Banyak pendaki bangga berdiri di puncak Mahameru, tanah tertinggi di Pulau Jawa. Hanya sedikit di antara mereka yang berani mendaki hingga puncak Arjuno.
Bersama dua kawan saya, Rendra dan Dodik, kami menunggang sepeda motor menuju Tretes. Suhu udara bulan April itu tidak terlalu dingin. Dengan langkah yang perlahan tapi stabil, jalur aspal yang berganti jalan cor terjal kami lalui hingga tiba di Shelter I atau Pet Bocor. Dari pos yang memiliki sumber air ini, bulan terlihat berpendar bulat dan bintang bertebaran. Cuaca malam itu sangat cerah sesuai harapan kami.
Pendakian ke puncak Arjuno yang sesungguhnya dimulai ketika kami melewati sebuah pos jaga dan portal sebagai tanda memasuki kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura) R. Soerjo. Jalan cor berubah total menjadi makadam di mana trek didominasi batu-batu berukuran sedang. Trek makadam berbatu itu menanjak dan berputar-putar seakan mencoba menguji kesabaran. Sesekali kami berhenti untuk mengatur napas dan menyeka keringat.
Berjalan sekitar 2,5 jam dari pos pertama, kami tiba di Shelter II Kokopan. Cukup banyak tenda pendaki berdiri di area ini, sehingga kami memilih mendirikan tenda tepat di sebelah warung agar terhindari dari hembusan angin dari arah puncak. Dari sini, pemandangan juga relatif lebih lepas. Temaram lampu kota di bawah sana seakan menggoda kami untuk kembali ke rumah dan tidur di kasur yang empuk, memeluk guling dan berselimut nan hangat.
Menuju Lembah Kijang
Setelah repacking, pukul 07.15 kami mulai berjalan meninggalkan Kokopan. Matahari yang tadinya hangat, berubah terik menyengat. Trek selepas Kokopan masih berbatu, berputar-putar dan menanjak. Setelah melewati sebuah bangunan kayu di kanan jalan, kami mulai memasuki kawasan Alas Lali Jiwo. Pagi itu langit benar-benar biru cerah dan bersih. Semak-semak dan dedaunan hijau begitu memanjakan mata. Alas Lali Jiwo pun menjadi tak seseram namanya.
Tepat 3,5 jam berjalan dari Kokopan, kami tiba di Pondokan. Tak lama kami di sini, hanya berhenti sejenak mengatur nafas dan mereguk air minum. Pondokan ada persimpangan, jika lurus menuju Gunung Welirang. Kami belok ke kiri melipir punggungan gunung menuju Lembah Kijang.
Sesuai target, kami tiba di Lembah Kijang sejam sebelum tengah hari. Kami mendirikan tenda di sini dan bermalam. Lembah Kijang adalah tempat camp favorit saya. Saat musim penghujan, airnya begitu melimpah. Mengucur dari air terjun kecil dan kesegarannya mengalahkan sumber air di Kokopan maupun Pet Bocor. Saya selalu merindukan tempat yang damai ini.
Summit Attack
Lewat 30 menit dari tengah malam kami bangun. Cemara gunung berdiri kaku di tengah malam gelap, menyisakan rongga-rongga di sela-sela ranting dan daunnya yang terkibas angin untuk melihat langit. Di seluruh penjuru langit nan gelap itu, bintang-bintang masih setia bersandar.
Kami berjalan menerabas semak-semak rebah yang basah. Tak jarang mengangkat kaki lebih tinggi ketika menjumpai akar pohon yang mencuat di atas jalan setapak. Wujud tebing terjal menjulang tinggi yang terlihat gelap hanya sebagai pengingat jika perjalanan ke puncak masih panjang. Sorot lampu headlamp menerangi jalur di depan yang perlahan semakin menanjak. Persimpangan jalur ke Gunung Kembar dan puncak Gunung Arjuno menjadi tempat sementara untuk mengatur napas sebelum kembali menapak tanjakan yang menguji sendi-sendi lutut. Berpegangan pada akar dan batang pohon menjadi senjata meringankan ngilu sementara pada lutut.
“Masih jauh?” tanya Rendra kepada saya.
“Ini belum separuh perjalanan, Mas. Santai saja, lama-lama nyampe kok,” jawab saya sembari membesarkan hati.
Tanjakan yang kami lalui memang tanpa ampun dan seakan tak pernah habis. Ini adalah perjalanan kali keempat saya ke puncak Arjuno, dan pertama bagi mereka berdua. Berulang kali saya berusaha memompa semangat dan mengajak untuk bersabar meniti tanjakan yang panjang ini. Selain fisik, mental sangat berperan penting saat mendaki Arjuno. Jika di gunung Semeru biasanya baru mempersiapkan mental saat summit attack ke Mahameru dari Kalimati, di Arjuno pendaki sudah harus mempersiapkan mental benar-benar dari bawah, sejak dari pos perizinan.
Jelang tugu perbatasan Malang-Pasuruan, kabut tiba-tiba datang menyergap. Cukup tebal, jarak pandang menjadi terbatas. Tak mau mengambil risiko, kami break sejenak. Ada dua kali kabut itu datang dan pergi. Dan dua kali pula kami break menunggu kabut hilang. Kabut yang rutin kapanpun menyelimuti Alas Lali Jiwo seolah menjadi teman akrab yang pasti dijumpai para pendaki Arjuno maupun Welirang.
Sepuluh menit selepas tugu perbatasan Malang-Pasuruan, tibalah kami di Pasar Dieng. Di tempat yang ketinggiannya hampir sama dengan puncak Gunung Arjuno ini berdiri satu tenda yang dihuni dua pendaki yang kami temui saat perjalanan ke Pondokan kemarin siang. Di sebuah pelataran yang luas dan ditumbuhi vegetasi yang jarang, berjejer kuburan-kuburan yang sebagian keramat. Bila Anda mendaki melalui jalur Purwosari, maka akan lebih banyak lagi kuburan atau petilasan-petilasan yang akan dijumpai di setiap posnya. Seperti Lawu dan Kawi, Gunung Arjuno juga menjadi tempat yang khusus lagi istimewa bagi para pelaku religi.
Ketika jarak menuju puncak tinggal memakan waktu tak sampai 10 menit, kabut tebal mendadak kembali menyergap. Puncak Ogal-Agil, puncak tertinggi Gunung Arjuno itu tertutup rapat dengan gulungan kabut. Kami terpaksa berteduh dahulu di sebuah gua kecil untuk menghangatkan badan dan menunggu kabut menghilang. Tak lama berselang, kedua pendaki penghuni tenda di Pasar Dieng tadi ikut bergabung di gua kecil tersebut. Kami terlibat obrolan ringan hingga tak sadar 30 menit telah berlalu.
“Hore… Sudah agak terang!” Pekik saya sambil mengajak teman-teman melanjutkan langkah menuju puncak.
Pukul 05.15. Saya langsung bersimpuh, bersujud di antara batu-batu besar dan di bawah kibaran bendera merah putih. Sujud sebagai tanda syukur atas pencapaian hingga saat ini. Pengorbanan atas singkatnya tidur dan berjalan di tengah malam yang dingin terbayar sudah. Tuntas. Saya segera menyalami Rendra dan Dodik, yang sepertinya masih tak percaya jika sudah menginjakkan kaki di puncak tertinggi Gunung Arjuno. Usai salat Subuh, saya segera bergeliat merekam segala apa yang terlihat oleh mata.
Saat pendakian pertama pada bulan Maret 2013, saya dan keenam teman tiba di Ogal-Agil sudah terlalu siang dan matahari bersinar terik. Pendakian kedua kalinya, hanya kabut putih yang terlihat di sekeliling puncak. Pendakian yang ketiga, malah diguyur gerimis tak kunjung henti di bulan Desember. Kali ini, Tuhan seperti mengabulkan doa saya. Pemandangan pagi ini jauh melebihi ekspektasi saya. Awalnya saya hanya berharap dapat melihat matahari terbit di Ogal-Agil. Itulah mengapa kami berjalan lebih awal daripada pendaki lain. Namun, ternyata Tuhan memberi lebih. Lautan awan yang bergulung-gulung selembut kapas menambah kecantikan pagi ini. Berarak bersama munculnya iring-iringan spektrum jingga sang surya.
Panorama di sekeliling Ogal-Agil terlihat jelas tanpa penghalang. Di sisi timur, matahari terbit di balik panjangnya Gunung Argopuro yang masyhur dengan status jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa. Agak ke tenggara, Pegunungan Tengger yang memanjang dihiasi kepulan asap dari kawah Gunung Bromo dan berujung di puncak idaman para pendaki, Mahameru. Bergeser ke arah barat, Pegunungan Kawi yang panjang juga menjadi sajian segar karena hutannya yang lebat. Terakhir, di bagian utara, Gunung Welirang yang dataran puncaknya gersang dan berbatu itu masih rutin mengepulkan asap belerang yang membumbung.
Sebelum turun, saya memotret satu foto terakhir gulungan lautan awan itu. Sungguh, tak sanggup saya berkata-kata dengan pemberian pagi dari Tuhan saat ini. Benar-benar tak disangka-sangka. Kami bersyukur mendapatkan pemandangan yang mungkin belum tentu sama dengan apa yang pendaki lain dapatkan. (*)
Foto sampul:
Secara khusus saya mengucapkan terima kasih kepada redaksi majalah SRIWIJAYA yang berkenan memuat tulisan saya. Tulisan ini dimuat di rubrik Destination, dalam SRIWIJAYA Inflight Magazine, edisi 45, bulan November 2014.
Untuk cerita dan foto lebih lengkapnya, termasuk saat mendaki puncak Gunung Welirang dan Penanggungan, bisa dibaca online atau mengunduh e-book saya di Issuu yang bertajuk Triple Summit Welirang-Arjuno-Penanggungan. Sebuah pendakian maraton ke tiga puncak gunung, yang berujung pada selebrasi memperingati Hari Kartini di puncak Gunung Penanggungan.
Salam pelangi!
Tinggalkan Balasan