Maka ketika dulu (saya lupa kapan persisnya) pertama kali tiba di halaman blog Jalan Pendaki, definisi-definisi yang tersebut di atas luruh. Terlebih, ketika seorang Acen Trisusanto (sang pendaki), memproklamirkan diri sebagai seorang pendaki yang:
“Gue ini pendaki gunung tapi takut segala jenis reptil mulai dari ular, kadal, kadal yang kayak ular, ular yang mirip kadal, dan kura-kura. Bukan takut sih, geli aja. Bhay!”
“Kocak juga orang ini,” begitu pikir saya.
Betapa tidak, bayangan pendaki gunung macam Norman Edwin atau seven summiters seolah terbantahkan dengan sesosok Acen. Bagaimana mungkin seorang pendaki gunung merasa takut (ngakunya geli) dengan berbagai macam hewan reptil, yang pasti banyak hidup di hutan rimba? Bagaimana jika suatu saat (andaikan) dia tersesat, dan harus bertahan hidup dengan memakan sebagian jenis reptil tersebut, misalnya?
Namun, setelah membaca sebagian cerita serunya saat mendaki gunung-gunung di Pulau Jawa, sepertinya keberuntungan kerap menaunginya. Saya berdoa ia tidak sampai mengalami kejadian demikian.
Saya belum pernah bersua langsung dengannya. Hanya sesekali meninggalkan komentar di sebagian artikelnya. Namun, saya dapat menyimpulkan jika seorang Acen dengan “brand” Jalan Pendaki-nya merupakan sosok yang obsesif. Dia akan mengejar puncak demi puncak gunung yang belum pernah didakinya.
Seperti contoh saat mendaki Gunung Raung. Ia mengakui sendiri jika sifat kompetitifnya membuat hatinya mendidih dan membara, ketika banyaknya teman akrabnya “meracuninya” dengan megahnya puncak sejati Gunung Raung. Dan pernyataan “tanpa pandang bulu” dapat saya artikan hampir tanpa berpikir panjang, ketika memutuskan langsung mendaftarkan diri dalam sebuah open trip.

Polahnya, narsisnya, kegalauannya, dan sumpah serapahnya yang mungkin bagi sebagian orang Jawa tulen (seperti saya) agak tabu diucapkan di gunung, turut mengiringi perjuangannya hingga berdiri di puncak sejati. Puncak yang diidam-idamkan banyak pendaki. Mungkin Mahameru pun kalah pamor dengan megahnya puncak sejati dan kaldera Gunung Raung.
Walaupun, jujur, mengikuti tutur cerita kocaknya turut membuat tegang. Utamanya saat proses summit ke puncak sejati yang saya pun tak bisa membayangkan jika mengalaminya sendiri. Untuk soal tekad dan ambisi, saya yang juga suka mendaki gunung merasa perlu menundukkan hormat kepadanya. Saya belum sanggup untuk mengikuti jejaknya. Salut!
Sebagai seorang pendaki, tentu ia tidak hanya menceritakan pengalamannya semata. Tentu sebuah panggilan moral baginya untuk berbagi mengenai tips dan trik mendaki gunung. Salah satu tulisan yang bermanfaat untuk diterapkan adalah tentang “Panduan Mendaki Gunung Masa Kini“. Dengan gaya bahasa yang kocak dan ringan, membuat panduannya mudah dipahami. Kemudahan akes informasi (internet) ia manfaatkan sebagai ajakan untuk mendaki gunung. Ia adalah salah satu orang yang seperti menekankan bahwa mendaki gunung saat ini bisa dilakukan siapa saja. Asal dengan persiapan dan rencana yang matang.
Ada satu hal lagi yang membuat saya salut dengan Jalan Pendaki. Yaitu, inisiatifnya membentuk semacam wadah open trip dan menciptakan beberapa kaos dengan brand Jalan pendaki. Terlepas apakah ini untuk mempererat Jalan Pendaki dengan penggemarnya atau untuk tujuan lain, bagi saya dua langkah tersebut adalah jalan agar Jalan Pendaki tetap eksis. Agar seorang Acen dan rekan-rekan yang bersukarela mendukungnya tetap bisa berkelana menapak tanah-tanah tertinggi. Bahkan saya menunggu cerita Jalan Pendaki saat mendaki gunung-gunung eksotis di luar Jawa macam Kerinci, Rinjani, Agung, Tambora, Latimojong, atau Leuser mungkin.
Mungkin sudah saatnya Jalan Pendaki melebarkan sayap. Melanjutkan buku keduanya setelah antologi kisah horor pendakian “Penunggu Puncak Ancala” yang diterbitkan Bukune. Mengembangkan kreasi Japen Magz sebagai proyek utamanya.
Ah, mungkin terlalu panjang tulisan ini saya buat. Kalau saja saya pernah bersua dan mendaki bersama Jalan Pendaki, mungkin akan lebih panjang lagi saya bertutur kata. Atau, sebut sajalah tulisan ini merupakan sebuah surat. Surat apresiasi untuk Jalan Pendaki, yang berusaha untuk terus memanjakan pembaca setianya. Agar sesuai dengan tagline yang diusung: “Karena cerita para pendaki, lebih enak dibaca dengan secangkir kopi”. Semoga kita bisa bersua di lain waktu, Bang! Entah di warung kopi atau di tanah tertinggi.
Salam pelangi. (*)
Foto sampul:
Tampilan Blog Jalan Pendaki
Tinggalkan Balasan