Sebentar, saya memejamkan mata dan menarik napas dalam terlebih dahulu. Hmm…
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu ‘alaikum, sugeng siang,
Kelendhi, Byapak, riko wis madhyang? Nek Isun wis tuwuk madhyang, ambekno Isun karipan. (*)
Ndhiko, Bapak Menteri. Njenengan jangan tertawa, ya. Kosakata bahasa Osing saya masih dangkal. Sehingga kadang-kadang saya masih belajar menambah perbendaharaan bahasa Osing dengan teman-teman yang asli Banyuwangi. Juga mendengarkan tembang dangdut Banyuwangian.
Sebelumnya, terimalah permohonan maaf saya jika surat ini tanpa amplop. Ya, pikir saya supaya tidak berkesan salam tempel atau ngasih “titipan” yang bisa dicurigai pimpinan KPK. Jadi, mohon dimaklumi jika tulisannya agak lecek. Bahasa halusnya “kusut”. Mohon diterima dan dibaca dengan lapang dada.
Sebenarnya akan menghabiskan puluhan ribu karakter kata dan berlembar-lembar halaman jika mengupas tentang pariwisata Indonesia dan seisinya. Maka bolehlah jika nanti saya menyelipkan sedikit pengalaman saat bertualang. Karena, saya juga seorang pejalan dan mencintai negeri ini. Nah, makanya saya menulis surat ini.
Masalah dan Harapan
Bapak Menteri, kita bicara tentang kesenjangan antara apa yang sedang dan seharusnya terjadi. Itulah masalah.
Saya ada contoh. Indonesia adalah negara cincin api. Kita hidup dan mati berdampingan di sini. Di balik amarahnya yang kadang terpendam, kadang terluapkan, gunung-gunung berapi di Indonesia menyimpan pesona yang tak bisa diabaikan.

Saya suka mendaki gunung. Bersyukur sekali gunung-gunung tersohor macam Bromo, Semeru, Arjuno, Welirang, Rinjani, Merbabu, Merapi, Slamet, Gede, dan Pangrango berkenan menerima tamu seperti saya. Di tempat-tempat eksotis di ketinggian itu, ada petuah-petuah kehidupan yang diajarkan sang alam dan hutan rimba.
Tetapi, nyaris kebanyakan dari “mereka” merenung. Ketika tak semua tamu-tamunya merupakan pendaki yang bertanggung jawab. Gunung-gunung itu seperti dikotori dan dinodai dengan sampah berserakan dan kelakuan yang tak berperikealaman. Ini masalah yang jamak. Padahal seharusnya gunung itu, kan… semestinya alam itu, kan… Ah! Njenengan sama Menteri Kehutanan itu mestinya tahu bagaimana gunung itu seharusnya.
Taman nasional hanya bisa mengimbau dan menindak tegas sepintas lalu. Ketika semua sudah terlanjur basah. Maka keterbatasan sumber daya manusia menjadi alasan. Mengharapkan kesadaran pendaki seperti pungguk merindukan bulan.
Dan tidak hanya di gunung saja, tapi juga tempat-tempat lainnya yang merana dalam diam saat pelaku wisata bersikap seperti langit. Saya pernah mengutarakan keprihatinan pada Pulau Sempu.
Tapi, ketika dua kali ke Semeru kala bulan pertama dibuka tahun 2014, ada harapan. Peraturan semakin diperketat, utamanya tentang sampah. Penerapan hukuman bagi pendaki mbalela yang gobloknya renang di kolam sakral Ranu Kumbolo, sudah berjalan cukup baik.
Tinggal bagaimana edukasi konservasi, dari satu pendaki yang bertanggung jawab bisa menular ke pendaki yang masih dangkal pola pikirnya. Ada harapan, tapi mengembalikan kedamaian dan kebersihan itu perlu kerja keras pantang berkacak pinggang.
Bapak Menteri, kita bicara tentang kesenjangan antara apa yang sedang dan seharusnya terjadi. Itulah masalah.
Kalau main ke Malang, akan saya ajak ke Pantai Kondang Merak. Malang Selatan. Pantai yang di awal tahun 1990-an terkenal karena terumbu karangnya yang masih terjaga. Konon salah satu tempat snorkling kelas dunia. Areal camping ground yang luas dan rindang, sampai sekarang. Jauh sebelum Pantai Balekambang mendadak tenar karena statusnya sebagai Tanah Lot-nya Pulau Jawa.
Tapi, Kondang Merak dari tahun ke tahun dirundung nestapa. Aksesnya rusak parah, berubah menjadi makadam. Terumbu karang mulai rusak, sebagian dicuri untuk dijual. Siapa yang melakukan itu? Bisa nelayan setempat atau pelancong berudel bodong. Semua demi alasan ekonomi. Saya pun ikut nangis melihat banyak koral yang terhempas ke tepi pantai. Terlepas dari habitatnya.
Perhutani, selaku pengelola yang juga membawahkan pantai Goa Cina, Bajulmati, Ungapan, dan beberapa pantai lainnya di Malang Selatan, sebenarnya tak becus mengurus persoalan pelik sejauh itu. Logika saya berpikir, orang yang mestinya ngurus hutan ngapain ngurus laut? Mengapa tak diberikan hak kelola pada yang lebih “berhak” seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang misalnya? Lewat mandat dari Pemerintah Kabupaten Malang? Seperti yang sudah tertata macam Pantai Balekambang, Ngliyep, dan akan menyusul Pantai Licin.
Tapi, kini perlu diapresiasi langkah-langkah para lembaga non-profit seperti Sahabat Alam yang konsisten merestorasi terumbu karang dan mangrove di Kondang Merak. Mereka lebih peduli. Ada harapan, tapi mengembalikan kejayaan itu perlu kerja keras pantang berkacak pinggang.
Bapak Menteri, kita bicara tentang kesenjangan antara apa yang sedang dan seharusnya terjadi. Itulah masalah.
Terkadang keadaan membingungkan kita. Seperti Pantai Kondang Merak yang saya ceritakan di atas. Jika akses diperbaiki dan mulus, dikhawatirkan lonjakan wisatawan yang tak diimbangi dengan pemulihan ekosistem. Tapi jika tak diperbaiki, akan ada keluhan akses dan sepinya pengunjung. Dampak positifnya, ekosistem akan terjaga. Serba repot, bukan?
Aduh, masih banyak masalah-masalah yang lainnya. Kalau njenengan membuka pintu rumah, jangan kaget jika ada orang-orang berseliweran sembari membawa spanduk bertuliskan pertanyaan-pertanyaan:
Mengapa ongkos ke Raja Ampat bisa sebanding dengan keliling dataran Cina?
Mengapa gajah dan manusia masih belum akur di Taman Nasional Way Kambas?
Mengapa sebagian pantai di Lombok masih rawan perampokan?
Mengapa gencarnya seremonial BanyuwangI Festival masih dianggap mengganggu ritual adat?
Mengapa, dan mengapa? Bla, bla, bla…
Duduk Bersama dan Berpikir Kreatif
Sudah melihat film Lucy yang dibintangi Scarlett Johansson, Morgan Freeman dan Amr Waked? Film buatan sutradara Luc Besson asal Prancis itu berhipotesa tentang apa yang akan terjadi jika manusia menggunakan kemampuan otaknya hingga 100%. Wow, itu luar biasa menakjubkan sekaligus mengerikan. Padahal manusia normalnya hanya menggunakan 10% dari kapasitas otaknya untuk bisa membuat berbagai mahakarya yang bisa terlihat saat ini. Ya, manusia harus mengakui betapa efisiennya cara berpikir lumba-lumba. Mamalia anggun itu mampu menggunakan kapasitas otaknya hingga 20%.
Katakanlah, Bapak Menteri memaksimalkan penggunaan otak njenengan hingga 10%, lalu mengajak sembilan orang lagi untuk menggunakan kapasitas 10% dari otak mereka. Kalau saya boleh usul, saya mau memilihkan sembilan orang itu untuk berembuk dengan njenengan. Misalnya, saya menyodorkan sembilan perwakilan. Ada perwakilan dari Perhubungan, perwakilan dari Komunikasi dan Informasi, perwakilan Kehutanan, perwakilan Kelautan dan Perikanan, perwakilan Pertanian, perwakilan kepada daerah, perwakilan pengusaha wisata, perwakilan orang lokal, dan tentu travel blogger. Jadi, genaplah 10 orang yang akan menggunakan masing-masing 10% kapasitas otak mereka demi 100% tercapainya gagasan dengan tujuan pariwisata lebih baik, berkesinambungan dan berkelanjutan. Indikatornya apa? Itu tugas yang akan kita cari bersama. Bapak Menteri yang pimpin rapat, kami yang sebar pendapat.
Eh, tapi njenengan jangan tertawa, ya. Jika tak masuk akal, silakan abaikan angka persentase itu, tetapi jangan abaikan pesan tersurat di sana. Bahwa Bapak Menteri harus mengajak dan melibatkan orang-orang terkait yang ahli dan memiliki passion di bidangnya untuk turut memajukan pariwisata kita. Seperti kata KH. Imam Khambali dari Surabaya, urip iku kudu sing rukun. Hidup itu harus yang rukun, karena rukun kunci dari tenteramnya hidup. Maka kita harus rukun supaya pariwisata lebih tertata. Apa tidak malu sama sang Garuda yang sudah susah payah mencengkeram erat semboyan Bhinneka Tunggal Ika?
Pokoknya, kita harus berpikir kreatif di tengah keterbatasan. Mungkin kita perlu belajar dari seorang Mbah Rumini. Beliau adalah penjaja mainan anak-anak dan suvenir kerajinan tangan di depan Museum Kereta Keraton, Yogyakarta. Mbah Rumini adalah cermin sosok yang hidup damai dengan apa yang dilakukannya sekarang. Kreatif sekalipun usia di penghujung senja.
Bapak Menteri, tentu Anda diberi amanah berat dari Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mendatangkan 20 juta wisatawan mancanegara (wisman) pada 2019. Target yang berat, tetapi bukankan njenengan punya motto“Success without plan is luck. Success with plan is achievement”?
Saya hanya mau titip pesan. Angka 20 juta wisman akan tiada berarti jika wisman itu tak semuanya bertanggung jawab, dan sekadar datang tanpa diajak menghormati tradisi dan budaya kita. Angka 20 juta wisman akan percuma jika kita tak mampu melayani mereka dengan budaya kita. Malah meninggalkan kesan-kesan yang bikin hati tersedu-sedan.
Karenanya, ayo, bentuk mental sumber daya manusia kita yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Sumber daya manusia yang bertanggung jawab, mau diajak peduli dan bekerja keras. Saya percaya, keberhasilan akan datang dengan sendirinya.
Saya mau mengingatkan sekali lagi mumpung sempat. Tak ada gunanya mengejar angka di atas rata-rata hanya demi gengsi dan prestise semata. Sungguh percuma jika uang mengalir deras bagai hujan gerimis, sementara di kalangan akar rumput masih merintih menahan tangis.
Dengarkanlah Saya
Oh iya, saya lupa. Sebelum menutup surat ini, saya ingin menghaturkan selamat dan standing applause untuk hal-hal baik yang telah mengiringi karir panjenengan. Selain dianugerahi sebagai Marketeer of The Year 2013, ada berderet penghargaan Satyalencana Pembangunan 2006, “25 Future Business Leader” versi Majalah Swa, Economic Challenge Award 2012 kategori Industri Telekomunikasi, Anugerah Business Review 2012 dari majalah Business Review, The CEO BUMN Inovatif Terbaik 2012. (Sumber: travel.kompas.com)
Belum lagi penghargaan dan capaian-capaian positif lainnya. Utamanya semasa njenengan menjabat Direktur Utama PT Telkom. Semoga njenengan tidak pongah. Seperti kata Anies Baswedan tentang makna pemimpin yang tulus, “Dipuji tidak terbang, dicaci tak tumbang”. Bisa kan njenengan seperti itu? Tenang, Pak Anies Baswedan juga menteri, kok.
Memang, manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Manusia juga yang sering mengaku tak akan pernah sempurna. Tetapi, mari mengingat potongan ayat dari Surat At Tin ayat 4, yang terjemahannya berbunyi:“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Ayat tersebut membuat saya harus percaya dan yakin. Berpikir positif. Bahwa njenengan adalah orang terpilih, orang yang tepat, dan yang terbaik di antara kami untuk mengurai benang kusut pariwisata Indonesia. Di tangan seorang Arief Yahya, saya memilih percaya! 🙂
Salam pelangi,
Wassalamu ‘alaikum.
(*) Bagaimana, Bapak, Anda sudah makan? Kalau saya sih sudah, meskipun bangun kesiangan
(Tulisan ini saya buat untuk menyambut ajakan terbuka komunitas Travel Bloggers Indonesia tentang #postbar #suratmenteri yang diprakarsai oleh anggota-anggota dari TBI)
Foto sampul:
Arief Yahya dan Abdullah Azwar Anas, dua putra kebanggaan Banyuwangi
(Sumber: banyuwangikab.go.id)
Tinggalkan Balasan