Maaf. Pantat saya terasa menipis. Bahasa gaulnya “tepos”. Perjalanan dari Yogyakarta hingga benar-benar berhenti di tempat ini sungguh tak singkat. Dan kebetulan lebih sering berposisi sebagai yang dibonceng. Memanggul carrier 75+10 liter yang menarik-narik tubuh, ketika motor menapak tanjakan itu rasanya melelahkan.
Akhirnya. Tak menyangka sebenarnya kami berdua sampai di tempat ini. Saya dan Uki merasa beruntung menginjakkan kaki di sini, sebelum hujan turun terlampau deras. Walau memang, saat mendirikan tenda kami agak tergesa karena rintik gerimis semakin deras. Tetapi, setelah tenda berdiri kokoh, gerimis mulai perlahan mereda.
Di dalam tenda, kami berdua mengungkit kembali perjuangan perjalanan dari Yogya. Dan masuk di kabupaten yang menaungi tempat cantik ini, kami beruntung bertemu orang-orang yang ramah. Mereka yang dengan murah senyum menunjukkan arah tempat yang akan kami tuju.
“Dringo? Dringo?” tanya seorang petani yang baru pulang dari ladang.
Petani itu mengucapkan kata Dringo dengan lafal “o” yang berbunyi seperti pada kata “ijo”. Entah, saya kadung akrab melafalkan dengan bunyi “o” seperti pada “buto”. Dan akhirnya, saya malah nyaman dengan pelafalan Bapak petani tadi. Sudahlah.
“Inggih, Pak, Telogo Dringo, pripun arahipun?” (1)
Lalu ia menunjukkan arah dengan semangat. Lurus terus, sampai ketemu pertigaan SD Pekasiran, Kecamatan Batur, belok kanan.
“Kinten-kinten pinten kilo malih nggih, Pak?” (2)
Ia mengacungkan dua jari. Berarti tinggal dua kilometer lagi. Angka yang membuat kami semakin semangat melaju. Semangat pun kian menggebu.
Jalan aspal semakin menanjak. Sebagian besar lapisan permukaannya mengelupas, menyisakan bebatuan mencuat nan licin. Kenangan saya kembali bernostalgia pada perjalanan menyusuri Desa Argosari menuju B29. Motor saya kian merintih dan akhirnya mati.
Dua kilometer yang terjal. Seakan lima kilometer.
Saya mengambil alih kemudi. Melajukan motor lebih kencang. Kawah Candradimuka dilewati begitu saja. Hingga tiba di pertigaan. Memandang ke arah kanan, mata semakin nanar melihat jalan semakin menanjak seolah tak berujung di kejauhan. Kami sudah lelah dan merasa iba pada erangan mesin motor.
Dewi fortuna tiba pada saat yang tepat. Datanglah sepasang suami istri mengendarai motor. Uki mencegat mereka dan bertanya lagi. Setelah datang, dewi fortuna sekarang tersenyum. Pasutri itu menunjukkan arah ke kiri, arah yang juga akan dia lalui.
Ternyata sudah hampir 7 jam berkendara. Dan akhirnya di sinilah kami. Bertenda tanpa ada tetangga. Hanya orang-orang setempat yang rela memancing bahkan di bawah guyuran hujan. Hingga malam menjelang pun. Air danau yang sedang surut di tepinya, memungkinkan mereka melempar kail dan pancing. Lalu duduk, meringkuk, menanti ikan-ikan menyambut bujuk rayu mereka. Sedangkan kami menikmati pergantian hari di dalam hangatnya tenda. Sedangkan bintang malam sering berebut tempat dengan sang mega.
* * *
Dari Sini Saja Sudah Indah
Niat menyambut matahari terbit dari atas bukit urung dilakukan. Bukan karena dingin, melainkan karena keterbatasan waktu. Selambatnya malam ini kami sudah harus sampai Solo. Menginap semalam di rekan-rekan UNS untuk memulihkan tenaga. Mencicil kilometer demi kilometer sebelum benar-benar tiba di Malang kembali.
Maka, sejak membuka mata pas Subuh menjelang, saya mengajak Uki untuk menyiapkan sarapan. Sehingga ketika hari sudah agak terang, kami bisa segera sarapan. Lalu mengemas barang dan bergegas pulang.
Tetapi, pesona pagi ini membius mata. Memang masih dingin, tetapi tak rela jika harus kembali meringkuk dalam tenda. Rerumputan sedang basah, bercampur antara embun dan sisa hujan kemarin sore. Suara angin mendayu-dayu. Air danau bahkan tak terdengar suaranya sama sekali. Benar, ini telaga, bukan pantai.
Ketika menghadap ke belakang, pepohonan cemara khas pegunungan tegak berdiri. Sesekali dahannya bergoyang gemulai. Mengingatkan saya pada Cemoro Kandang di Gunung Semeru.
Subuh telah berlalu. Perlahan tapi pasti, sang fajar mulai menunjukkan diri. Haram berkata tidak indah jika berdiri di sini dan memandang sekeliling kala pagi. Kepala saya menggeleng bukan menyangkal keindahan yang tersaji. Melainkan menggeleng karena terpesona.
Kita berdiri di bawah langit dan menatap matahari yang sama. Tetapi, sebuah tempat memang memiliki ciri khas sendiri dalam memanjakan tamunya.
Lupakan soal angan menyambut sang surya dari atas bukit. Mungkin orang lain, bahkan Mas Muhajir-kawan asli Pekasiran yang rumahnya sempat kami datangi sepulang dari Dringo, mengatakan bahwa akan lebih bagus lagi jika memotret dari atas bukit.
“Iya sih, Mas. Ah, mungkin ini tanda bahwa saya harus kembali ke sana lagi,” kata saya.
“Dari sini saja sudah indah,” kata saya lagi, sembari menunjuk areal tepi danau di layar display kamera.
Tidak hanya indah. Tetapi juga sunyi. Iya, kami berdua mencari sunyi. Bermalam di Dringo adalah keputusan mutlak, ketika kami diberitahu mbak Olipe-kawan asal Purwokerto, merekomendasikan tempat ini. Menyisihkan kandidat camp yang lain di Dieng macam Bukit Sikunir maupun Telaga Cebong.
Orang-orang setempat yang memancing pun sibuk dengan kegiatannya sendiri. Tak terlalu mengusik kami. Selang pipa yang panjang dan mengular itu juga tak ribut. Pipa-pipa itu melaksanakan tugas mulia, mengalirkan air dari telaga sebagai sumber irigasi bagi lahan pertanian mereka.
Kami mungkin sedikit egois. Karena ketika akan pulang pun tak rela tempat damai ini terbebani. Terbebani dengan para pelancong-pelancong berikutnya. Lebih baik mereka tidak usah ke tempat ini, jika kelak hanya akan membuat Dringo resah. Jejak gosong bekas api unggun adalah salah satu sumber keresahan kami. Tak rela, tak ikhlas jika saya menulis ini, kemudian di lain waktu ada pelancong yang datang berkacak pinggang.
Jangan ganggu kesunyian Dringo. Agar ada alasan untuk kembali ke sana saat saya rindu.
Salam pelangi!
Terjemahan:
(1) “Iya, Pak, Telogo Dringo, bagaimana arahnya?”
(2) “Kira-kira berapa kilometer lagi, ya, Pak?”
Tinggalkan Balasan